HOME

Selasa, 30 Maret 2010

PERSEMBAHAN UNTUK JEPARA YANG MAU BERULANG TAHUN : "DJEPARA TEMPO DOELOE"

Foto-foto ini dipersembahkan untuk Kabupaten Jepara yang akan berulang tahun pada tanggal 10 April 2010.  Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu menghargai sejarah.SELAMAT HARI JADI KE 461 Buat Kabupaten jepara semoga tambah maju dan rakyatnya sejahtera.
Selamat ulang tahun juga buat anaku CHAYARA KINANTHI NUGRAHAENI yang tanggal 10 April 2010 nanti berumur 3 tahun, semoga panjang umur dan jadi anak yang solehah berguna bagi agama bangsa negara dan orang tua.
 Tiga Kartini kecilku
1. Annabiyla Eskha Nugrahaeni
2. Chayara Kinanthi Nugrahaeni
3. Jagadita Alya Nugrahaeni

Senin, 29 Maret 2010

Persembahan untuk Banyumas : "BANJOEMAS TEMPO DOELOE"

Aloen-aloen Poerwokerto (Masdjid Agoeng)


Isola (Sekarang Moro)


Kebondalem



Pasar Wage



Politie Poerwokerto


Stasioen Poerwokerto (stasioen timoer)

ANGIN SEGAR DARI PERTEMUAN DI JAKARTA

Alhamdulillah.............angin segar berhembus agak kencang untuk Program Keahlian TPHPi yang sedang memperjuangkan keberadaanyya di dunia Pendidikan SMK melalui P Murtoyo, B Selvi, B. Diah dan P waridi yang tengah berdiskusi dengan pihak Direktorat, P3G, DU/DI  dan BSNP.  Berdasarkan hasil pertemuan yang dilakukan tanggal 28 Maret malam dengan P Mansur cs, keberadaan TPHPi memang disambut dengan baik.  Kondisi ini setidaknya dapat memacu semangat guru-guru TPHPi se-Indonesia yang akhir-akhir ini mulai loyo karena bingung trentang ekstensi TPHPi menyusul spektrum 2009 yang tiak  mengakui adanya TPHPi.  Untuk kelancaran usaha teman-teman kita yang ada di Jakarta, mari kita doakan semoga apa yamng kita harapkan dapat tercapai.......BRAVO TPHPi......

PROSES PEMBUATAN AGAR


Agar diperoleh dari tanaman Agarophyt yang merupakan kelompok tanaman (alga) penghasil agar. Salah satu contoh tanaman penghasil agar adalah Gracilaria sp. Agar-agar adalah produk kering tak berbentuk (amorphous), mempunyai sifat seperti gelatin, dan merupakan hasil ekstraksi non-nitrogen dari kelompok Agarophyte. Rumput laut jenis Gracilaria sp ini dapat diolah menjadi bentuk agar-agar dengan mengekstraksinya kemudian dijendalkan, diiris, dipres lalu dikeringkan. Rumput laut sendiri di kenal kaya nutrisi sehingga mempunyai banyak manfaat. Rumput laut tidak mengandung lemak essensial, tetapi kaya selenium yang bersifat antioksidan, sehingga membantu tubuh mencegah penyerapan zat kimia beracun, termasuk sampah radioaktif dan polusi.


Rumus molekul : (C12H14O5(OH)4)n



Secara umum pembuatan agar meliputi beberapa proses sebagai berikut (Coppen dan Nambiar, 1991) :
1. Pencucian bahan baku (Gracilaria sp)
2. Perlakuan awal bahan dan perlakuan kimia
3. Ekstraksi
4. Filtrasi dan gelatinasi
5. Pemutihan dan pengeringan


FLOW CHART PEMBUATAN AGAR

1. FAO  Produksi Agar di India (Coppen and Nambiar, 1991)

























Gracilaria sp Perlakuan awal




















2. FAO  Produksi Agar (Armisen and Galatas, 1987)



















































PENJELASAN

A. Proses Pembuatan agar di India (Coppen and Nambiar, 1991)

Perlakuan awal
Rumput laut dicuci untuk menghilangkan material yang tidak diinginkan seperrti garam, pasir, batu atau serpihan karang dan juga jenis rumput laut yang lain. Setelah dibersihkan dilanjutkan dengan perlakuan kimia baik alkali maupun asam. Perlakuan alkali dilakukan untuk meningkatkan gel strength dengan menggunakan NaOH. Setelah itu dicuci dan dibilas agar diperoleh pH 6-7. Sedangkan perlakuan asam dilakukan untuk menghancurkan dinding sel sehingga tahap ekstraksi bisa lebih optimal. Pada tahap ini di gunakan HCl. Setelah perlakuan asam remput laut dicuci dan dibilas dilanjutkan dengan ekstraksi menggunakan air panas, dan untuk meningkatkan yield biasanya ditambahkan potassium.

Ekstraksi
Proses pemasakan menggunakan air 40 kali berat kering rumput laut berlangsung pada suhu 90 – 1000C selama 1,5 – 3 jam dengan yield yang diperoleh biasanya antara 5 – 10% setelah disaring. Rendahnya yield mengindikasikan jeleknya kualitas Gracilaria sp India. Rendahnya kualitas rumput laut ini bisa disebabkan buruknya nutrient perairan budidaya maupun kesalahan pada proses pasca panen seperti pengeringan.

Penjendalan dan Pemutihan
Didinginkan dan dijendalkan pada nampan alumunium dan ditempatkan pada rak yang tersedia, kemudian setelah menjendal disimpan di pendingin 20-24 jam pada suhu -10 s/d -20 o C. Dari pendingin kemudian di thawing lalu diputihkan dengan kaporit.

Pengeringan dan Penepungan
Tahap ini berlangsung cepat 10-15 menit kemudian diletakkan pada saringan mess dan jemur dibawah sinar matahari selama 2-3 hari panas normal. Bubuk agar diperoleh setelah kering.


B. Proses pembuatan Agar (Armisen and Galatas, 1987)

Pencucian
Rumput laut (Gracilaria sp) dicuci dan dibersihkan dari kerang, batu, maupun rumput laut lain yang tak sejenis. Diberi perlakuan alkali yang bertujuan untuk meningkatkan gel strength dengan menggunakan 2-5% NaOH dan dipanaskan pada suhu 85-900C selama 1 jam. Lalu dicuci dan dibilas untuk mengurangi residu alkali.

Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan pada suhu 95-1000C selama 2-4 jam. Proses ekstraksi ini sama antara bahan baku Gracilaria sp maupun Gelidium sp.

Penyaringan
Ekstrak panas disaring dan dipisahkan residunya. Filtrate didinginkan sampai menjadi gel dan dibuat lembaran dimana tiap lembaran mengandung kurang lebih 1% agar dan 99% air yang mengandung garam, dan karbohidrat terlarut.


Gambar 1. penyaringan

Gambar 2. proses pembuatan lembaran
Penjendalan
Jendalkan dengan mendinginkan hingga mengkristal pelan-pelan. Metode aslinya menghilangkan air dengan menggunan proses pembekuan. Struktur gel akan terpisah dengan pembekuan dan dengan mengaliri dengan air mengalir akan diperoleh agar 10-12%.



Pengepresan dan Pengeringan
Setelah membeku di lakukan pengepressan dimana agar akan tertinggal di kain saring saat pengepresan atau bisa juga agar didapat lalu dikeringkan dan ditepungkan.

Minggu, 28 Maret 2010

SELAMAT BERJUANG BUAT PARA PEJUANG TPHPi

Hari ini, 29 Maret 2010 dilakukan pembahasan KTSP spektrum baru di puncak-Bogor.  Ironisnya kembali TPHPi tidak termasuk dalam undangan.  Bertolak dari kondisi tersebut, para dedengkot TPHPi di Jawa khususnya Pak Waridi dari Mundu Cirebon, Pak Murtoyo dan Bu Selvi dari Jepara serta Bu Diah dari banyuwangi bermaksud memperjuangkan jurusan TPHPi supaya diakui di Jakarta.  Semoga usahapara pejuang kita memperoleh hasil yang memuaskan......Bravo TPHPi...

Jumat, 26 Maret 2010

PRODUKSI RUMPUT LAUT DAN PEMASARANNYA DI INDONESIA

1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negera kepulauan yang terdiri dari lebih 13.600 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Kondisi perairan Indonesia yang luas dan subur mencerminkan potensi hasil laut yang cukup tinggi. Salah satu komoditi sumberdaya laut yang ekonomis adalah rumput laut. Dari ratusan jenis rumput laut yang tersebar di perairan pantai Indonesia, terdapat 4 jenis bernilai ekonomis yaitu marga Gracilaria, Gelidium dan Gelidiella sebagai penghasil agar, dan marga Hypnea serta Eucheuma sebagai penghasil carrageenan.
Produksi rumput laut dalam 7 tahun terakhir menunjukkan kenaikan dari 4000 ton pada tahun 1977 menjadi 9600 ton pada tahun 1983, dimana pada tahun-tahun sebelumnya produksi rumput laut selalu menurun. Dari total produksi rumput laut di Indonesia sebagian besar dihasilkan di perairan Maluku dan Nusa Tenggara Timur. Walaupun perairan pantai Indonesia mempunyai potensi sebagai penghasil rumput laut, tetapi masih kalah jauh dengan produksi rumput laut dari Filipina. Hal ini disebabkan karena produksi rumput laut Indonesia selama ini masih tergantung dari hasil panen dari alam, sedangkan di Filipina sudah dibudayakan secara intensif. Usaha budidaya rumput laut di Indonesia baru dilakukan di beberapa daerah seperti Bali, Sulawesi Tenggara dan itupun masih terbatas pada jenis Eucheuma.
Rumput laut Indonesia sebagian besar diekspor dalam bentuk kering (raw material) dan sebagian lagi dikonsumsi untuk keperluan perusahaan agar-agar atau dikonsumsi langsung oleh masyarakat sebagai sayuran. Peningkatan produksi antara tahun 1979–1983 diikuti kenaikan jumlah ekspor, tetapi tidak diikuti oleh kenaikan harga di sentra produksi dan nilai ekspor masih sangat rendah dibandingkan dengan harga rumput laut di negara lain. Dalam hal ini faktor kualitas sangat menentukan, demikian juga rantai pemasaran yang terlalu panjang menyebabkan harga yang diterima pemetik sangat rendah.
2. METODA
Untuk memperoleh informasi tentang perkembangan rumput laut di Indonesia kami lakukan pendekatan melalui :
  • Pengumpulan data primer dan sekunder di daerah rumput laut seperti Ambon, Sulawesi selatan, Bali, Surabaya, Pameungpeuk Garut.
  • informasi diperoleh melalui wawancara dengan petani rumput laut, eksportir, Dinas Perikanan dan sumber lainnya.
  • studi literatur.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Produksi rumput laut di Indonesia
Produksi rumput laut di Indonesia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, mengingat terbatasnya penelitian ke arah itu. Walaupun demikian sebaran rumput laut di wilayah perairan pantai Indonesia yang dikemukakan Soegiarto et al. (1978) serta data produksi tahunan dari Dit Jen. Perikanan dapat dijadikan gambaran potensi produksi rumput laut di Indonesia. Daerah yang mempunyai potensi sebagai penghasil rumput laut bernilai ekonomis adalah perairan pantai Kepulauan Riau, pantai barat Sumatera, Bangka Belitung, perairan pantai sebelah barat dan selatan Jawa, bagian timur Madura, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur dan Maluku (gambar 1).
Produksi rumput laut di Indonesia pada tahun 1979 adalah 5945 ton dengan nilai 334 juta rupiah dan pada tahun 1983 sebesar 9607 ton dengan nilai 515 juta rupiah, atau rata-rata per tahuh sebesar 7600 ton dengan nilai 406 juta rupiah (table 1). Tujuh puluh delapan persen dari produksi rumput laut di Indonesia diperoleh dari Maluku, 9 % dari Bali dan NTT, 5% dari selatan Jawa dan sisanya tersebar di daerah lainnya (table 2). Dari tabel tersebut terlihat bahwa produksi rumput laut di Maluku pada tahun 1979 – 1983 adalah 5.920 ton per tahun jumlah tersebut lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yaitu 2125 ton per tahun (Zoebir, 1980).
Suatu kenyataan bahwa produksi rumput laut di Indonesia masih terlalu kecil dibandingkan hasil dari Filipina pada periode yang sama (tabel 1 dan 3). Hal ini disebabkan produksi rumput laut Indonesia hampir seluruhnya berasal dari panen alamiah sedangkan di Filipina berasal dari usaha budidaya yang intensif. Produksi rumput laut yang tumbuh secara alami sangat tergantung pada keadaan substrat, kondisi perairan dan musim. Mubarak (1974) mengemukakan bahwa Eucheuma spinosum lebih baik tumbuh pada pasir bercampur karang mati dan produksinya lebih banyak pada saat setelah musim hujan. Produksi Eucheuma di perairan pantai Maluku dan Nusa Tenggara Timur yang tumbuh secara alami adalah 0.6 – 3.4 ton berat kering per ha.
Table 1 Produksi dan nilai rumput laut di Indonesia 1979 – 1983.
TAHUNVOLUME (TON).NILAI (RP.1.000)
19795.945334.000
19807.848421.000
19817.251362.000
19827.479398.000
19839.607515.000

