Rabu, 26 Juni 2013

Kulit dan Sisik Ikan sebagai Sumber Kolagen

PENGOLAHAN LIMBAH IKAN



Ikan tuna yang digunakan sebagai bahan baku pengolahan tuna kaleng harus memenuhi persyaratan dalam SNI 01-2712.1-1992, yaitu (Eko, H.R dan Teuku Muamar, 2007):
  1. Ikan yang digunakan segar atau beku, utuh atau tanpa isi perut.
  2. Bahan baku berasal dari perairan yang tidak tercemar
  3. Bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat alami lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan.
Berdasarkan medium jenis medium yang digunakan, produk tuna kaleng dibedakan atas produk tuna in oil dan tuna in water/brine (Eko, H.R dan Teuku Muamar, 2007).
Berikut ini adalah proses pengalengan ikan tuna (Eko, H.R dan Teuku Muamar, 2007):
  1. Penerimaan bahan baku
    Pada tahap pemeriksaan bahan baku diambil 5% untuk dilakukan pengujian terhadap suhu, kadar histamin, kadar garam dan organoleptik. Selain itu, dilakukan pengujian honeycomb, brosis dan parasit dengan menggunakan test pack pada 2 ekor ikan tuna.

    Bahan baku yang dipindahkan dari mobil pengangkut ke cold storage tidak boleh lebih dari 3 jam. Penyimapanan bahan baku dalam cold storage pada suhu -18 °C dan lama penyimpanan maksimal 3 bulan. Sebelum diolah ikan tunah harus melalui proses pelelehan terlebih dahulu.
  2. Penyiangan
    Proses ini diawali dengan pemotongan tuna menjadi 7-8 bagian yang terbagi menjadi 4 atau 5 bagian tengah, 1 bagian leher, 1 bagian kepala, dan 1 bagian ekor. Kemudian proses dilanjutkan dengan pengambilan isi perut dan insang. Limbah dari proses penyiangan ini biasanya dimanfaatkan menjadi tepung ikan.
  3. Penyusunan dalam rak
    Penyusunan bagian-bagian tuna dalam rak dipisahkan berdasarkan bagian badan, ekor, dan kepala. Pemisahan ini dilakukan karena setiap bagian ikan memiliki waktu pemasakan pendahuluan (precooking) yang berbeda.
  4. Pemasakan pendahuluan (precooking)
    Tujuan dari pemasakan pendahuluan ini adalah untuk memudahkan proses pembersihan daging ikan, mengurangi kandungan air, lemak dan membuat daging ikan menjadi lebih kompak. Proses pemasakan dilakukan di dalam cooker dengan mengalirkan uap panas. Pengaliran uap panas dihentikan apabila telah mencapai suhu 100°C. Setelah diberi uap panas dilakukan penyemprotan dengan air agar tekstur menjadi kompak.
  5. Pendinginan
    Pendinginan dilakukan dalam ruang pendingin selama ±3 jam. Pendinginan ini bertujuan untuk membuat daging lebih kompak dan padat, sehingga memudahkan proses pengolahan selanjutnya.
  6. Pembuangan kepala dan kulit ikan
    Proses pembuangan kepala dilakukan dengan tangan setelah diambil dagingnya. Proses pembuangan kulit dilakukan menggunakan pisau tajam dengan cara mengikis kulit sesuai arah otot daging ikan. Pada tahapan ini juga dilakukan pembuangan tulang dan sisik.
  7. Pembersihan daging
    Pembersihan daging ikan bertujuan untuk memisahkan daging ikan dari daging gelap, tulang yang terdapat dalam daging dan sisik yang masih tersisa setelah proses skinning. Proses pembersihan daging ikan menghasilkan beberapa bagian daging antara lain solid, chunk, flake, daging hitam, dan daging cucian. Bagian daging ini nantinya disortir untuk memisahkan sisa daging hitam atau coklat yang masih ada, tulang, dan sisik. Pensortiran juga dimaksudkan untuk menghindari adanya brosis, honeycomb dan parasit pada ikan sehingga mutu ikan tetap terjaga.
  8. Pemotongan daging
    Pemotongan dimaksudkan untuk memperoleh bentuk dan ukuran ikan yang sesuai dengan kalengnya. Proses pemotongan dilakukan menggunakan pisau yang tajam yang menghasilkan daging solid dan serpihan (flake). Daging solid yang merupakan hasil utama pemotongan dikikis dengan pisau dan menghasilkan serpihan yang nantinya diisikan ke dalam kaleng.
  9. Pengisian daging ke dalam kaleng
    Pengisian daging ke dalam kaleng dilakukan dengan cara menata daging ikan ke dalam kaleng sesuai dengan tipe produk (solid, chunk, flake, standar, dan grated). Daging solid yang diisikan dalam satu kaleng berjumlah 2-3 potongan, pengisian dilakukan sepadat mungkin sesuai dengan net weight, oleh karenanya ditambahkan flake.
  10. Penambahan medium
    Medium yang digunakan dalam pengalengan tuna adalah minyak nabati atau air garam. Pada medium minyak nabati biasanya ditambahkan garam sebanyak 2,8% dari berat medium. Pengisian medium tidak boleh berlebih karena mempengaruhi kaleng saat penutupan dan dapat menyebabkan kaleng membengkak atau bocor. Pengisian medium harus sampai batas head space atau 6-10% dari tinggi kaleng. Suhu medium tidak boleh kurang dari 70°C, karena suhu yang tinggi akan membuat kondisi vakum yang semakin tinggi.
  11. Penutupan kaleng
    Penutupan kaleng dilakukan dengan sistem double seaming secara otomatis menggunakan vacuum seamer, yaitu mesin penutup kaleng yang sekaligus dapat melakukan penghampaan udara dalam kaleng.
  12. Sterilisasi
    Proses sterilisasi diawali dengan penyusunan kaleng dalam keranjang sterilisasi. Selanjutnya keranjang dimasukkan dalam retort dan disemprot dengan air yang mengandung khlorin 2 ppm selama 10 menit. Proses sterilisasi berlangsung pada suhu 120°C selama 2,8 menit. Setelah proses berakhir dilakukan pendingian dengan menyemprotkan air yang mengandung klorin 2 ppm selama 30 menit untuk mencegah over cooking.
  13. Pendinginan dan pemeraman kaleng
    Ikan tuan kaleng yang masih dalam keranjang sterilisasi didinginkan dalam runag terbuka selam 24 jam. Uji pemeraman dilakukan untuk mengetahui kesempurnan sterilsasi. Pemeraman dilakukan dengan cara memasukkan ikan kaleng yang telah dingin ke dalam suatu ruangan dengan suhu kamar dengan posisi terbalik. Kemudian dilakukan pengecekan terhadap kerusakan. Daging yang dianggap rusak adalah kaleng yang menggembung atau bocor. Pemeraman dilakukan selama 7 hari.
  14. Pelabelan
    Label berisikan keterangan tentang ikan yang dikalengkan, medium yang digunakan, berat bersih, nama produsen, tanggal kadaluarsa, dan kandungan gizi.
  15. Pengepakan
    Tuna kaleng dipak dalam master carton. Desain master carton berisi tanggal produksi, jenis produk, jumlah kaleng, dan nama produsen.
Karakteristik Limbah Perikanan
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga), yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Limbah yang dihasilkan dari kegiatan perikanan masih cukup tinggi, yaitu sekitar 20-30 persen. Produksi ikan yang telah mencapai 6.5 juta ton pertahun. Hal ini berarti sekitar 2 juta ton terbuang sebagai limbah. Limbah yang dihasilkan dari kegiatan perikanan adalah berupa (Annonymousa, 2010):
  1. Ikan curah yang bernilai ekonomis rendah sehingga belum banyak dimanfaatkan sebagai pangan;
  2. Bagian daging ikan yang tidak dimanfaatkan dari rumah makan, rumah tangga, industri pengalengan, atau industri pemiletan;
  3. Ikan yang tidak terserap oleh pasar, terutama pada musim produksi ikan      melimpah; dan
  4. Kesalahan penanganan dan pengolahan.
Berdasarkan karakternya limbah dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu limbah yang masih dapat dimanfaatkan dan sudah tidak dapat dimanfaatkan. Limbah perikanan berbentuk padatan, cairan dan gas. Limbah tersebut ada yang berbahaya dan sebagian lagi beracun. Limbah padatan memiliki ukuran bervariasi, mulai beberapa mikron hingga beberapa gram atau kilogram (Annonymousa, 2010). 
Penanganan Limbah
Limbah hasil perikanan dapat berbentuk padatan, cairan atau gas. Limbah berbentuk padat berupa potongan daging ikan, sisik, insang atau saluran pencernaan. Limbah ikan yang berbentuk cairan antara lain darah, lendir dan air cucian ikan. Sedangkan limbah ikan yang berbentuk gas adalah bau yang ditimbulkan karena adanya senyawa amonia, hidrogen sulfida atau keton. Berbagai teknik penanganan dan pengolahan limbah telah dikembangkan. Masing-masing jenis limbah membutuhkan cara penanganan khusus, berbeda antara jenis limbah yang satu dengan limbah lainnya. Namun secara garis besarnya, teknik penanganan dan pengolahan limbah dapat dibagi menjadi penanganan dan pengolahan limbah secara fisik, kimiawi, dan biologis (Annonymousa, 2010).
  • Secara Fisik
    Penanganan dan pengolahan limbah secara fisik dilakukan untuk memisahkan antara limbah berbentuk padatan, cairan dan gas. Penanganan dan pengolahan limbah secara fisik mampu melakukan pemisahan limbah berbentuk padat dari limbah lainnya. Limbah padatan akan ditangani atau diolah lebih lanjut sehingga tidak menjadi bahan cemaran, sedangkan limbah cair dan gas akan ditangani atau diolah menggunakan teknik kimiawi dan biologis (Annonymousa, 2010).
    Secara fisik, penangan limbah dilakukan menggunakan penyaring (filter). Bentuk saringan disesuaikan dengan kondisi dimana limbah tersebut ditangani. Penyaring yang digunakan dapat berbentuk jeruji besi atau saringan (Annonymousa, 2010).
  • Secara Kimiawi
    Penanganan dan pengolahan limbah secara kimiawi dilakukan dengan menggunakan senyawa kimia tertentu untuk mengendapkan limbah sehingga mudah dipisahkan. Pada limbah berbentuk padat, penggunaan senyawa kimia dimaksudkan untuk menguraikan limbah menjadi bentuk yang tidak mencemari lingkungan (Annonymousa, 2010).
  • Secara Biologis
    Pengolahan limbah secara biologis dilakukan dengan menggunakan tanaman dan mikroba. Jenis tanaman yang digunakan dapat berupa eceng gondok, duckweed, dan kiambang. Jenis mikroba yang digunakan adalah bakteri, jamur, protozoa dan ganggang. Pemilihan jenis mikroba yang digunakan tergantung dari jenis limbah.  Bakteri merupakan mikroba yang paling sering digunakan pada pengolahan limbah secara biologis. Bakteri yang digunakan bersifat kemoheterotrof dan kemoautotrof. Bakteri kemoheterotrof memanfaatkan bahan organisk sebagai sumber energi, sedangkan bakteri kemoautotrof memanfaatkan bahan anorganik sebagai sumber energi (Annonymousa, 2010).
    Jamur yang digunakan dalam penanganan dan pengolahan limbah secara biologis bersifat nonfotosintesa dan bersifat aerob. Protozoa yang digunakan dalam penanganan dan pengolahan limbah bersel tunggal dan memiliki kemampuan bergerak (motil). Ganggang digunakan pada penanganan dan pengolahan limbah secara biologis karena memiliki sifat autotrof dan mampu melakukan fotosintesa. Oksigen yang dihasilkan dari fotosintesa dapat dimanfaatkan oleh mikroba (Annonymousa, 2010).
Pemanfaatan limbah perikanan berupa kepala ikan, sirip, tulang, kulit dan daging merah telah digunakan dalam beberapa hal, yaitu berupa daging lumat (minced fish) untuk bahan pembuatan produk-produk gel ikan seperti bakso, sosis, nugget dan lain-lain. Selain itu dapat dibuat tepung, konsentrat, hidrolisat dan isolat protein ikan. Sebagai pakan ternak, ikan dapat diolah menjadi tepung, bubur dan larutan-larutan komponen ikan
  • SILASE
Silase ikan adalah ikan utuh atau sisa-sisa ikan yang diawetkan dalam kondisi asam dengan penambahan asam (silase kimia) atau dengan fermentasi/kemampuan bakteri asam laktat (silase biologis). Silase ikan yang dihasilkan berbentuk cair karena protein ikan dan jaringan struktur lainnya didegradasi menjadi unit larutan yang lebih kecil oleh enzim yang terdapat pada ikan (Rusmana, Deny dan Abun, 2006).
Pengolahan limbah ikan tuna secara kimiawi (silase kimiawi) merupakan proses pengawetan dalam kondisi asam pada tempat atau wadah dengan cara menambahkan asam mineral, asam organik atau campurannya. Prinsip pengawetan ini adalah dengan penurunan pH dari bahan tersebut sehingga aktivitas bakteri pembusuk menjadi terhambat. Asam organik yang biasa digunakan adalah asam formiat dan propionate (Rusmana, Deny dan Abun, 2006).
Pengolahan limbah ikan tuna secara biologis (silase biologis) merupakan proses biokimia yang secara aktif dilakukan oleh kelompok bakteri asam laktat dengan penambahan sumber karbohidrat melalui fermentasi dalam keadaan anaerob. Silase ikan biologis umumnya dibuat dengan menambahkan karbohidrat pada ikan yang telah digiling. Sumber karbohidrat yang digunakan dapat berupa tepung tapioka, molases, dedak ataupun sumber karbohidrat lainnya disertai dengan ataupun tanpa penambahan ragi dan starter kultur. Pada proses silase secara biologis, bakteri asam laktat akan merubah gula menjadi asam organik yang mengakibatkan terjadinya penurunan pH. Proses fermentasi untuk perubahan karbohidrat menjadi asam laktat adalah secara anaerob dan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (Rusmana, Deny dan Abun, 2006):
  • Mula-mula pati dalam karbohidrat di uraikan menjadi maltosa,
  • Molekul-molekul maltosa dipecah menjadi molekul glukosa oleh enzim maltase dan
  • Bakteri asam laktat mengubah glukosa menjadi asam laktat.
Ciri-ciri silase yang baik adalah sebagai berikut (Rusmana, Deny dan Abun, 2006):
  1. Penurunan pH cepat. Semakin lama fermentasi berlangsung, makin cepat penurunan pH dan nilai pH akhir akan semakin rendah lagi.
  2. Kandungan asam laktat tinggi.
  3. Kandungan asam amonia rendah (NH3).
  4. Sedikit bakteri coli dan bakteri pembentuk anaerobik pembentuk spora.
  5. Tidak ada bakteri patogen seperti Salmonella sp. dan Staphylococcus sp.
  6. Bau yang bisa diterima (berbau amis, tidak ada bau busuk).
  7. Gas yang terjadi selama fermentasi sedikit.
  8. Stabil dalam bentuk basah selama enam bulan dan dalam bentuk kering lebih dari setahun.
  • GELATIN
Gelatin adalah derivat protein dari serat kolagen yang ada pada kulit, tulang, dan tulang rawan. Proses perubahan kolagen menjadi gelatin melibatkan tiga perubahan berikut (Junianto, dkk, 2006):
  1. Pemutusan sejumlah ikatan peptida untuk memperpendek rantai
  2. Pemutusan atau pengacauan sejumlah ikatan camping antar rantai
  3. Perubahan konfigurasi rantai
Gelatin larut dalam air, asam asetat dan pelarut alkohol seperti gliserol, propilen glycol, sorbitol dan manitol, tetapi tidak larut dalam alkohol, aseton, karbon tetraklorida, benzen, petroleum eter dan pelarut organik lainnya (Junianto, dkk, 2006).
Gelatin tulang ikan
Pada tahap persiapan dilakukan pencucian pada kulit dan tulang. Kulit atau tulang dibersihkan dari sisa-sisa daging, sisik dan lapisan luar yang mengandung deposit-deposit lemak yang tinggi. Untuk memudahkan pembersihan maka sebelumnya dilakukan pemanasan pada air mendidih selama 1-2 menit. Proses penghilangan lemak dari jaringan tulang yang biasa disebut degresing, dilakukan pada suhu antara titik cair lemak dan suhu koagulasi albumin tulang yaitu antara 32-80°C sehingga dihasilkan kelarutan lemak yang optimum (Junianto, dkk, 2006).
Pada tulang, sebelum dilakukan pengembungan terlebih dahulu dilakukan proses demineralisasi yang bertujuan untuk menghilangkan garam kalsium dan garam lainnya dalam tulang, sehingga diperoleh tulang yang sudah lumer disebut ossein. Asam yang biasa digunakan dalam proses demineralisasi adalah asam klorida dengan konsentrasi 4-7%. Proses demineralisasi ini sebaiknya dilakukan dalam wadah tahan asam selama beberpa hari sampai dua minggu (Junianto, dkk, 2006).
Selanjutnya pada kulit dan ossein dilakukan tahap pengembungan (swelling) yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran dan mengkonversi kolagen menjadi gelatin. Pada tahap ini perendaman dapat dilakukan dengan larutan asam organik seperti asam asetat, sitrat, fumarat, askorbat, malat, suksinat, tartarat dan asam lainnya yang aman dan tidak menusuk hidung. Sedangkan asam anorganik yang biasa digunakan adalah asam hidroklorat, fosfat, dan sulfat. Jenis pelarut alkali yang umum digunakan adalah sodium karbonat, sodium hidroksida, potassium karbonat dan potassium hidroksida (Junianto, dkk, 2006).
Asam mampu mengubah serat kolagen triple heliks menjadi rantai tunggal, sedangkan larutan perendam basa hanya mampu menghasilkan rantai ganda. Hal ini menyebabkan pada waktu yang sama jumlah kolagen yang dihidrolisis oleh larutan asam lebih banyak daripada larutan basa. Karena itu perendaman dalam larutan basa membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghidrolisis kolagen. Menurut Utama (1997), tahapan ini harus dilakukan dengan tepat (waktu dan konsentrasinya) jika tidak tepat akan terjadi kelarutan kolagen dalam pelarut yang menyebabkan penurunan rendemen gelatin yang dihasilkan (Junianto, dkk, 2006).
Tahapan selanjutnya, kulit dan ossein diekstraksi dengan air yang dipanaskan. Ekstraksi bertujuan untuk mengkonversi kolagen menjadi gelatin. Suhu minimum dalam proses ekstraksi adalah 40-50°C hingga suhu 100°C. Ekstraksi kolagen tulang dilakukan dalam suasana asam pada pH 4-5 karena umumnya pH tersebut merupakan titik isoelektrik dari komponen-komponen protein non kolagen, sehingga mudah terkoagulasi dan dihilangkan. Apabila pH lebih rendah perlu penanganan cepat untuk mencegah denaturasi lanjutan (Junianto, dkk, 2006).
Larutan gelatin hasil ekstraksi kemudian dipekatkan terlebih dahulu sebelum dilakukan pengeringan. Pemekatan dilakukan untuk meningkatkan total solid larutan gelatin sehingga mempercepat proses pengeringan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan evaporator vakum, selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 40-50°C atau 60-70°C. Pengecilan ukuran dilakukan untuk lebih memperluas permukaan bahan sehingga proses dapat berlangsung lebih cepat dan sempurna. Dengan demikian gelatin yang dihasilkan lebih reaktif dan lebih mudah digunakan (Junianto, dkk, 2006).
Diagram alir pembuatan gelatin tulang ikan tuna (Junianto, dkk, 2006):

Tulang ikan
Degreasing (penghilangan lemak)
Direndam pada air mendidih selama 30 menit

Pengecilan ukuran 2-5 cm2



Demineralisasi (perendaman dalam HCl 5%, 48 jam)


Ossein


Pencucian demean air mengalir hingga pH netral (6-7)


Ekstraksi dalam waterbath pada suhu 90°C selama 7 jam


Ekstrak disaring


Dipekatkan dengan evaporator


Dikeringkan dengan oven pada suhu 50°C selama 24 jam


Pengecilan ukuran/penepungan


Gelatin

Gelatin Kulit Ikan
Metode yang digunakan pada ekstraksi gelatin dari ikan tuna ini yaitu metode asam, sedangkan asam yang digunakan yaitu asam sitrat. Kulit ikan dibersihkan dari daging yang masih melekat, kemudian dicuci bersih, dan dibuang sisiknya dan dibersihkan dari daging yang melekat, kemudian dicuci bersih. Kulit yang sudah dicuci direndam dalam campuran larutan kapur dan Natrium sulfida dengan konsentrasi masing-masing 3% dari berat ikan selama 48 jam. Kulit ikan kemudian diangkat dari rendaman, kemudian dicuci bersih dan dibuang sisik dan daging yang masih melekat. Kulit ikan diputar di dalam molen dengan ditambahkan air sebanyak 400% (b/b), dan ammonium sulfat 1% (b/b) selama 30 menit. Kemudian kulit ikan ditambahkan enzim protease 1% (b/b) kemudian diputar kembali selama 2 jam dengan kecepatan 12 rpm. Proses ini disebut proses enzimatis (Dewi, F.R. dan Widodo, 2009).
Proses selanjutnya adalah proses asam. Setelah, melalui proses enzimatis ikan dicuci bersih lalu direndam dengan larutan asam sitrat pH 3 selama 12 jam, dicuci bersih hingga mencapai pH netral atau pH 7. Setelah pH netral tercapai kulit ikan kemudian diektraksi dengan perbandingan air 1:2 pada waterbath dengan suhu 60°C selama 3 jam. Ekstrak disaring menggunakan kapas, kain blacu dan saringan. Ekstrak disimpan dalam chilling room sehingga larutan tersebut menjendal. Gelatin yang sudah menjendal kemudian dimasukkan ke dalam pemanas bersistem evaporasi, yang dapat memekatkan larutan gelatin tersebut. Hasil dari evaporai tersbut dimasukkan ke dalam ekstuder, putar ekstuder sehingga menghasilkan mie-mie gelatin. Pengeringan larutan gelatin dapat dilakukan dengan penggunaan udara kering (terhumidifikasi) dan pemanasan. Pemanasan dilakukan bertahap di bawah 40°C hingga mencapai penurunan kadar air paling tidak 70%. Setelah tercapai suhu pengeringan dinaikan menjadi 50-55°C sampai diperoleh gelatin kering (24-36 jam). Penghalusan dilakukan dengan menggunakan blender sehingga diperoleh granula sebesar gula pasir (Dewi, F.R. dan Widodo, 2009).
Diagram alir pembuatan gelatin kulit ikan tuna (Dewi, F.R. dan Widodo, 2009):