Sumber : Dit Jen. Perikanan, Departemen Pertanian (1985).
Tabel 2 Produksi rumput laut dari beberapa daerah perairan pantai di Indonesia (1979 – 1983)
Perairan pantaiProduksi rumput laut (ton)
19791980198119821983
Barat Sumatera648662
Timur Sumatera39----
Selat Malaka251572-7-
Utara Sulawesi10811910512369
Selatan Sulawesi43678138280501
Selatan Jawa191486208407772
Bali / NTT4965504513151755
Maluku44183039634163416448
Total
59457848725174799607

Sumber : BPS.
Dewasa ini di perairan Lasori Sulawesi Tenggara telah dilakukan budidaya Eucheuma dengan produksi 6 – 8 ton / ha. Di Bali dengan budidaya dicapai produksi 5 – 6 ton / ha. Dari hasil budidaya Bali dapat mensuplai Eucheuma lebih dari 120 ton/bulan dari 22 ha areal budidaya. Apabila kita bandingkan dengan produksi hasil panen dari alam di Maluku dan Nusa Tenggara Timur yaitu 0.6 – 3.4 ton / ha, maka usaha budidaya meningkatkan produksi rumput laut Filipina melalui usaha budidaya yang intensif dapat meningkatkan produksi Eucheuma dari 398 ton per tahun pada tahun 1970 – 1973 menjadi 20.000 ton per tahun pada tahun 1978 – 1984 (Porse, 1985). Saat ini Filipina merupakan penghasil rumput laut Eucheuma terbesar yang dapat mensuplai kebutuhan dunia.
Selain Eucheuma, jenis lainnya yang bernilai ekonomis dan cukup potensial adalah Hypnea, Gracilaria, Gelidium dan Gelidiella. Data produksi dari ketiga jenis rumput laut tersebut tidak diperoleh dengan pasti dan pada data statistik berbaur dengan produksi Eucheuma. Di perairan Pulau Kefing Maluku Tengah, produksi Gracilaria adalah 1,28 ton/ha (Sumadiharga, 1978). Penelitian potensi produksi rumput laut di Indonesia masih sangat sedikit dan perlu penelitian lebih lanjut.
Apabila kita bandingkan produksi rumput laut dengan produksi komoditi perikanan lainnya, ternyata nilai rumput laut hanya 0.3 % - nya saja (tabel 4). Nilai yang kecil tersebut memerlukan perhatian yang besar, mengingat perairan Indonesia cukup potensial untuk budidaya rumput laut, prospek pemasarannya cukup baik. Masalahnya sekarang bagaimana caranya meningkatkan kualitas dan kuantitas produksinya. Caranya yaitu mengadakan seleksi bibit yang unggul, mengembangkan budidaya dan memperbaiki cara penanganan lepas panennya.
Tabel 3. Produksi Eucheuma sp di Filipina
TAHUNPRODUKSI (TON)
197813.000
197914.000
198017.000
198118.000
198226.000
198326.000
198423.000

Sumber : Porse (1985).
Tabel 4. Nilai produksi rumput laut dan produksi perikanan laut lainnya (1977 – 1983)
TAHUNRUMPUT LAUT
(Rp. 1000,-)
PRODUKSI PERIKANAN LAUT LAINNYA
(Rp. 1000,-)
PERSENTASE RUMPUT LAUT
1977203.00051.884.0000.4
1978742.00066.207.0001.1
1979334.000105.664.0000.4
1980421.000121.374.0000.3
1981362.000136.073.0000.3
1982398.000132.284.0000.3
1983515.000179.772.0000.3

Sumber : Dit. Jen. Perikanan 1985
3.2. Pemasaran rumput laut di Indonesia
3.2.1. Ekspor rumput laut.
Prospek usaha rumput laut di masa mendatang cukup baik dan memberikan harapan. Sebagai contoh, permintaan dunia terhadap Eucheuma dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Bahkan menurut Doty (1973) permintaan dunia untuk jenis Eucheuma di- taksir dapat mencapai 10 kali produksi alami. Tiga perusahaan industri carrageenan terbesar didunia (USA, Denmark dan Prancis) setiap tahunnya membutuhkan rumput laut sebanyak 20.000 ton sedangkan yang tersedia di pasaran dunia hanya 18.000 ton/tahun (BPEN, 1978). Kemudian Porse (1985) menunjukkan bahwa dewasa ini permintaan dunia untuk Eucheuma adalah 50.000 ton per tahun, sedangkan suplai hanya mencapai 44.000 ton per tahun, untuk memenuhi permintaan dunia masih diperlukan 6.000 ton per tahun. Dari sejumlah suplai Eucheuma, Indonesia hanya mensuplai 9 % - nya.
Ekspor rumput laut dari Indonesia pada tahun 1979 – 1984 rata-rata 1950 ton per tahun dengan nilai US $ 258.000. Volume ekspor tersebut dari tahun ke tahun selalu berubah-ubah. Pada tahun 1971 dan 1972 ekspor rumput laut dari Indonesia mencapai 3.700 ton, setelah itu menurun dan pada tahun 1980 hanya 596 ton ; akan tetapi pada tahun berikutnya meningkat lagi dan pada tahun 1984 mencapai 3.000 ton (Tabel 7).
Tabel 5. Estimasi produksi rumput laut di dunia (ton berat kering) sesuai dengan bahan koloid yang dihasilkannya.
DAERAH PRODUKSICARRAGEENAN & FULCELLARANAGARALGIN
19711975198019841975198019751980
Asia4.50030017.90028.0002.30018.0882004.570
Amerika Latin4.000-5.7206.0003009.99020012.800
Eropa?6.9008.400?2.3006.35010.70034.000
Amerika Utara6.0004.8007.0005.000100-6.70042.000
Negara lain5.500-1504.5003501.666-6.000

Sumber : Mc. Hugh D.J. and B.V. Lanier (1983)
Pores H. (1985)
Saleh S. (1985)


Tabel 6. Estimasi produksi olahan rumput laut di dunia serta bahan bakunya tahun 1980
Daerah produksiAgarRumput lautCarrageenanRumput lautAlginatRumput laut
Asia3.57418.08850017.9001.9504.570
Amerika Latin8579.990-55.72012.10012.800
Eropa1.9906.3507.9008.40012.82534.000
Amerika Utara200-4.5007.0006.70042.000
Lainnya4401.666-150-6.000
 7.06136.09412.90039.17021.57599.370

Tabel 7. Ekspor rumput laut 1979–1984
TAHUNVOLUMENILAI (US $)
19791.836.076170.132
1980596.629143.016
1981690.29161.302
19822.110.703166.201
19833.402.139346.619
19843.061.122658.842

Sumber : BPS
Harga ekspor rumput laut pada tahun 1983 dan 1984 dari data BPS adalah antara Rp. 100,- - Rp. 200,-/kg (tabel 6). Akan tetapi menurut keterangan eksportir di Ujung Pandang dan Surabaya harga ekspor rumput laut pada tahun 1983/1984 adalah US $ 450–500 per ton atau kurang lebih Rp. 450–Rp. 500, -/kg FOB. Porse (1985) menunjukkan bahwa harga rumput laut untuk carrageenan dari Indonesia adalah US $ 425 per ton FOB atau Rp. 425,-/kg. Kemudian informasi dari sentral produksi diperoleh bahwa harga lokal di Ambon, Sulawesi Tenggara dan Bali pada tahun yang sama berkisar antara Rp. 100,-s/d Rp. 250,-/kg. Dari perbandingan tersebut terlihat bahwa data ekspor yang tercatat BPS tidak sesuai dengan kenyataan. Kemudian apabila kita bandingkan dengan harga rumput laut yang dibeli oleh eksportir dari pedagang / pengumpul rumput laut yaitu rata-rata Rp. 345, - maka nilai ekspor yaitu 43 % harga di dalam negeri. Dengan kata lain bahwa apabila kita memperhatikan informasi harga dari pedagang dan eksportir Indonesia, maka sebetulnya nilai ekspor dari Indonesia dua kali lebih besar dari nilai yang diperoleh dari BPS. Nilai ekspor ini dapat ditingkatkan lagi bila kualitas dan kuantitas produksi rumput laut ditingkatan lagi. Sebagai perbandingan harga rata-rata rumput laut dari berbagai negara dikemukakan pada Tabel 9.
Kurang lebih 80 % dari jumlah ekspor rumput laut pada tahun 1979 – 1983 berasal dari pelabuhan Ujung Pandang, dan hanya 2 % yang berasal pelabuhan Ambon, bahkan pada tahun 1981 dan 1982 tidak ada ekspor rumput laut dari Ambon (Tabel 8). Padahal 78 % dari produksi rumput laut di Indonesia berasal dari Maluku. Rendahnya ekspor dari Ambon pada tahun tersebut disebabkan eksportir di Ambon tidak bergairah lagi mengekspor rumput laut yang harganya terus menurun dan mereka lebih menyukai komoditi ekspor lainnya seperti rempah-rempah dan mutiara. Perwakilan eksportir di sentra produksi rumput laut akhirnya digantikan oleh para pengumpul yang mempunyai perahu motor. Mereka mengunjungi daerah produksi di pulau-pulau Maluku dan membawa dan menjualnya kepada eksportir di Ujung Pandang atau Surabaya.
Tabel 8. Ekspor rumput laut dari tiap pelabuhan (kg), 1979 – 1983
PELABUHAN19791980198119821983
Sumatera Barat30.00035.000---
Riau72.87020.900---
Tanjung Priok112.20084.18027.76070.7002.000
Surabaya62.047146.017102.86244.269236.315
Ujung Pandang1.503.253287.796552.2691.944.5312.595.433
Kendari----159.520
Belawan--7.400--
Kupang---51.203-
Ngurah Rai----30
Ambon55.90622.736--74.929
Waingapu----282.912
Total1.836.076596.629690.2912.110.7033.405.139


Tabel 9. Harga rata-rata rumput laut di beberapa negera.
JENIS RUMPUT LAUTNEGARATAHUNUS$/TON
1. Untuk industri agar:
- Gracilaria sp
Chili1978760
Jepang1979780
- Gelidium sp
 
Jepang19781.100
Chili19791.100
2. Untuk industri carrageenan :
- Eucheuma spinosum
Filipina19801.120
1981*385
1982380
1984*425
Chili1981*500
1984*460
Canada1981*570
1984*615
Indonesia1981*380
1984*425
- Eucheuma cottonii
Filipina1980560
1982310
3. Untuk industri alginat:
- Algae coklat
rata-rata1980250
- Laminaria
Inggris1979100
- Ascophyllum
Inggris1979100
- Devevilea
Chili1979230
- Sargassum
India1981130