Kulit Ikan Tuna


Pengapuran
Direndam dalam larutan kapur 3%, Na2S 3%, dan air 600% selama 48 jam


Dibersihkan dari sisa daging


Enzimatis
Kulit direndam dalam air 400%, [(NH4)2SO4] 1%, kemudian diputar selama 30 menit
Enzim protease 1% putar kembali 2 jam


Dicuci sampai bersih


Direndam dalam larutan asam sitrat pH 3 selama 12 jam


Dicuci dengan air mengalir sampai pH netral (6-7)



Kulit diekstraksi dengan perbandingan 1:3 dalam waterbath
Selama 2 jam pada suhu 60° C


Filtrat disaring menggunakan kapas, kain blacu dan saringan


Penjendelan dalam ruang pendingin selama 24 jam


Pemekatan menggunakan evaporator


Pengeringan 24-36 jam suhu 45° C-50° C


Pembentukan flake gelatin menggunakan blender
  • Pemanfaatan limbah tulang ikan sebagai sumber kalsium
Selama ini yang direkomendasikan sebagai sumber kalsium terbaik adalah susu. Tetapi harga susu bagi sebagian masyarakat masih terhitung mahal, oleh karena itu perlu dicari alternatif sumber kalsium yang lebih murah, mudah didapat dan tentu saja mudah diabsorbsi. Kalsium yang berasal dari hewan seperti limbah tulang ikan sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Tulang ikan merupakan salah satu bentuk limbah dari industri pengolahan ikan yang memiliki kandungan kalsium terbanyak diantara bagian tubuh ikan, karena unsur utama dari tulang ikan adalah kalsium, fosfor dan karbonat. Ikan tuna merupakan komoditas perikanan Indonesia yang banyak menghasilkan devisa (terbesar kedua setelah udang) (Trilaksani, W., et al, 2006).
Peningkatan nilai produksi ikan tuna dari tahun ke tahun menunjukkan nilai yang cukup tajam. Peningkatan volume produksi ini akan meningkatkan volume limbah hasil industri pengolahan tuna tersebut. Pemanfaatan limbah tulang ikan tuna sebagai sumber kalsium merupakan salah satu alternatif dalam rangka menyediakan sumber pangan kaya kalsium sekaligus mengurangi dampak buruk pencemaran lingkungan akibat dari pembuangan limbah industri pengolahan tuna. Diagram alir pembuatan (Trilaksani, W., et al, 2006):

Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah kadar kalsium, fosfor, air, abu, protein, lemak, pH, derajat putih, daya serap air, kemudahan melarut, densitas kamba dan bioavailabilitas kalsium. Tepung tulang ikan yang dihasilkan dalam penelitian ini mengandung kalsium tertinggi 39,24 % dan fosfor 13,66 % yang diperoleh dari kombinasi perlakuan autoclaving 2 (dua) jam dan perebusan 3 (tiga) kali. Kadar air pada tepung tulang sebesar 5,60 %, abu 81,13 %bb, protein 0,76 %bb dan lemak 3,05 %bb. Nilai beberapa parameter fisik tepung yaitu derajat putih 64,7 %, densitas kamba 8,14 g/ml, pH 7,13, daya serap air 14,5 % dan kemudahan melarut sebesar 4,45 % pada menit ke 15, 29,20 % pada menit ke 180. Nilai bioavailabilitas kalsium tepung sebesar 0,86 %. Nilai ini diperoleh dari hasil pengukuran tepung dengan kadar kalsium tertinggi (Trilaksani, W., et al, 2006).
  • Tepung Hidrolisat Protein
Substitusi dan fortifikasi hidrolisat protein ke dalam olahan produk pangan bertujuan untuk (Trilaksani, W., et al, 2006):
  1. Peningkatan konsumsi protein ikani masyarakat yang jauh dari pantai;
  2. Menanggulangi masalah KEP/KKP maupun gizi ganda;
  3. Meningkatkan nilai tambah komuditi, hingga dapat meningkatkan pendapatan, kesempatan berusaha, dan kesempatan kerja di pedesaan pantai; dan
  4. Mendapatkan bahan dalam perumusan model teknologi pengolahan limbah pengalengan ikan tuna yang layak secara teknis ekonomis. Keluaran yang diharapkan adalah teknologi yang mampu menghasilakan tepung hidrolisat protein bermutu, serta tidak membayangkan kesehatan (pencernaan) apabila dikonsumsi.
Serangkaian penelitian yang dilaksanakan di Lab. Ilmu dan Teknologi Pangan, Unibraw; Lab. Faperikan Unibraw; terdiri dari 3 tahap kegiatan, yaitu: (1) pembuatan tepung THPI daging merah ikan tuna; (2) aplikasi THPI ke dalam olahan produk pangan fortifikasi (burger dan mie kering); dan (3) aplikasi THPI ke dalam olahan produk pangan subtitusi (bakso dan sosis) (Trilaksani, W., et al, 2006).
Produksi perikanan laut Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat dan berkembang. Disamping kekayaan ikan di kawasan Indonesia yang berlimpah serta usaha untuk meningkatkan hasil tangkapnya yang terus menerus dilaksanakan, ternyata baru mencapai nilai 35% saja yang dapat dicapai. Dari data yang dapat dikumpulkan, setiap musim masih terdapat antara 25-30% hasil tangkapan Ikan Laut yang akhirnya harus menjadi ikan sisa atau ikan buangan yang disebabkan karena berbagai hal (Trilaksani, W., et al, 2006):
  1. Keterbatasan pengetahuan dan sarana para nelayan di dalam cara pengolahan ikan. Misalnya, hasil tangkapan tersebut masih terbatas sebagai produk untuk dipasarkan langsung (ikan segar), atau diolah menjadi ikan asin, pindang, terasi serta hasil-hasil olahannya.
  2. Tertangkapnya jenis-jenis ikan lain yang kurang berharga ataupun sama sekali belum mempunyai nilai di pasaran, yang akibatnya ikan tersebut harus dibuang kembali.
Diantara bahan alami, ikan tercatat sebagai bahan yang sangat cepat membusuk. Karenanya begitu ikan tertangkap, maka proses pengolahan dalam bentuk pengawetan dan pengolahan harus segera dilakukan. Juga selama pengolahan ikan, masih banyak bagian-bagian dari ikan, baik kepala, ekor, maupun bagian-bagian yang ditermanfaatkan akan dibuang. Tidak mengherankan kalau sisa ikan dalam bentuk buangan dan bentuk-bentuk lainnya berjumlah cukup banyak, apalagi kalau ditambah dengan jenis-jenis ikan lainnya yang tertangkap tetapi tidak mempunyai nilai ekonomi. Ditambah lagi, ikan-ikan sisa dan yang terbuang tersebut secara langsung maupun tidak langsung banyak membawa problema lingkungan di kawasan pesisir, minimal dalam bentuk gangguan terhadap kebersihan, sanitasi dan kesehatan lingkungan (Trilaksani, W., et al, 2006).
  • Pemanfaatan Limbah Ikan sebagai Pupuk Organik
Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah perairan yang sangat luas dan hanya 1/5 saja merupakan daratan. Dengan kondisi yang lebih banyak perairannya tinggi maka akan muncul potensi yang besar dalam bidang perikanan. Banyak bagian-bagian dari ikan, baik kepala, ekor, maupun bagian-bagian yang tidak dimanfaatkan akan dibuang. Tidak mengherankan kalau sisa ikan dalam bentuk buangan dan bentuk-bentuk lainnya berjumlah cukup banyak, apalagi kalau ditambah dengan jenis-jenis ikan lainnya yang tertangkap tetapi tidak mempunyai nilai ekonomi. Ditambah lagi, ikan-ikan sisa dan yang terbuang tersebut secara langsung maupun tidak langsung banyak membawa problema lingkungan di kawasan pesisir, minimal dalam bentuk gangguan terhadap kebersihan, sanitasi dan kesehatan lingkungan (Annonymousb, 2010).
Untuk memaksimalkan potensi perikanan dan banyaknya ikan yang terbuang sia-sia tanpa ada nilai ekonomisnya maka perlu dilakukan suatu terobosan baru dalam memanfaatkan setiap bagaian dalam bidang perikanan salah satunya adalah dengan memanfaatkan limbah ikan atau mungkin ikan-ikan yang tidak ekomomis penting dan ikan yang terbuang sia-sia. Pemanfaatan ini, salah satunya adalah menjadikan pupuk organik. Bahan baku ikan untuk memproduksi pupuk organik sangat dipengaruhi oleh kandungan lemaknya. Kemungkinan besar lama waktu proses pembuatan pupuk organik tergantung dari kandungan lemaknya. Dengan kandungan lemak yang tinggi, kemungkinan besar bahwa prosesnya akan lambat atau tidak sempurna. Berbeda dengan kandungan lemak yang sedikit, maka hasil pupuknya akan termasuk yang terbaik (Annonymousb, 2010).
Pupuk organik lengkap yang terbuat dari bahan baku ikan memiliki kualitas sebagai pupuk yang lebih dibandingkan dengan pupuk organik lain, apalagi kalau dibandingkan dengan pupuk kompos, pupuk kandang, ataupun pupuk hijau. FAO telah menetapkan kriteria dasar untuk pupuk jenis ini, yakni: kandungan unsur makro harus mempunyai nilai minimal N (12%), P (8%), dan K (6%) disamping kandungan unsur mikro seperti Ca, Fe, Mg, Cu, Zn, Mn, dan sebagainya. Kandungan protein dan lemak yang tinggi akan menghambat pertumbuhan dari tanaman pangan tersebut. Perlu adanya terobosan baru untuk mengurangi kandungan lemak dan protein tersebut sebelum diterapkan menjadi pupuk organik (Annonymousb, 2010).
Limbah Pengolahan Ikan biasanya berbau, untuk menghilangkan bau busuk limbah pengolahan tepung ikan dapat digunakan bakteri asam laktat dan untuk produk pupuk yang dibuat dari limbah pengolahan ikan yang telah dihilangkan bau busuknya juga dapat ditingkatkan kandungan haranya. Keunggulan pupuk ini adalah (Annonymousb, 2010):
  1. Pupuk yang dihasilkan merupakan pupuk organik yang unsur haranya lebih lengkap dibandingkan dengan pupuk anorganik;
  2. Membuat daun tanaman hias menjadi lebih mengkilap, bunga lebih banyak dan bertahan lebih lama;
  3. Bahan baku melimpah dan murah, karena memanfaatkan limbah pengolahan ikan;
  4. Harga jual kompetitif jika dibandingkan dengan produk impor yang sangat mahal;
  5. Konsep back to nature melalui pertanian organik.
Kelemahan
dari limbah cair pengolahan tepung ikan untuk dijadikan pupuk cair adalah bau busuk yang sangat menyengat dan membuat kepala pusing. Masalah bau busuk dapat diatasi antara lain dengan menurunkan pH limbah cair, memberi aerasi, menambahkan bahan penyerap bau, menggunakan mikroba yang mempercepat proses dekomposisi dan merombak senyawa yang menimbulkan bau. Proses menghilangkan bau busuk dari limbah cair pengolahan tepung ikan untuk dijadikan bahan baku pupuk cair dilakukan dengan menurunkan pH limbah ikan dari 8,0 menjadi 6,0 dengan penambahan HCl, menambahkan molases, dan menginokulasi limbah ikan dengan kultur bakteri asam laktat. Kultur ini diinkubasi pada shaker dengan memberikan aerasi secara terputus selang dua jam dengan dikocok pada 120 rpm. Dengan cara ini bau busuk limbah ikan hilang dalam waktu inkubasi lima hari (Annonymousb, 2010).
Limbah cair pengolahan tepung ikan yang telah dihilangkan bau busuknya dijadikan sebagai bahan baku pembuatan pupuk. Pupuk dibuat dengan menambahkan batuan fosfat alam untuk meningkatkan kandungan unsur Phospat (P) dan kelarutan batuan fosfat ditingkatkan dengan menambahkan mikroba pelarut fosfat. Inkubasi dilanjutkan selama dua hari lagi. Kandungan hara pupuk cair tergantung pada jenis dan ukuran ikan, sehingga kandungan unsur hara limbah ikan bervariasi dari 1500-2000 ppm N, 300 ppm P dan 3000-4000 ppm K, pH sekitar 6,5 (Annonymousb, 2010).
  • Pemanfaatan Limbah Ikan sebagai Tepung Ikan
Dalam kegiatan industri pengalengan ikan selalu menghasilkan limbah ikan yang sebenarnya masih dapat dimanfaatkan untuk membuat tepung ikan. Tepung ikan dapat dimanfaatkan untuk campuran makanan ternak seperti unggas, babi dan makanan ikan. Tepung ikan mengandung protein, mineral dan vitamin B. Protein ikan terdiri dari asam amino yang tidak terdapat pada tumbuhan. Kandungan gizi yang tinggi pada tepung ikan dapat meningkatkan produksi dan nilai gizi telur, daging ternak dan ikan. Kandungan gizi tepung ikan tergantung dari jenis ikan yang digunakan sebagai bahan bakunya. Tepung ikan yang berkualitas tinggi mengandung komponen-komponen sebagai berikut (Annonymousa, 2009):
  • Air 6-100 %
  • Lemak 5-12 %
  • Protein 60-75 %
  • Abu 10-20 %
Selain itu karena dibuat dari kepala dan duri ikan maka tepung ikan juga mengandung (Annonymousa, 2009):
  • Ca fosfat
  • Seng
  • Yodium
  • Besi
  • Timah
  • Mangan
  • Kobalt
  • Vitamin B 2 dan B 3
Bahan baku tepung ikan dapat berupa (Annonymousa, 2009):
  • Limbah ikan dari industri pengalengan ikan
  • Ikan kurus: ikan-ikan kecil misalnya teri (Solepherus sp.)
  • Ikan gemuk: ikan petek (Leioguanathus sp.)
Berikut ini adalah cara pembuatan tepung ikan (Annonymousa, 2009):
  1. Bahan limbah dipotong kecil-kecil dalam bak pencucian dengan air yang mengalir.
  2. Dilakukan penggaraman selama 30 menit.
  3. Khusus untuk ikan gemuk tambahkan air hingga terendam dan dimasak selama 1 jam. Untuk ikan kurus dimasak dalam dandang selama 30 menit, kemudian ikan yang sudah matang dimasukkan ke dalam alat pengepres.
  4. Ikan yang telah di pres digiling.
  5. Ikan yang telah dipres dikeringkan pada suhu 60-650Celcius selama 6 jam di dalam alat pengering untuk ikan basah, dan ikan kering dikeringkan dengan sinar matahari.
  6. Ikan yang telah dipres dan kering digiling sampai lembut.
  7. Tepung ikan siap dipasarkan.
Meningkatkan mutu dengan program Vucer (Annonymousa, 2009):
  • Memperkenalkan teknik desalting pada ikan asin yang akan digunakan sebagai bahan baku tepung ikan. Teknik desalting dapat dilakukan dengan cara merendam ikan asin di dalam larutan berkonsentrasi gararn rendah selama 12 jam. Proses ini mampu mengurangi kadar garam, meningkatkan kadar protein, dan secara otomatis akan menaikkan harga jual produk.
  • Perubahan waktu perebusan ikan dari 30 menit menjadi hanya 5 menit, yang dilakukan setelah air mendidih. Hal ini ternyata mampu memelihara nilai gizi ikan, terutama protein yang tidak banyak larut atau terbuang akibat perebusan.
  • Pengadaan peralatan pengepres ikan yang telah direbus. Hal ini mampu meningkatkan kapasitas produksi. menurunkan kadar air, menurunkan kadar lemak dan rneningkatkan kadar protein tepung ikan. Juga menurunkan presentase ikan yang busuk akibat lamanya proses penjemuran.
  • Pengadaan lantai penjemuran dengan disain seperti penjemur padi. Hal ini mempercepat proses penjemuran menjadi hanya satu dari 2-3 hari sebelumnya.
  • Pengadaan peralatan pengayak yang mampu menghasilkan ukuran tepung ikan yang lebih seragam, yaitu 60 mesh.
Dari segi mutu dan harga telah terjadi peningkatan. Kadar protein meningkat dari 47,5% menjadi 54% setelah pelaksanaan Program Vucer, dan kadar air menurun dari 13,7% menjadi 10,4% (Annonymousa, 2009).
  • KOLAGEN
    • Pemecahan struktur kolagen menjadi gelatin
      Molekul dasar pembentuk kolagen disebut tropokolagen yang mempunyai struktur batang dengan BM 300.000, dimana di dalamnya terdapat tiga rantai polipeptida yang sama panjang, bersama-sama membentuk struktur heliks. Tiap tiga rantai polipeptida dalam unit tropokolagen membentuk struktur heliks tersendiri, menahan bersama-sama dengan ikatan hidrogen antara group NH dari residu glisin pada rantai yang satu demean group CO pada rantai lainnya. Cincin pirolidin, prolin, dan hidroksiprolin membantu pembentukan rantai polipeptida dan memperkuat triple heliks (Wong, 1989).