Sumber : McHugh D.J. and B.V. Lanier (1983)
* Porse (1985)
Disatu pihak Indonesia cukup potensial sebagai penghasil rumput laut seperti agar-agar, algin dan carrageenan. Untuk mencukupi kebutuhan di dalam negeri Indonesia masih mengimpor agar, algin dan carrageenan dalam jumlah cukup besar. Pada tahun 1981 – 1984 Indonesia mengimpor agar senilai US $ 410.958 per tahun dan algin US $ 5.050.426 per tahun (tabel 9) belum termasuk carrageenan. Total agar dan algin rata-rata US $ 5.461.385 per tahun. Nilai agar dan algin tersebut hampir 30 kali nilai ekspor rumput laut pada periode yang sama. Di Indonesia terdapat beberapa perusahaan agar untuk bahan makanan baik skala “home industry” maupun semi tradisional. Industri agar-agar tersebut di Indonesia perlu ditingkatkan dan dikembangkan lagi mengingat potensi bahan bakunya cukup tersedia.
Apabila senyawa agar carrageenan dan alginat dapat diproduksi di dalam negeri, maka nilai impor dari jenis senyawa tersebut dapat menjadi investasi negara dan akan lebih menguntungkan lagi bila sanggup mengekspor hasil olahan dari rumput laut tersebut dan memberikan lapangan kerja bagi masyarakat.
3.2.2. Tata niaga rumput laut.
Sampai saat ini pengelolaan rumput laut oleh nelayan merupakan usaha sambilan yang diperoleh dari hasil panen langsung dari alam. Usaha budidaya hanya berkembang di beberapa daerah saja seperti di perairan Bali sebelah tenggara yaitu di Nusa Dua, Serangan, Nusa Lembongan dan Nusa Penida, di perairan Sulawesi Tenggara seperti di Buton dan usaha budidaya tersebut baru untuk jenis Eucheuma saja. Sebagian besar hasil panen baik yang berasal dari alam maupun budidaya dijual untuk diekspor dan sebagian lagi untuk kebutuhan di dalam negeri sebagai pembuat agar-agar dan juga dikonsumsi sebagai sayuran oleh masyarakat pesisir.
Tabel 10. Impor agar-agar dan alginat 1980 – 1984
TahunAgar-agarAlginatTotal
Nilai (US$)
Volume (kg)Nilai (US$)Volume (kg)Nilai (US$)
1980159.349       ---
198143.372300.7104.639.5085.114.5985.415.308
1982261.947542.1932.938.3034.764.9685.307.161
1983350.111526.9573.717.9014.848.9975.375.954
1984162.885273.9733.653.3655.473.1425.747.115
Rantai pemasaran rumput laut mulai dari pemetik sampai eksportir di beberapa daerah pada umumnya sama. Nelayan atau petani rumput laut menjual rumput laut hasil panen dari alam atau budidaya kepada pedagang lokal (pedagang di kecamatan). Kemudian oleh pedagang lokal dijual kepada pedagang antar pulau yang kadang-kadang merupakan perwakilan eksportir yang ditempatkan di sentra-sentra produksi rumput laut. Pedagang antar pulau tersebut membawa rumput laut kering kepada eksportir di kota-kota pelabuhan seperti eksportir-eksportir di Ujung Pandang, Ambon, Surabaya, Denpasar, Jakarta dan di kota pelabuhan lainnya. Rantai pemasaran dari tiga sentra produksi pada tahun 1983 / 1984 dapat dilihat pada gambar 2.
Harga rumput laut masih ditentukan oleh eksportir karena rumput laut yang dibeli eksportir belum memenuhi standar ekspor. Demikian juga harga rumput laut masih dipengaruhi dan ditentukan para importir, karena sampai saat ini ada tiga importir besar di dunia yang menguasai pasaran yaitu Marine Colloids INc. dari USA Pierrefitte Auby dari Perancis dan The Copenhagen Pectin Factory dan Denmark. Ekspor rumput laut pada umumnya lewat agen-agen mereka di Singapura, sehingga memperpanjang lagi rantai pemasaran yang telah ada di Indonesia. Harga ekspor rumput laut dari Indonesia berkisar US $ 425 - US $ 500/ton FOB atau sekitar Rp. 425 - Rp. 500, - per kg. Harga yang dibeli eksportir dari pedagang Indonesia rata-rata Rp. 350,-/kg.
Dengan harga rata-rata Rp. 350,-/, eksportir masih harus melakukan penyortiran karena rumput laut masih tercampur dengan kotoran, pasir, jenis rumput laut lain, kayu, pecahan karang dan lain-lain. Karena harga masih ditentukan eksportir dan pedagang antar pulau yang membawa rumput laut dari sentra produksi harus mengeluarkan biaya transportasi, maka harga pada setiap pedagang lokal akan berbeda-beda tergantung dari jauh dekatnya sentra produksi atau sulit tidaknya dijangkau oleh pedagang antar pulau. Pedagang lokal yang jauh dan sulit dijangkau akan menerima harga rumput laut paling rendah, akibatnya harga yang diterima pemetik rumput laut lebih rendah lagi, seperti contohnya harga pada pemetik rumput laut di pulau-pulau Maluku. Contoh lain dari rantai pemasaran rumput laut penghasil agar di Pameungpeuk Garut yang cukup panjang (Gambar 3).
Gambar 1.
Gambar 1. Sebaran rumput laut bernilai ekonomis di Indonesia


USS 450 – 500/TON FOB
Gambar 2.
Gambar 2. Skema rantai pemasaran rumput laut Eucheuma sp (1983/1984)
Gambar 3.
Gambar 3. Skema pemasaran rumput laut penghasil agar dan hasil olahannya
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa rumput laut untuk industri agar-agar lebih mahal dari pada jenis rumput laut untuk produksi carrageenan dan algin (table 8.) Akan tetapi panjangnya rantai pemasaran dan rendahnya kwalitas rumput laut yang dipanen akibat cara panen dan penanganan lepas panen yang kurang baik menyebabkan harga dari pemetik sangat rendah yaitu Rp. 100/kg pada tahun 1985. Pada setiap pengumpul dan penyalur selalu dilakukan penyortiran dan proses pencucian. Perbedaan harga antara yang dijual oleh penyalur tunggal di kecamatan dengan harga yang diterima pemetik cukup besar yaitu Rp. 1.400/kg.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kualitas rumput laut dan rantai pemasaran mempengaruhi harga yang diterima pemetik rumput laut. Harga rumput laut di sentra produksi dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kualitas dan atau memperpendek rantai pemasaran. Kualitas dapat ditingkatakan dengan melakukan usaha budidaya atau kultivasi dan penanganan lepas panen yang baik. Rantai pemasaran dapat diperpendek dengan mengikutsertakan atau melibatkan KUD yang berperan sebagai pengumpul sekaligus penyalur ke eksportir. Dan untuk mendorong usaha budidaya perlu adanya penyuluhan cara-cara budidaya rumput laut dan penanganan lepas panennya oleh tenaga penyuluh yang terampil, dan juga pemberian pinjaman modal oleh pemerintah kepada para petani rumput laut dengan bunga modal yang rendah.
Tabel 11. Syarat mutu komoditi rumput laut
Karakteristik    
EucheumaGelidiumGracilariaHypnea
- Kadar air makas (%)32152520
- Benda asing maks (%)5555
- Bauspesifikspesifikspesifikspesifik
rumput lautrumput lautrumput lautrumput laut
Keterangan : Benda asing: rumput laut lainnya, garam, pasir, karang dan kayu (ranting)
Sumber : Soegiarto. A dan Sulistijo (1985).
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Indonesia cukup potensial sebagai penghasil rumput laut. Sampai saat ini Indonesia mengekspor rumput laut dan sebaliknya masih mengimpor hasil olahannya a seperti agar, carrageenan dan algin. Nilai impor senyawa tersebut hampir 30 kali nilai ekspor rumput laut. Sudah saatnya Indonesia meningkatkan dan mengembangkan industri pengolahan rumput laut.
Kualitas rumput laut untuk diekspor masih rendah sehingga harga yang diterima pemetik sangat rendah. Untuk memenuhi syarat ekspor masih perlu dilakukan penyortiran oleh pedagang/penyalur dan eksportir. Kualitas yang rendah, rantai pemasaran yang panjang serta kesulitan sarana transportasi laut menyebabkan terdapat perbedaan harga yang cukup besar antara harga yang diterima pemetik dengan eksportir. Kualitas, kuantitas dan kontinuitas produksidapat ditingkatkan melalui usaha budidaya rumput laut. Untuk hal terse but perlu adanya penyuluhan dan pendidikan ketrampilan bagi petani rumput laut baik teknik budidaya maupun penanganan pasca panen disertai penyediaan sarana transportasi dan pinjaman modal dari pemerintah. Rantai pemasaran dapat diperpendek dengan melibatkan KUD setempat sebagai penampung dan penyalur sekaligus pembina bagi petani pemetik rumput laut.
DAFTAR PUSTAKA
B.P.E.N. 1978. Rumput laut. Badan pengembangan Ekspor Nasional. Departemen Perdagangan dan Koperasi. 21 hlm.
Dit. Jen Perikanan 1985. Statistik Perikanan Indonesia 1983. Direktorat Jendral Perikanan, Departemen Pertanian Jakarta. 97 hlm.
Doty, M.S. 1973. Farming the red seaweed, Eucheuma for carrageenans. Micronesica IX (1) : 59 - 73.
McHugh, D.J. and B.V. Lanier 1983. The World Seaweed Industry and Trade, South China Sea Fisheries Development and Coordinating Programme Food Agriculture Organization of the United Nation, Manila. ADB/FAO Market Studies Vol. 6 : 30 hlm.
Mubarak, H. 1974. Laporan Survey Eucheuma di Perairan Maluku dan Nusa Tenggara Timur, Juli - Nopember 1974. Laporan Penelitian Perikanan Laut I : 1 – 29.
Porse, H. 1985. Makalah Diskusi Panel Pengembangan Industri Pengolahan rumput laut di Indonesia Jakarta 26 Februari 1985.
Saleh, S. 1985. Kegunaan Rumput Laut dan aspek pemasarannya. Makalah pada Diskusi Panel Pengembangan Industri Pengolahan Rumput Laut di Indonesia, Jakarta 26 Februari 1985 : 15 hlm.
Soegiarto. A., Sulistijo, W.S. Atmadja, H. Mubarak 1978. Rumput Laut (algae) Manfaat, Potensi dan Usaha Budidayannya. LON - LIPI Jakarta : 61 hlm.
Soegiarto, A dan Sulistijo. 1985. Produksi dan Budidaya Rumput Laut di Indonesia. Makalah pada Diskusi Panel Pengembangan Industri pengolahan rumput laut di Indonesia, Jakarta 26 Feb. 1985.
Sumadiharga. K. 1978. Prospek Budidaya Rumput Laut Eucheuma di Daerah Pulau Kefing dan Pulau Geser, Maluku Tengah. LPPL. Badan Litbang. Pertanian Departemen Pertanian : 28 hlm.
Zoebir. R. 1980 Pemasaran Rumput Laut di Maluku dan Peningkatannya pada masa yang akan datang. Dalam rangka Pekan Dagang Rumput Laut di Maluku. 25–27 September, di Ambon.
oleH:Achmad Zatnika dan Sri Istini