      Tropokolagen akan terdenaturasi oleh pemanasan atau perlakuan dengan zat seperti asam, basa, urea, dan potassium permanganat. Selain itu, serabut kolagen dapat mengalami penyusutan jika dipanaskan di atas suhu penyusutannya (Ts). Suhu penyusutan (Ts) kolagen ikan adalah 45°C. Jika kolagen dipanaskan pada T>Ts (misalnya 65-70°C), serabut triple heliks yang dipecah menjadi lebih panjang. Pemecahan struktur tersebut menjadi lilitan acak yang larut dalam air inilah yang disebut gelatin (Junianto,2006).

      Sifat unik gelatin adalah meleleh ketika dipanaskan dan akan mudah menjadi padat kembali apabila didinginkan. Bersama-sama dengan air, gelatin akan dengan mudah membentuk gel koloid semi-padat. Jelly yang dibuat dari gelatin mempunyai tekstur yang meleleh di dalam mulut untuk kemudian mengeluarkan semua cita rasa yang dikandungnya. Keunggulan lain gelatin adalah sifatnya sebagai sebuah protein amphoteric dengan titik isoionik antara 5 hingga 9, tergantung pada bahan baku serta cara memprosesnya. Sebuah komponen disebut amphoteric apabila ia bisa bertindak sebagai asam dan basa sekaligus. Gelatin sangat kaya dengan asam amino glisin (Gly) (hampir 1/3sepertiga dari total asam amino), prolin (Pro) dan 4-hidroksiprolin (4Hyd). Struktur gelatin yang umum adalah: -Ala-Gly-Pro-Arg-Gly-Glu-4Hyp-Gly-Pro-. Satu hal yang perlu dicatat adalah kandungan 4Hyd juga berpengaruh pada kekuatan gelatin. Makin tinggi asam amino ini, kekuatan gel juga lebih baik. Meskipun mayoritas diturunkan dari hewan, gelatin sebenarnya tergolong memiliki nilai biologis yang rendah. Gelatin memiliki sedikit kandungan triptophan (Trp) yang merupakan salah satu asam amino esensial, serta rendah dalam sistein (Cys) dan tirosin (Tyr), sehingga sering juga dianggap protein tidak lengkap (Jaswir,2007).
    • Kolagen pada kulit Hewan
      Pada temperatur tertentu kolagen kulit akan mengkerut, temperatur kerut dari kulit bervariasi tergantung pula pada spesies hewannya. Misalnya kolagen ikan akan mengkerut pada temperatur yang lebih rendah dari pada kolagen kulit sapi. Kolagen kulit domba juga mengkerut pada temperatur yang lebih rendah dari pada kulit sapi dengan temperatur kerut masing-masing adalah sekitar 60ºC untuk kulit domba dan 67°C untuk kulit sapi (Herlandria, 2009).

      Serabut kolagen atau kulit mentah akan mengkerut kurang lebih seper tiga atau seperempat dari panjang semula jika dipanaskan dalam medium air panas pada suhu tertentu. Pemendekan serabut kolagen disebabkan karena hilangnya atau berubahnya rantai ikatan silang dari serat kolagen. Suhu kerut dari sampel yang berasal dari berbagai macam bagian pada kulit yang sama berbeda antara 2-3ºC. Suhu kerut untuk kulit yang sama, bagian kulit yang susunannya padat akan lebih tinggi dari pada bagian kulit yang susunannya kurang padat. Suhu kerut digunakan untuk menilai type ikatan dalam kolagen dan perubahan strukturnya, disamping itu digunakan untuk menilai kestabilan struktur kolagen (Herlandria, 2009).
    • Kolagen
      adalah senyawa protein sebagai bahan utama yang diperlukan untuk menyusun kulit, tulang, gigi, otot dan sel-sel di dalam tubuh kita. Fungsi kolagen untuk meningkatkan kesehatan dan juga metabolisme sel. 75% dari lapisan kulit disusun dan dibentuk oleh kolagen. Manfaat dari Collagen adalah (Annonymousc, 2010):
  1. Meningkatkan penampilan kulit anda
  2. Meningkatkan elastisitas kulit mudah yang lebih kuat
  3. Menghambat kulit menjadi keriput
  4. Menjaga kelembaban kulit anda
  • Produk Kolagen
  1. Cangkang kapsul
  2. Casing sosis
    Casing kolagen biasanya berbahan baku dari kulit hewan besar. Keuntungan dari penggunaan casing ini adalah dapat diwarnai, bisa dimakan, dan melekat pada produk. Casing selulosa biasanya berbahan baku pulp. Keuntungan casing selulosa adalah dapat dicetak atau diwarnai dan murah. Casing selulosa sangat keras dan dianjurkan untuk tidak dimakan (Fesya, 2008).
  3. Kosmetik (krim, suntikan untuk menghalskan wajah).
  • Fungsi-fungi kolagen (Annonymousd, 2010):
  1. Mempertahankan kelembaban dan mencegah kerutan. Kolagen merupakan komponen utama dalam kulit kita. Lebih dari 71% protein dalam sel-sel kulit terdiri dari kolagen, dimana berkaitan erat dengan pertumbuhan, pemulihan dan nutrisi kulit. Sebagai tambahan, kolagen mempertinggi regenerasi sel-sel, membantu memelihara elastisitas kulit, melembutkan dan membuat kulit lebih bercahaya. Kolagen juga efektif menghilangkan kerutan dan mecegah proses penuaan.
  2. Memulihkan masalah kulit. Apabila kolagen  disuntikkan ke dalam kulit yang terluka, maka ia akan menstimulasi pertumbuhan sel-sel kulit baru dan menyediakan support ke kulit. Kolagen sangat efektif untuk memulihkan masalah kulit seperti parut, kerusakan jaringan-jaringan subkutaneus, pengucupan epithelium,kerutan dan kerusakan jaringan-jaringan yang lembut lainnya.
  3. Mempercantik dan menyuburkan rambut. Nutrisi dalam jaringan subkutaneus kulit kepala sangat penting untuk memelihara kesehatan rambut. Kandungan kolagen dalam lapisan korium merupakan pusat perbekalan nutrisi kepada epidermis serta rambut dan kuku. Kekurangan kolagen dapat menyebabkan rambut kelihatan kering dan bercabang, kuku menjadi kusam dan mudah pecah.
  4. Mengencangkan payudara. Efek kolagen untuk mengencangkan payudara sudah diketahui umum. Payudara sebenarnya terbentuk oleh jaringan-jaringan penyambung dan jaringa- jaringan lemak, yang merupakan peranan penting dalam penyediaan penyokong kemontokan payudara. Kolagen merupakan komponen utama dari jaringan-jaringan penyambung dan bertindak dengan protein polisakarida untuk membentuk satu jaringan yang kuat untuk menyokong dan mengencangkan payudara agar cantik dan menawan.
  5. Melangsingkan badan sewaktu tidur. Pembakaran lemak (retrogresi) adalah proses yang diperlukan untuk melangsingkan badan. Kolagen hidrolisis dapat meningkatkan proses penghancuran dan pembakaran lemak, tetapi harus dijalankan dalam keadaan tidur. Dengan mengambil kolagen hidrolisis, anda dapat melangsingkan badan semasa tidur.
  6. Menguatkan tulang. 70-80% daripada tulang terdiri daripada kolagen. Penyatuan gentian kolagen yang secukupnya adalah penting untuk membentuk kerangka tulang yang kuat. Oleh itu, kolagen juga dikenali sebagai kerangka tulang. Masalah osteoporosis dan kaki kejang adalah berawal dari kehilangan kolagen yang membentuk 80% daripada jumlah kepadatan tulang. Sedangkan kehilangan kalsium, magnesium dan fosferus hanya 20%. Pengambilan kalsium tambahan sebenarnya tidak dapat menangani masalah tersebut. Hanya dengan pengambilan kolagen yang mencukupi dapat mengembalikan kepadatan tulang yang normal, dan juga dapat memperlambat osteoporosis untuk 10 tahun kedepan.
  7. Mencerahkan kulit dan Mengurangi pigmen. Kolagen dapat merapatkan sel-sel dan mempercepatkan pembentukan sel-sel baru. Dengan fungsi ini,secara efektif dapat mencegah pengumpulan pigmen dan racun , membantu  mencerahkan kulit dan mengurangi pigmentasi.
  8. Menunda proses penuaan kulit. Kolagen penting untuk memelihara kecantikan dan keceriaan kulit. Gejala-gejala penuaan secara wajar semakin kentara apabila usia meningkat karena kandungan kolagen dalam kulit semakin berkurang , dan kulit yang mana mengerut kekurangan air akan mengakibatkan kulit kering dan kusam.
  • Tipe
    Kolagen
    Protein kolagen pada keadaan segar berwarna putih. Diameternya berkisar antara 1-12 mikron. Beberapa serabut bergabung menjadi berkas serabut yang lebih besar. Dalam keadaan segar bersifat lunak, dan sangat kuat. Susunan serabut kolagen bergelombang, karenannya bersifat lentur. Benang serabut kolagen yang paling halus yang dapat dilihat dengan mikroskop cahaya adalah fibril dengan tebal kurang lebih 0,3 sampai 0,5 µm. Selanjutnya fibril ini disusun oleh satuan serabut yang lebih kecil yang disebut miofibril dengan diameter 45 sampai 100nm. Miofibril ini hanya terlihat dengan mikroskop elekron dan tampak mempunyai garis melintang khas dengan periodisitas 67 nm (Annonymousb, 2009).

    Serabut kolagen memiliki daya tahan tarik tinggi. Serabut kolagen dijumpai pada tendon, ligamen, kapsula, dll. Serabut ini bening dan terlihat garis memanjang. Bila kolagen direbus akan menghasilkan gelatin. Serabut kolagen dapat dicerna oleh pepsin dan enzim kolagenase. Paling tidak telah dikenal 2 jenis serabut kolagen dengan variasi pada urutan asam amino dari rantai α (alfa). Dari 20 jenis tersebut, ada 6 tipe kolagen yang yang paling utama dan secara genetik berbeda. Keenam tipe kolagen tersebut adalah (Annonymousb, 2009):
  1. Tipe I merupakan tipe kolegen yang paling banyak ditenukan. Terdapat pada jaringan ikat dewasa, tulang, gigi dan sementum.
  2. Tipe II merupakan kolagen tipe ini dibentuk oleh kondroblas dan merupakan unsur utama penyusun matriks tulang rawan. Kolagen ini ditemukan pada kartilago hyalin dan elastic.
  3. Tipe III, kolagen ini ditemukan pada awal perkembangan beberapa jenis jaringan ikat. Pada keadaan dewasa kolagen ini terdapat pada jaringan retikuler.
  4. Tipe IV, terdapat pada lamina densa pada lamina basalis dan diperkirakan merupakan hasil sel-sel yang langsung berhubungan engan lamina tersebut.
  5. Tipe V, terdapat pada plasenta, dan berhubungan dengan kolagen tipe I.
  6. Tipe VI, terdapat pada basal lamina.
    DAFTAR PUSTAKA
Annonymousb. 2009. Jaringan Ikat. http://histovet1.blogspot.com/jaringan-ikat_16.html
Annonymousa. 2010. Penanganan Limbah Hasil Perikanan Secara Biologis.http://eafrianto.wordpress.com/2009/12/10/
Annonymousb. 2010. Pemanfaatan Limbah Ikan Untuk Pupuk Organik.http://ppsdms.org/pemanfaatan-limbah-ikan-untuk-pupuk-organik.htm
Annonymousd. 2010. Kolagen. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi.pdF. Dewi, F.R. dan Widodo. 2009. Pembuatan Gelatin Dari Kulit Tuna.http://www.bbrp2b.dkp.go.id/publikasi/prosiding/2008/brawijaya.pdf
Eko, H.R dan Teuku Muamar. 2007. Pengalengan Ikan Tuna Komersial.http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/22074350.pdf.
Fesya. 2008. SOSIS. http://masenchipz.com/category/dk
Herlandria. 2009. Kolagen Kulit Kambing.http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/31086368.pdf.
Junianto, Haetami dan Maulina. 2006. Produksi Gelatin Dari Tulang Ikan Dan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Cangkang Kapsul. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/produksi_gelatin_dari_tulang_ikan.pdf.
Rusmana, Deny dan Abun. 2006. Evaluasi Nilai Kecernaan Limbah Ikan Tuna (Thunnusatlanticus) Produk Pengolahan Kimiawi Dan Biologi Serta Nilai Retensi Nitrogen Pada Ayam Broiler. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10.pdf.
Trilaksani, W, Salamah, E., Nabil, M. 2006. Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Tuna(Thunnus sp.) sebagai Sumber Kalsium dengan Metode Hidrolisis Protein. BuletinTeknologi Hasil Perikanan Vol IX Nomor 2 Tahun 2006
Wong, DWS. 1989. Mechanism and Theory in Food Chemistry. Academic Press: NY

diambil dari:  http://lordbroken.wordpress.com/2010/12/31/pengolahan-limbah-ikan/

Mempelajari Proses Pengalengan Ikan Tuna dengan Prinsip Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)

Mempelajari Proses Pengalengan Ikan Tuna dengan Prinsip Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Potensi perikanan laut Indonesia yang terdiri atas potensi perikanan pelagis dan demersal tersebar pada hampir semua bagian perairan laut Indonesia seperti pada perairan laut teritorial, nusantara, dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Luas perairan laut Indonesia di perkirakan sebesar 5,8 juta kmdengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Canada, yaitu 81.000 km² dan gugusan pulau-pulau sebanyak 17.808 buah pulau. Pemanfaatan potensi perikanan laut Indonesia ini walaupun telah banyak mengalami peningkatan pada beberapa aspek, namun secara signifikan belum dapat memberikan kekuatan dan peran yang lebih kuat terhadap pertumbuhan perekonomian dan peningkatan pendapatan masyarakat nelayan Indonesia (Dahuri, 2001).
Nilai ekspor tuna kaleng mencapai 2400 juta dolar pada tahun 2003, setelah sebelumnya mengalami penurunan drastis hingga mencapai 1700 juta dolar pada tahun 1999 dan 2000, level yang sama saat tahun 1995. Total ekspor tuna kaleng tumbuh pada setiap tahun dan mencapai 1,1 juta MT pada tahun 2003 dengan total nilai impor mencapai 2,8 milyar dolar setelah mengalami penurunan tajam pada tahun 2001 sebagai akibat dari rendahnya harga bahan baku. Hal ini disampaikan oleh Helga Josupeit dalam presentasinya yang berjudul “Global World Tuna Market” pada Tuna Marketing Seminar di Maldives, Mei 2005.
Selanjutnya dikemukakan oleh Dahuri (2001), sumberdaya perikanan merupakan milik bersama (Common resources), sehingga dalam pengelolaannya tidak dapat dimiliki secara perorangan, menyebabkan semua lapisan masyarakat berhak untuk memanfaatkan, dan akibatnya dapat menimbulkan berbagai macam persaingan antar pelaku, baik antar nelayan dengan nelayan, nelayan dengan pengusaha, pengusaha dengan pengusaha.
Salah satu produksi ikan yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi yaitu ikan tuna. Perikanan tuna di Indonesia menunjang sekitar 1,67% dari total produksi ikan laut Indonesia dalam periode 1971-1981, kegiatan ini telah berkembang terutama diperairan Indonesia bagian timur (Suhendra dan Subani, 1988 dalam Titihalawa, 2001).
Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989), ikan kaleng merupakan salah satu produk hasil pengawetan dan pengolahan yang telah disterilkan dan dikemas dalam kaleng. Proses pengalengan ikan umumnya dilakukan oleh perusahaan besar, disamping beberapa home industri.
Standar mutu produk pangan (makanan) dan pertanian telah banyak dikeluarkan, meskipun belum semuanya diterapkan dalam dunia perdagangan. Beberapa indikator mutu yang digunakan yaitu sifat barang, tolak ukur, dan faktor mutu. Sementara persyaratan konsumen yang menyangkut keamanan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan ditempatkan pada standar terpisah (Rahman, 2007).
Untuk menjaga keamanan pangan dari produsen pangan diantaranya dengan menerapkan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). HACCP adalah merupakan sistem yang dapat menjamin keamanan pangan, sistem ini bekerja secara proaktif, yaitu mengantisipasi bahaya dan identifikasi titik pengawasan yang mengutamakan tindakan pencegahan dari pada mengandalkan pada pengujian produk akhir (Rahman, 2007).
Menurut Winarno dan Surono (2004), Sistem HACCP telah diakui oleh dunia internasional sebagai salah satu tindakan sistematis yang mampu memastikan keamanan produk pangan yang dihasilkan oleh industri pangan secara global. Agar sistem ini dapat berfungsi dengan baik dan efektif, perlu diawali dengan pemenuhan program pre-reguisite, yang berfungsi melandasi kondisi lingkungan dan pelaksanaan tugas dan kegiatan llain dalam suatu pabrik atau industri pangan yang sangat diperlukan untuk memberikan kepasttian bahwa proses produksi yang aman telah dilaksanakan untuk menghasilkan produk pangan dengan mutu yang diharapkan. Sistem ini harus dibangun diatas dasar yang kokoh  untuk pelaksanaan dan terbitnya GMP (Good Manufacturing Pratices) dan SSOP (Standart Sanitation Opening procedure).
Berdasarkan uraian diatas, kami membuat makalah yang berjudul “ Mempelajari proses pengalengan ikan tuna dengan prinsip Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) “ dengan mengkaji dari beberapa hasil  penelitian ( berupa jurnal ataupun laporan penelitian langsung ) yang telah di lakukan beberapa orang.
1.2  Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui cara identifikasi HACCP (Hazzard Analysis Critical Control Point) pada proses pengalengan ikan tuna berdasarkan beberapa sumber kajian (hasil penelitian).
1.3  Manfaat
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini untuk memberikan informasi tentang identifikasi HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) pada proses pengalengan ikan tuna yang baik dan tepat, dengan demikian diharapkan bukan hanya menambah pengetahuan tetapi keterampilan mahasiswa dalam pemecahan masalah. 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Tuna
Ikan tuna merupakan ikan pelagis yang bergerak cepat dan senantiasa membentuk schooling (gerombolan). Badannya besar gemuk dan kuat dengan sumber kekuatannya pada pertemuan ekor dan badan, dan tuna ekor kuning dianggap sebagai proyek hasil laut yang terbaik dari semua jenis tuna.
Secara morfologi tubuh ikan tuna yaitu : bagian atas punggung berwarna hitam kebiruan mengkilat, dan bagian bawah berwarna putih perak, sirip punggung pertama sedikit keabuan dengan warna kuning terpendam, pinggiran atas warna kegelapan, sirip punggung kedua dan dubur berwarna gelap kekuningan, batas belakang sirip ekor berwarna keputihan.
Menurut www.atuna.com (2007), ikan tuna termasuk ikan pelagis besar dari kelompok family scrombridae dengan karakteristik perenang cepat dan hidup secara bergerombol dengan kondisi badan yang kuat dan kekar, sehingga penangkapannya menggunakan long line. Adapun daerah  penyebaran ikan tuna dilaut meliputi perairan : Samudera Indonesia, Samudera Pasifik Tengah, hampir di seluruh perairan Indonesia terutama di perairan terbuka, termasuk bagian Barat Sumatera, Selatan Jawa, Timur Sumatera, Laut Natuna, Selat Makasar, Laut Flores, Laut Sulawesi, dan Perairan Maluku.
Ikan tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan lemak yang rendah. Ikan tuna mengandung protein antara 22,6 - 26,2 g/100 g daging. Lemak antara 0,2 - 2,7 g/100 g daging.
 