Rabu, 24 Maret 2010

Ikan Tuna



1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indenesia yang tiga perempat wilayahnya berupa laut (5,8 juta km2) dan merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki potensi lestari (maximum sustainable yield) ikan laut seluruhnya 6,4 juta ton/tahun atau sekitar 7 % dari total potensi lestari ikan laut dunia. Artinya jika kita dapat mengendalikan tingkat penangkapan ikan laut lebih kecil dari 6,4 juta ton/tahun maka kegiatan usaha perikanan tangkap semestinya dapat berlangsung secara lestari (Dahuri, 2004). Dalam dua puluh lima tahun terakhir banyak sekali penemuan ilmiah dari para ahli gizi dan kesehatan dunia yang membuktikan bahwa ikan dan jenis seafood lainnya sangat baik untuk kesehatan serta kecerdasan manusia.
Ikan (seafood) rata-rata mengandung 20 % protein yang mudah dicerna dengan komposisi asam amino esensial yang seimbang. Ikan juga mengandung omega 3 yang sangat penting bagi perkembangan jaringan otak, mencegah terjadinya penyakit jantung, stroke dan darah tinggi. Lebih dari itu omega 3 juga dapat mencegah penyakit inflamasi seperti arthritis, asma, colitis, dermatitis serta psoriasis, beberapa jenis penyakit ginjal dan membantu penyembuhan penyakit depresi, skizofrenia serta gejala hiperaktif pada anak-anak.
Permintaan pasar dunia terhadap ikan semakin meningkat karena semakin banyak masyarakat dunia yang menyadari pentingnya mengkonsumsi ikan. Ikan tuna merupakan salah satu primadona perikanan Indonesia. Kelompok tuna dan cakalang merupakan pemasok devisa terbesar setelah udang. Tuna merupakan komoditas ekonomi yang tinggi dan mampu menembus pasar internasional seperti halnya udang.
Ikan tuna adalah ikan pelagis yang besar yang menyebar diperairan yang relatif dalam, memiliki sifat yang bergerak aktif dan sifat pergerakannya dapat vertikal maupun kearah lainnya. Ikan tuna dapat ditangkap dengan berbagai alat penangkap ikan kecuali dengan alat penangkap dasar. Cara penangkapan yang di anggap potensial, efektif dan efesien adalah dengan long line, purse seine dan pole and line.
Tuna adalah ikan yang aktif mengejar makanan dan selalu bergerak. Karena itulah maka tidak mengherankan kebutuhan makanannya di perkirakan sekitar 15% dari berat badannya perhari. Tuna akan memilih ruang hidup sesuai dengan keinginannya, namun dalam keadaan darurat tuna akan bergerak ke arah lingkungan yang sesuai.
Komposisi kimia daging ikan tuna bervariasi menurut jenis, umur, kelompok dan musim. Perubahan nyata terjadi pada bagian tubuh yang satu dengan yang lain, ketebalan lapisan lemak di bawah kulit berubah menurut umur dan/ atau musim. Lemak yang paling banyak terdapat di dinding perut yang berfungsi sebagai gudang lemak ( Murniyati dan Sunarman, 2000). Komposisi ikan tuna dapat di lihat pada tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia ikan Tuna (%)
Jenis
Air
Protein
Lemak
Mineral
Abu
BLUE FIN:
Daging Merah
60,70
28,30
1,40
0,10
1,50
Daging Berlemak
52,60
21,40
24,60
0,10
1,50
SOUTHERN:
Daging Merah
65,60
23,60
9,30
0,10
1,40
Daging Berlemak
63,90
23,10
11,60
0,10
1,50
YELLOW FIN
74,20
22,20
2,10
0,10
1,40
Daging Merah
MARLIN
72,20
22,20
3,00
0,10
1,40
SKIPJACK
70,40
25,80
2,00
0,10
1,40
MACKEREL
62,50
19,80
16,50
0,10
1,40
Salah satu jenis produk olahan dari ikan tuna yaitu loin tuna beku. Dalam pengolahan loin tuna beku memerlukan penerapan tata cara yang baik serta selalu menerapkan suhu rendah, baik pada saat penangkapan, distribusi, atau pada saat pengolahan karena pada saat pengolahan tuna loin beku akan terdapat perubahan nilai organoleptik dan perubahan berat yang disebabkan cara penanganan dan pengolahan.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi mutu ikan, baik yang didaratkan dari laut maupun yang ditangani di darat adalah penerapan suhu rendah (pendinginan), kecermatan, kebersihan, dan kecepatan bekerja (faktor waktu) (Ilyas, 1983). Mutu ikan dapat dipertahankan apabila sejak penangkapan sampai pada proses pembekuannya tidak lebih dari empat jam dan tidak terkena sinar matahari langsung.
1.2 Tujuan
¨ Melaksanakan tahapan proses penaganan tuna loin beku dengan baik dan benar.
¨Menghitung rendemen selama pengolahan tuna loin hinggga produk ahir.
¨Melaksanakan proses pengolahan tuna loi beku.
¨ Mengukur waktu pembekuan.
1.3 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan dilakukan pada :
Hari : Rabu
Tanggal : 17 Desember 2008
Pukul : 08.00 – 12.00
Tempat : Workshop Pengolahan
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuna Sebagai Bahan Mentah
Ikan mempunyai perbedaan dengan bahan makanan yang lain. Hal-hal yang membedakan ikan dengan bahan makanan lain :
1. Kandungan protein yang tinggi
2. Kandungan lemak rendah , sangat unik, dan sangat baik untuk kesehatan
3. Kaya vitamin dan mineral
4. Rendah kolesterol dan mengandung omega 3 dan omega 6 yang berfungsi untuk menstimulasi adanya lemak jenuh dalam jantiung, melancarkan peredaran darah, dan meningkatkan radikal bebas.
Akan tetapi, selain tingginya kandungan gizi yang terdapat dalam ikan, ikan juga mempunyai kelemahan. Ikan merupakan bahan pangan yang mudah busuk. Kandungan air yang termasuk bahan makanan makroutrien pada ikan, dapat mempercepat proses kemunduran mutu ikan. Mikroba akan dapat berkembang jika di dalam pangan mengandung banyak air. Semakin tinggi aktivitas air (aw) semakin tinggi pula aktivitas mikroba.
2.1.1 Klasifikasi Ikan Tuna
Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scombroidae, tubuhnya seperti cerutu. mempunyai dua sirip pungung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang. Mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh ujung hipural.
Badan ikan tuna berbentuk cerutu, hal ini menandakan kecepatan pergerakannya. Bagian belakang badan langsing, sedangkan bagian terlebar terletak ditengah-tengah. Penampang lintang badan ikan tuna pada umumnya berbentuk bulat panjang atau agak membulat. Semua bagian badannya ditutupi oleh sisik (kecuali jenis cakalang sama sekali tidak mempunyai sisik) kecuali pada bagian dada yang mengeras.
Punggung biru tua kadang-kadang hampir hitam. Bagian perut berwarna keputih-putihan. Tuna terdapat diperairan laut mana saja, terutama yang mempunyai kadar garam tinggi. Tubuh ikan tuna tertutup oleh sisik-sisik kecil, berwarna biru tua dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya, sebagian besar memiliki sirip tambahan yang berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap (Ditjen Perikanan, 1983) Menurut Saanin (1984). Warna ini akan sangat cepat berubah jika ikan telah mati.