 Jenis-jenis ikan tuna dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini:
Nama Indonesia
Nama Dagang
Nama Ilmiah
Tuna albakora
Tuna abu-abu utara
Tuna abu-abu selatan
Cakalang
Ekor kuning
Tuna mata besar
Tongkol
Albacore
Northern bluefin tuna
Southern bluefin tuna
Skip Jack tuna
Yellow Fin tuna
Big eye tuna
Little tuna
Thunnus alalunga
Thunnus thynnus
Thunnus maccoyii
Katsuwonus pelamis
Thunnus albacores
Thunnus obesus
Euthynnus affinis
Sumber : Lengkey (1999) dalam Titihalawa, 2001
2.2 Penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point)
HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) adalah suatu sistem jaminan mutu yang mendasarkan kepada kesadaran atau penghayatan bahwa hazard (bahaya) dapat timbul pada berbagai titik atau tahap produksi tertentu, tetapi dapat dilakukan pengendalian untuk mengontrol bahaya-bahaya tersebut. Kunci utama HACCP adalah antisipasi bahaya dan identifikasi titik pengawasan yang mengutamakan kepada tindakan pencegahan dari pada mengandalkan pengujian produk akhir (Winarno dan Surono, 2004).
HACCP memberikan kesempatan pada pabrik makanan untuk meningkatkan efisiensi pengontrolan dengan menciptakan kedisiplinan pendekatan sistematik terhadap prosedur untuk keamanan pangan (Mortimore, 1995). HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) merupakan suatu sistem yang mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengontrol setiap tahapan proses yang rawan terhadap risiko bahaya signifikan yang terkait dengan ketidakamanan pangan (Codex Alimentarius Commission, 2001). Sistem HACCP ini dikembangkan atas dasar identifikasi titik pengendalian kritis (critical control point) dalam tahap pengolahan dimana kegagalan dapat menyebabkan risiko bahaya (Wiryanti dan Witjaksono, 2001).
HACCP dari perkembangannya diakui dapat memenuhi beberapa tujuan manajemen industri pangan untuk memberikan jaminan bahwa industri tersebut telah memproduksi produk yang aman setiap saat, memberikan bukti sistem produksi dan penanganan produk yang aman, memberikan rasa percaya diri pada produsen akan jaminan keamanannya, memberikan kepuasan kepada pelanggan akan konfirmasinya terhadap standar internasional, memenuhi standar dan regulasi pemerintah, dan menggunakan sumberdaya secara efektif dan efisien.
Program Per-Requisite merupakan prosedur umum yang berkaitan dengan sistem suatu persyaratan dasar penerapan HACCP suatu operasi bisnis pangan untuk mencegah kontaminasi akibat suatu operasi produksi atau penanganan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penerapan pre-requisite yaitu program harus terdokumentasi, identifikasi dari semua step dalam operasi yang kritis terhadap keamanan dan mutu pangan, terapkan prosedur control yang efektif pada pencatatan yang baik dan review prosedur pengendalian secara periodik dan ketika ada suatu perubahan operasi.
2.3 Langkah Implementasi HACCP
Tim HACCP harus memberikan jaminan bahwa pengetahuan dan keterampilan (keahlian) spesifik produk tertentu tersedia untuk pembangunan rencana HACCP secara efektif. Pembentukan tim dari berbagai divisi unit usaha atau disiplin yang mempunyai kekhususan ilmu pengetahuan dan keahlian yang tepat untuk produk. Apabila keahlian yang demikian tidak tersedia ditempat, tenaga ahli disarankan dapat diperoleh dari sumber lain.
Persyaratan tim HACCP adalah bahwa keputusan tim HACCP juga menjadi keputusan manajemen. Untuk tim HACCP seharusnya beranggotakan divisi-divisi dari usaha Quality Assurance, produksi, pemasaran dan lain-lain, dan multidisiplin dengan memperhatikan jenis produk, teknologi pengolahan, teknik penanganan dan distribusi, cara pemasaran dan cara konsumsi produk, serta potensi bahaya. Tim HACCP juga dapat terdiri atas beberapa level personil yaitu : General Manajer, Manajer QA, Inspektor, mandor, dan lain-lain (Winarno dan Surono, 2004).
Tim HACCP harus mempunyai pengetahuan yang cukup akan produk dan prosesnya serta mempunyai keahlian yang cukup untuk :
a)      Menetapkan lingkup dan rencana HACCP apakah hanya masalah keamanan pangan atau termasuk mutu karakteristik produk.
b)      Mengidentifikasi bahaya.
c)      Menetapkan tingkat keakutan (severity) dan resikonya.
d)     Mengidentifikasi CCP, merekomendasikan cara pengendalian, menetapkan batas kritis, prosedur monitoring, dan verifikasi.
e)      Merekomendasikan tindakan koreksi yang tepat ketika terjadi penyimpangan.
f)       Merekomendasikan atau melaksanakan investigasi dan penelitian yang berhubungan dengan rencana HACCP.
2.4 Prinsip-prinsip HACCP
a)    Analisa bahaya (hazard),  identifikasi, dan tindakan pencegahan
Hazard adalah suatu kondisi atau faktor baik biologis, kimiawi, maupun fisika, yang dapat menyebabkan makanan tidak aman untuk dikonsumsi atau merugikan konsumen. Proses identifikasi atas bahaya kerugian di dalam suatu proses atau produk yang meliputi 3 (tiga) aspek yaitu kesehatan, keamanan, dan ekonomi.
b)   Identifikasi pengendalian titik-titik kritis (CCP)
CP (Control Point) adalah suatu titik, tahap atau prosedur dimana faktor-faktor biologis, kimiawi, maupun fisikawi dapat dikendalikan. CCP (Critical Control Point) adalah suatu titik, tahap atau prosedur dimana pengendalian dapat ditetapkan dan bahaya dapat dicegah, dihilangkan atau dikurangi sampai batas yang diterima. Selain itu juga CCP  adalah titik kritis dimana bila gagal melakukan tindakan-tindakan pengawasan/pengontrolan akan menyebabkan resiko penolakan terhadap konsumen.
c)    Penetapan batas-batas kritis (Critical Limit)
Batas kritis adalah suatu kriteria yang harus dipenuhi oleh setiap tindakan pencegahan pada suatu CCP. Untuk setiap CCP harus ditentukan batas-batas kritisnya. Batas-batas kritis tersebut meliputi: persyaratan teknis/administrasi, definisi batasan penolakan, toleransi atas persyaratan penolakan. 
d)   Penetapan prosedur pemantauan (Monitoring)
Pemantauan adalah tindakan yang terencana dan berurut dari suatu observasi atau pengukuran untuk mengetahui apakah CCP berada dalam control, dan untuk menghasilkan catatan yang akurat untuk keperluan verifikasi. Tujuan pemantauan adalah untuk menelusuri operasi dari suatu proses, untuk mengetahui apakah suatu proses harus dirubah/disesuaikan, untuk mengidentifikasi  penyimpangan yang terjadi pada suatu CCP, untuk menyediakan dokumen tertulis dari sistem pengendalian proses.
e)    Penetapan tindakan koreksi (Corective action)
Tindakan koreksi adalah prosedur yang harus diikuti ketika suatu penyimpangan atau kesalahan untuk memenuhi batas kritis terjadi. Tujuan penetapan tindakan koreksi adlah untuk mengoreksi dan menghilangkan penyebab penyimpangan dan mengembalikan kontrol proses, untuk mengidentifikasi produk yang dihasilkan selama proses yang menyimpang dan menentukan disposisinya. 
f)    Penetapan sistem pencatatan (Record keeping)
Catatan yang harus disimpan sebagai bagian dalamm sistem HACCP. Semua yang dipantau harus dicatat, semua tindakan koreksi harus dicatat, agar lebih sistematis pencatatan dilakukan menggunakan formulir yang distandarkan, pedoman dalam membuat formulir yaitu memuat tentang semua informasi yang dipantau/koreksi, mencantumkan data penunjang untuk memudahkan pelacakan seperti (waktu, tanggal, jenis, lot, nama/tandatangan yang melakukan pencatatan, dan lain-lain), akan lebih baik bila semua data yang dikumpulkan dapat dikompilasikan di dalam suatu program komputer sehingga dengan mudah dapat dievaluasi. 
g)   Penetapan prosedur verifikasi
Verifikasi adalah penerapan dari suatu metode, prosedur, pengujian dan audit sebagai tambahan kegiatan pemantauan untuk mengvalidasi dan menentukan kesesuaian dengan “Rancangan HACCP” atau perlu dimodifikasi. Untuk menjamin dan memastikan bahwa program HACCP berjalan di dalam jalur yang tepat dan dilakukan dengan baik, dapat dilakukan secara internaldan eksternal. Secara internal oleh pihak manajemen perusahaan sendiri (plant manajer yang ditunjang oleh uji laboratorium sebagai pendukung), secara eksternal oleh pihak pemerintah yang dilakukan secara wajib dan rutin.   
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Proses Pengalengan Ikan Tuna Menurut SNI
Proses pengalengan ikan tuna berdasarkan SNI 01-2712.2-1992, adalah sebagai berikut:
1)   Penerimaan bahan baku
Setiap bahan baku yang diperoleh harus diperiksa mutunya paling tidak secara organoleptik dan ditangani sesuai dengan persyaratan teknik sanitasi dan higiene. Ikan yang tidak memenuhi persyaratan bahan baku harus ditolak. Untuk bahan baku segar harus segera dilakukan pencucian menggunakan air mengalir dengan suhu maksimum 5oC. Bahan baku yang diterima dalam keadaan beku, apabila menunggu proses penanganan selanjutnya maka harus disimpan dalam es yang bersuhu -25oC. Bahan baku yang dalam keadaan segar apabila menunggu proses penanganan selanjutnya harus disimpan pada suhu chilling (0oC)
2)   Persiapan
Apabila bahan baku masih dalam keadaan beku maka dilakukan pelelehan (thawing) dalam air mengalir yang bersuhu 10o – 15o C. Untuk ikan dalam keadaan utuh, dilakukan pemotongan kepala, sirip dan pembuangan isi perut. Sedangkan ikan yang berukuran besar dilakukan pemotongan bagian badan menjadi ukuran yang sesuai dengan alat precooking dan selanjutnya ditempatkan dalam rak pre-cooking.
3)   Pemasakan pendahuluan (pre-cooking)
Ikan tuna yang telah disiapkan dalam rak dimasukkan ke dalam alat pemasak menggunakan uap panas (steam). Waktu yang dibutuhkan untuk pemasakan pendahuluan tergantung pada ukuran ikan, namun umumnya berkisar 1 – 4 jam (mampu mereduksi 17,5 % kadar air dari daging ikan) dengan suhu pemasakan 100o - 105o C.
4)   Penurunan suhu
Ikan yang telah dimasak dikeluarkan dari alat pemasak dan diturunkan suhunya sampai ikan dapat ditangani lebih lanjut (30o C) dalam waktu maksimum 6 jam.
5)   Pembersihan daging
Daging ikan dibersihkan dari sisik, kulit, tulang dan daging merah menggunakan pisau yang tajam. Kulit, tulang dan daging merah yang terbuang ditampung dalam wadah yang terpisah.
6)   Pemotongan
Daging putih yang telah bersih dari kulit, tulang dan daging merah, dipotongpotong dengan ukuran yang disesuaikan dengan ukuran kaleng. Pada tahap pemotongan ini sekaligus dilakukan sortasi terhadap daging yang rusak. Daging putih yang telah dipotong secepatnya harus dimasukkan/diisikan ke dalam kaleng.
7)   Pengisian
Pengisian daging ke dalam kaleng dilakukan dengan cara menata daging ikan ke dalam kaleng sesuai dengan tipe produk (solid, chunk, flake, standard, grated).
a) Solid : 1 – 2 potong daging putih, bebas serpihan.
b) Standard : 2 – 3 potong daging putih, serpihan maksimum 2 %.
c) Chunk : serpihan daging putih ± satu kali makan, sepihan flake maks 40 %.
d) Flake : potongan daging kecil < chunk
e) Grated : daging kecil (flake, tidak seperti pasta).
8)   Penambahan medium
Medium ditambahkan sesaat sebelum kaleng ditutup. Suhu medium antara 70 – 80oC. Pengisian media hingga batas head space atau antara 6 – 10 % dari tinggi kaleng.
9)   Penutupan kaleng
Penutupan kaleng dilakukan dengan sistem double seaming dan dilakukan pemeriksaan secara periodik.
10)              Sterilisasi
Sterilisasi dilakukan di dalam retort dengan nilai Fo sesuai dengan jenis dan ukuran kaleng, media dan tipe produk dalam kemasan atau equivalent dengan nilai Fo > 2,8 menit pada suhu 120o C. Pada setiap sterilisasi harus dilakukan pencatatan suhu secara periodik.
11)              Penurunan suhu dan pencucian
Penurunan suhu dan pencucian menggunakan air yang mengandung residu klor 2 ppm. Setelah dikeluarkan dari retort, kaleng dipindahkan ke tempat yang terlindung (restricted area) untuk pendinginan dan pengeringan.
12)              Pemeraman
Kaleng yang telah dingin dimasukkan ke dalam suatu ruang dengan suhu kamar dan diletakkan dengan posisi terbalik, dan kemudian dilakukan pengecekan terhadap kerusakan kaleng. Kaleng yang dianggap rusak adalah kaleng yang menggembung atau bocor. Pemeraman dilakukan minimal selama 7 (tujuh) hari.
4.2  Identifikasi  HACCP Dalam Proses Pengalengan Ikan Tuna Pada PT. Delta Pasifik Indotuna
Setelah dilakukan identifikasi hazard analysis critical control point (HACCP) di PT. Delta Pasifik Indotuna Bitung Propinsi Sulawesi Utara, didapat hasil identifikasi sebagai berikut :
1.    Personil (Pekerja)
Dalam proses pengalengan ikan aspek-aspek yang membutuhkan perhatian dan pertimbangan utama adalah personil (pekerja) baik itu kesehatan maupun kebersihan pribadi atau perorangan. Hal ini dikarenakan bahaya yang akan ditimbulkan. Bahaya dalam bentuk fisik seperti adanya rambut, kuku, atau asesoris (cincin, anting,dan lain-lain) yang terjadi pada proses produksi. Selain itu juga bahaya potensial adanya bau tengik yang mungkin disebabkan oleh pekerja yang menggunakan lotion atau cream tangan, dan  kontaminasi karena pekerja yang menderita penyakit menular, luka, infeksi, dan lain-lain yang dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri patogen.
2.    Pengolahan  Material (Produk)
a.    Fish Receiving (Penerimaan Ikan)
Bahan baku yang digunakan di PT. Delta Pasifik Indotuna meliputi bahan baku dalam bentuk segar dan beku yang berasal dari daerah tersebut dan beberapa daerah di Sulawesi (kendari, gorontalo,dan lain-lain). Ikan yang baru masuk langsung dilakukan penyortiran berdasarkan ukuran (size) dan tingkat kesegaraannya.
Dari setiap proses penanganan penerimaan bahan baku adalah tahap pertama  dari setiap proses. Hal ini yang menentukan apakah proses selanjutnya akan dilanjutkan atau tidak dan itu tergantung dari proses penerimaan bahan baku tersebut. Kaitannya dengan identifikasi hazard (bahaya)  pada proses atau tahapan ini adalah bahaya dalam bentuk fisik seperti adanya pasir/kerikil yang merupakan salah satu bahaya potensial pada proses ini. Penyebab bahaya adalah terjadi pada saat proses pengangkutan bahan baku atau dihasilkan dari sepatu para pekerja sementara bahaya potensial kemungkinan tidak terjadi. Selain itu juga bahaya potensial adalah adanya bau tengik (bahaya kimia) kemungkinan yang disebabkan oleh bahan baku yang terkontaminasi mikroba (bahaya biologis) yang berasal dari luar atau bahan lain. Cara mengurai bahaya tersebut adalah dengan memperhatikan kebersihan baik itu pekerja, bahan baku, maupun alat-alat yang digunakan pada saat proses produksi sebaiknya harus dalam keadaan steril. 
b.    Thawing (Pelelehan Ikan)
Ikan beku dilelehkan sebelum diproses lebih lanjut. Pelehan ikan dilakukan didalam bin dengan cara mengalirkan air kedalam bin secara kontinyu (merendam ikan dalam air yang mengalir) hingga suhu ikan naik dari -20c menjadi 50c.
Tahapan ini adalah merupakan proses pelelehan ikan, hal ini dilakukan untuk memudahkan proses selanjutnya dalam hal butchering. Di dalam tahapan ini bahaya fisik merupakan salah satu bahaya potensial yang disebabkan pada penerimaan bahan baku  yang kurang hati-hati sehingga merusak tekstur bahan baku tersebut, dan juga suhu pada saat di dalam cold storage, sehingga dapat memicu pertumbuhan bakteri patogen. Adapun cara mengatasi potensi bahaya tersebut adalah dengan memperhatikan pada proses penerimaan bahan baku dan suhu pada saat di dalam cold storage.
c.    Butchering (penyiangan atau pembersihan isi perut)
Butchering dilakukan baik terhadap ikan segar maupun terhadap ikan beku yang telah dilelehkan. Kegiatan ini meliputi penyiangan ikan dengan mengeluarkan isi perut, sedangkan ikan yang berukuran besar juga dilakukan pembelahan.
Bahaya potensial pada proses ini adalah bahan baku yang terkontaminasi dengan karatan atau sejenisnya, hal ini disebabkan oleh penggunaan alat yang digunakan kurang steril dan air yang digunakan untuk membersihkan ikan dan alat-alat yang digunakan sudah tercemar. Selain itu pertumbuhan bakteri patogen dikarenakan oleh suhu ikan sudah mengalami perubahan karena terjadinya over thawing. Cara mengatasi semua bahaya-bahaya tersebut adalah dengan cara memastikan alat-alat yang digunakan sudah bersih dan proses pengolahannya sendiri sebaiknya dilakukan segera mungkin.
d.   Pencucian
Ikan yang telah di butchering kemudian dicuci dengan menggunakan air bersih. Bahaya  potensial pada proses ini adalah air, alat, ruang kerja yang digunakan sudah tercemar. Dan masih adanya sisa-sisa penyiangan yang bisa menimbulkan pertumbuhan bakteri. Cara mengatasinya adalah memperhatikan kebersihan semua alat, air, dan lainnya juga sisa-sisa penyiangan harus segera dipindahkan agar menghindari pertumbuhan bakteri.
e.    Pilling (penyusunan)
Ikan yang telah di cuci selanjutnya disusun pada baki pemasakan (pan)berdasarkan ukuran dan jenisnya untuk memberikan dampak pemasakan yang seragam. Bahaya potensial yang ada yaitu kontaminasi bahan baku dengan alat yang digunakan. Cara mengatasinya dengan memperhatikan alat yang digunakan pada proses pengolahan.
f.     Pemasakan awal (pre-cooking)
Pemasakan awal menggunakan bejana uap (steam) tertutup yang disebutprecooker. Pemasakan awal dimulai setelah precooker terisi secara optimal. Suhu pemasakan dalam bejana dipertahankan tidak melebihi 1000c, sedangkan lama pemasakannya disesuaikan dengan ukuran ikan.
Pada tahapan ini pertumbuhan bakteri merupakan bahaya yang potensial, penyebabnya sisa-sisa darah, minyak dan cairan tubuh pada ikan masih tersisa pada proses butchering dan pemasakan. Selain itu bahaya dalam bentuk fisik dapat terjadi dikarenakan suhu, waktu, dan size yang digunakan pada proses pemasakan tidak sesuai sehingga dapat merusak tekstur produk. 
g.    Colling (Pendinginan)
Ikan yang telah di masak (di-precooking) terlebih dahulu di dinginkan dengan menggunakan semprotan air berkabut, menggunakan alat yang disebutmist-sprayer. Hal ini bertujuan untuk menutup pori-pori ikan agar proses dehidrasi dapat dihindari sehingga berat ikan tidak banyak berkurang, disamping mempercepat pendinginan ikan agar efek pemasakan tidak berkelanjutan sehingga permukaan ikan tidak gosong dan kulit ikan mudah di keluarkan. Kemudian ikan yang telah disemprot dengan air dipindahkan kecooling area.
Bahaya potensial yang ada pada proses ini adalah pada tahap setelah proses cooling  dimana suhu yang digunakan tidak boleh lewat dari 430c dan waktu tidak boleh melebihi 4 jam, karena akan menimbulkan kerusakan fisik pada produk. Selain itu bahaya terkontaminasi dapat terjadi yang disebabkan air yang digunakan pada proses penyiraman atau pengkabutan telah tercemar. Untuk mengatasi bahaya tersebut harus memperhatikan suhu dan waktu pada saat proses tersebut.
h.    BeheadingSkinningloinning (Pemotongan Kepala, kulit, pengeluaran tulang)
Pada tahap beheading yaitu mengeluarkan bagian kepala ikan termasuk insang, sirip, ekor. Kemudian ikan yang telah dibersihkan dikumpulkan pada baki plastik dan dibawa kebagian skinning.
Ikan yang diterima dari bagian beheading kemudian dilakukan prosesskinning (pengeluaran kulit). Kulit ikan dikeluarkan dengan menggunakan pisau dari arah kepala menuju  ke ekor sedangkan pada bagian perut ikan, kulit dikeluarkan dari arah ekor menuju ke kepala mengikuti alur atau serat daging ikan tersebut.
Setelah kulit ikan dikeluarkan, selanjutnya dilakukan proses loinningdengan mengeluarkan tulang dan daging merah ikan. Tulang belakang ikan dikeluarkan dengan membelah ikan menjadi dua bagian, selanjutnya tiap bagian dibelah lagi menjadi dua bagian sehingga diperoleh 4 buah bagian (loin) untuk setiap ikan. Selanjutnya ikan yang telah bersih disusun pada baki plastik kemudian ditimbang lalu dibawa ke bagian pengepakan.
Bahaya potensial pada tahapan ini adalah bahaya kontaminasi yang disebabkan oleh pekerja dan alat yang digunakan kurang steril sehingga dapat mengakibatkan pertumbuhan mikroba . adapun untuk mengatasi bahaya tersebut adalah dengan lebih memperhatikan kebersihan dari semua personil baik itu pekerja maupun alat dan produk yang telah rusak pada saat proses pengolahan sebaiknya diperhatikan lebih ketat agar tidak terikut kedalam produk yang memiliki mutu yang baik.
i.      Pencucian Kaleng Kosong
Kaleng yang akan digunakan terlebih dahulu dibersihkan sebelum diisiloin. Kaleng yang telah disortir selanjutnya diletakkan pada meja berputar (can feeding table) untuk dibawa ke mesin pack saper  dengan menggunakanelevator . pembersihan kaleng dilakukan dengan menggunakan semprotansteam pada ujung elevator, menjelang tiba dimesin pack saper.
Pada tahapan ini bahaya dalam bentuk fisik adalah merupakan bahaya yang potensial. Penyebabnya karena masih adanya tulang dan daging gelap atau cokelat pada saat proses sebelumnya. Selain itu bahaya kontaminasi juga dikarenakan alat yang digunakan berkarat atau tercemar bahan lain. Cara mengatasinya dengan memperhatikan kebersihan semua alat dan cara pengolahan produk.
j.      Packing (Pengisian Daging Ikan)penimbangan, Filling Medium (Pengisian medium)
Ikan yang akan dikalengkan disusun pada feeding conveyor mesin pack shaper.Penyusunan ikan pada alat tersebut disesuaikan dengan produk (model pengepakan) yang akan dibuat yaitu dibedakan atas chunk (potongan/ukuran daging ikan yang sedang) dan flakes/filler (serpihan daging ikan yang halus).
Setelah kaleng diisi dengan ikan selanjutnya ditimbang untuk mengetahui apakah jumlah ikan yang diisikan kedalam kaleng telah sesuai dengan standar.
Pada proses Filling Medium dilakukan pemasukkan cairan (medium) yang digunakan sesuai dengan pesanan pembeli (buyer) pada PT.Delta medium yang digunakan adalah sun flower seed oil. Canola oil, dan brine.
Bahaya adanya dalam bentuk fisik (tulang, bahan pengotor lain), bahaya kimia (kontaminasi logam Cu dan Fe dari kaleng), bahaya biologis (cemaran salmonella), selain itu kepadatan dan kekurangan berat timbangan merupakan bahaya potensial yang terdapat pada tahapan ini.
k.    Seaming (penutupan kaleng), can washing (pencucian kaleng)
Kaleng yang telah diisi dengan ikan dan medium selanjutnya ditutup dengan menggunakan mesin penutup kaleng (seamer). Setelah itu dilakukan pengkodean nama perusahaan, dan waktu (tanggal, bulan, dan tahun) pengolahan. Pada proses selanjutnya dilakukan pencucian kaleng untuk menghilangkan kotoran atau bahan-bahan yang masih terdapat pada permukaan kaleng.
Tahapan ini bahaya potensial adalah bahaya kontaminasi yang disebabkan oleh benda-benda asing yang masuk dalam kaleng yang berasal dari luar atau dari dalam benda tersebut, bahaya biologis (kontaminasi mikroba) karena suhu yang tidak sesuai, Selain itu bahaya dalam bentuk fisik kaleng seperti adanya kaleng yang rusak karena tekanan dari dalam.
l.      Sterilisasi/retorting
Ikan kaleng yang telah dicuci selanjutnya disusun pada basket (keranjang)retort, sebelum basket dimasukkan kedalam retort (pengoperasian) dimulai.
Untuk proses ini bahaya yang ada adalah bahaya kimia karena cemaran logam dari kaleng, bahaya biologis dari kontaminasi bakteri dan mikroba karena penggunaan suhu yang tidak sesuai pada saat proses pemanasan, selain itu bahaya fisik (daging ikan rusak) karena suhu pemanasan yang tidak sesuai.
m.  Pendinginan Kaleng
Ikan yang telah dikeluarkan dari retort selanjutnya didinginkan secara alamiah (menggunakan udara dengan suhu ruang), hanya dibantu dengan kipas agar terjadi sirkulasi udara didalam ruang tersebut sehingga mempercepat proses pendinginan. Waktu pendinginan yang dibutuhkan adalah 4 jam untukpack in brine dan 5 jam untuk pack in oil.
Bahaya yang ada adalah bahaya biologis (tercemar bakteri thermofilik) pada saat didinginkan setelah sterilisasi, selain itu bahaya fisik (perubahan rasa, warna, dan tekstur daging) karena over cooking dan over processing.
n.    Pengartonan (Case Up)
Kaleng yang sudah dingin selanjutnya dibersihkan dari sisa-sisa air dengan menggunakan kain lap yang bersih dan dibawa keruang case up (pengartonan). Setiap karton masing-masing berisi 48 kaleng. Dalam tahapan ini bahaya potensial adalah kerusakan karton yang digunakan sebagai kemasan.
o.    Pelabelan
Produk yang akan dilabel ditempatkan didekat mesin label yang sebelumnya telah disiapkan, kemudian proses pelabelan dilakukan. Pada tahapan ini bahaya potensial adalah kesalahan pelabelan yang dicantumkan.
p.    Penyimpanan
Produk yang telah dilabel dan disusun dalam dos sementara menunggu waktu pengiriman/ekspor disimpan digudang yang bersebelahan dengan ruang pelabelan.
Bahaya potensial dalam  tahap ini adalah adanya kontaminasi pada kaleng baik itu minyak, abu, kotoran, dan kesalahan penghitungan hari antara produksi dan waktu pengiriman.
q.    Pemasaran
Pemasaran produk ikan kaleng PT.Delta Pasifik Indotuna dipasarkan ke manca negara terutama ke negara Timur Tengah.
Dalam proses ini bahaya dalam bentuk fisik seperti adanya kaleng rusak, kembung, berkarat, kotor, dan kontaminasi bakteri, selain itu kesalahan pada pencantuman logo, nama produk, tanggal kadaluarsa, dan lain-lain yang terdapat pada tahap ini.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan di atas dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut:
ü  Penyebab bahaya dari setiap tahapan adalah adanya bahaya dalam kerusakan fisik, baik itu dari bahan baku maupun dari kaleng.
ü  Bahan baku yang terkontaminasi oleh alat, air, dan pekerja yang kurang bersih dan steril.
ü  Bahaya kimia dan biologis dengan terkontaminasi/tercemar oleh bakteri dan mikroba karena alat, suhu, waktu, dan proses yang kurang baik sehingga memicu pertumbuhan bakteri ini.
ü  Bahaya kesalahan penimbangan, penulisan kode, tanggal/bulan/tahun produksi, dan lain-lain.
ü  Bahaya penyimpanan produk yang terkontaminasi panas, dingin, debu, kotoran, dan benda-benda lain yang mengakibatkan kerusakan pada produk.
4.2 Saran
Ada beberapa hal yang menjadi saran dalam setiap proses pengolahan adalah bahaya dari setiap proses terutama penggunaan suhu sesuai dengan mata rantai, hal ini dapat menimbulkan pertumbuhan bakteri-bakteri pathogen. Selain itu konsep Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) perlu diterapkan pada setiap pengolahan serta perbaikan program HACCP pada setiap tahapan proses yang menjadi CCP, antara lain berupa penataan Good Manufacturing Practices (GMP), standarisasi bahan baku ikan tuna yang dibeli, keseragaman mutu dan jenis kaleng.
DAFTAR PUSTAKA
Challinor A. 2003. Food Safety Advisory Note 29. htttp://www.valeroyal.gov.uk Chesire Chief Officer’s Food Liaison Group. 5 Mei 2005
Codex Alimentarius Commission. 2001. Food hygiene. Basic Texts. 2nd ed. Di dalam Huss HH, Ababouch L, Gram L. 2003. Assessment and management of seafood safety and quality. FAO Fisheries Technical Paper. No. 444. Roma: FAO.
Codex Allimentarius Comission. 2004. Guidelines for Application of The Hazard Analysis Critical Control Point System. Report of the 27th Session of The Codex Comittee on Food Hygiene, ALINORM 95/27/13, Annex to Appendix III. Geneva, 28 Juni-3 Juli 2004.
 [DSN] Dewan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2712. Ikan Tuna Dalam Kaleng. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional
[DSN] Dewan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2712.2. Penanganan dan Pengolahan Ikan Tuna Dalam Kaleng. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional
Direktorat Jenderal Perikanan. 1999. Pedoman Penerapan Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) Berdasarkan Konsepsi HACCP. Jakarta: Direktorat Usaha dan Pengolahan Hasil. Direktorat Jenderal Perikanan
Hayes GD, Scallan AJ, Wong JHF. 1997. Applying statistical process control to monitor and evaluate the hazard analysis critical control point hygiene data. Food control 8;74;173-176 Josupeit H, Catarci C. 2004. The World Tuna Industry-An Analysis of Imports,
Prices and of Their Combined Impact on Tuna Catches and Fishing Capacity. FAO. http://www.globefish.com. 23 Juli 2005
Josupeit H. 2005. Global World Tuna Market. Infofish Tuna Conference at Maldives. http://www.globefish.com. 2 Juni 2005
Trilaksani W, Riyanto B. 2004. Sistem pengendalian mutu produk perikanan di Indonesia : keadaan sekarang dan problematikanya. Di dalam Seminar for Promotion of Sustainable Development of Fisheries in Indonesia, with special emphasis on promotion of domestic fish consumption and development of local fishing industry; Jakarta: 16-19 Maret 2004.
Wirakartakusumah MA, Hermanianto D, Andarwulan N. 1989. Prinsip Teknik
Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor Wiryanti J, Witjaksono HT. 2001. Jakarta: Konsepsi HACCP
diambil dari:http://muhammadpajri1991.blogspot.com/2012/07/mempelajari-proses-pengalengan-ikan.html