Klasifikasi ikan tuna adalah sebagai berikut :
· Phylum : Chordata
· Sub Phylum : Vertebrata
· Class : Teleostei
· Sub class : Actinopterygii
· Ordo : Percmorphi
· Sub Ordo : Scromboidae
· Family : Scromboidae
· Genus : Thunnus
· Species : Thunnus Alalunga
Thunnus Albacores
Thunnus Obesus
Thunnus Maccoyii
Thunnus Tonggo
l
Tuna termasuk perenang cepat dan terkuat di antara ikan-ikan yang berangka tulang. Penyebaran ikan tuna mulai dari laut merah, laut India, Malaysia, Indonesia dan sekitarnya. Juga terdapat di laut daerah tropis dan daerah beriklim sedang (Djuhanda, 1981). Adapun bentuk tubuh beberapa species ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 1.
Keterangan : Ms : Maximum size
Cs : Common size
1. Tongkol (Euthynnus affinis) 4. Madidihang (Thunnus albacores)
2. Mata besar (Thunnus obesus) 5. Albacor (Thunnus alalunga)
3. Tuna sirip biru (Thunnus maccoyii) 6. Cakalang (Katsuwonus pelamis)
Gambar 1 Bentuk tubuh beberapa spesies ikan tuna
2.1.2 DAGING MERAH IKAN TUNA
Secara umum bagian ikan yang dapat dimakan (edible portion) berkisar antara 45 – 50 % dari tubuh ikan (Suzuki, 1981). Untuk kelompok ikan tuna, bagian ikan yang dapat dimakan berkisar antara 50 – 60 % (Stanby, 1963). Kadar protein daging putih ikan tuna lebih tinggi dari pada daging merahnya. Namun sebaliknya kadar lemak daging putih ikan tuna lebih rendah dari daging merahnya. Pembagian daging merah ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Letak daging merah pada jenis ikan tuna
Daging merah tuna dapat dibedakan berdasarkan lapisan lemaknya yaitu
otoro, chutoro dan akami (Gambar 3).
Otoro terdapat pada bagian perut bawah, berwarna lebih terang karena lebih banyak mengandung lemak dan lebih mahal dibandingkan chutoro.
Gambar 3 Pembagian daging merah tuna berdasarkan lapisan lemak
Daging merah ikan adalah lapisan daging ikan yang berpigmen kemerahan sepanjang tubuh ikan di bawah kulit tubuh. Jumlah daging merah bervariasi mulai kurang dari 1 – 2 % pada ikan yang tidak berlemak hingga 20 % pada ikan yang berlemak. Diameter sel atau jaringan otot pada daging merah lebih kecil (Okada, 1990). Daging merah kaya akan lemak, suplai oksigen dan mengandung mioglobin. Daging merah pada ikan pelagis memungkinkan jenis ikan ini berenang pada kecepatan yang tetap untuk memperoleh makanan dan untuk bermigrasi (Learson dan Kaylor, 1990).
Okada (1990) menyatakan bahwa daging merah mengandung mioglobin dan hemoglobin yang bersifat prooksidan serta kaya akan lemak. Warna merah pada daging ikan disebabkan kandungan hemoproteinnya tinggi yang tersusun atas protein moiety, globin dan struktur heme. Di antara hemoprotein yang ada, mioglobin adalah hemoprotein yang terbanyak. Lebih 80 % hemoprotein pada daging merah adalah mioglobin dan hemoglobin. Kandungan mioglobin pada daging merah ikan tuna dapat lebih dari 3.500 mg/100 g (Watanabe, 1990). Hal ini yang menyebabkan mudahnya terjadi ketengikan pada daging merah ikan tuna.
2.1.3 KOMPOSISI DAGING IKAN
_ Protein
Kandungan protein ikan sangat tinggi dibandingkan dengan protein hewan lainnya, dengan asam amino esesnsial sempurna, karena hampir semua asam amino esensial terdapat pada daging ikan (Pigott dan Tucker, 1990 ). Berdasarkan lokasi terdapatnya dalam daging, yaitu protein sarkoplasma, miofibrillar dan protein pengikat (stroma), protein pembentuk atau pembentuk enzim, koenzim dan hormon (Hadiwiyoto, 1993).
Jebsen (1983) membagi protein ikan menjadi 3 kelompok yaitu : 1), kelompok yang terdiri dari tropomiosin, aktin, miosin dan aktomiosin yang terdapat kira-kira 65 % dari total protein dan larut dalam natrium klorida netral dengan kekuatan ion lebih tinggi dari (0,50), 2) terdiri dari globin, miosin dan mioglobin yang terkandung sekitar 25 sampai 30 persen dari total protein yang diekstrak dengan larutan netral dengan kekuatan ion lebih rendah (0,15) 3), meliputi stroma protein yang terdapat kira-kira 3 persen dari protein ikan.
Kelompok protein ini tidak dapat larut dalam larutan garam netral, asam encer atau alkali. Suzuki (1981) menyatakan protein miofibrilar bersifat sedikit larut dalam air pada pH netral tetapi larut dalam larutan garam kuat. Protein miofibrilar adalah protein yang membentuk miofibril yang terdiri dari protein structural (aktin, miosin dan aktomiosin) dan protein regulasi (troponin, tropomiosin dan aktinin). Protein miofibrilar merupakan bagian terbesar dari protein ikan, yaitu sekitar 66 – 77 % dari total protein ikan.
Pada proses pengolahan daging protein miofibrilar memegang peranan penting dalam struktur yang menentukan karakteristik produk yang diinginkan adalah miosin, Miosin adalah merupakan protein berserabut besar dengan berat molekul 500.000 dan terdapat sekitar 43 % dari total miofibrilar dalam jaringan otot (Xiong, 2000 yang diacu Nakai, 2000). Suzuki (1981) menyatakan bahwa aktivitas ATP-ase miosin dipengaruhi oleh ion K+, Mg 2+ dan Ca 2+.
Pada daging yang mengalami rigor mortis aktin akan berikatan dengan miosin membentuk aktomiosin. Aktin akan terekstrak bersama-sama dengan miosin dengan adanya garam dan polifosfat. Xiong (2000 yang diacu Nakai, 2000) menyatakan bahwa protein kolagen merupakan serabut sarkoplasma yang penting adalah mioglobin yang sangat berperan dalam warna merah pada daging. Molekul mioglobin terdiri dari dua bagian yaitu : bagian protein (globin) dan bagian nonprotein (heme). Selanjutnya dinyatakan bahwa kandungan mioglobin dalam tiap daging berbeda tergantung jenisnya.
Kolagen adalah salah satu protein stroma (jaringan pengikat) yang tersusun
dari asam-asam amino penyusun protein kecuali triptofan, sistin dan sistein (Hadiwiyoto, 1993). Stanley (1999) menyatakan bahwa merupakan serabut protein yang sangat penting dalam tekstur daging yang tersusun dari asam amino glisin (30%), proline dan hydroproline (25%). McCormick yang diacu Kinsman et al (1994) menyatakan bahwa kolagen adalah 2 – 6 % berat kering otot, tergantung jenis otot dan umur.
_ Lemak
Suzuki (1991) menyatakan bahwa kandungan lemak ikan bermacam-macam tergantung pada jenis ikan, umur dan jumlah daging merah serta kondisi makanan. Kandungan lemak erat kaitannya dengan kandungan protein dan kandungan air, pada ikan yang kandungan lemaknya rendah umumnya mengandung protein dalam jumlah yang cukup besar Winarno (1993) menyatakan bahwa berdasarkan kandungan lemaknya, ikan terbagi menjadi 3 golongan yaitu : ikan dengan kandungan lemak rendah (kurang dari 2%) terdapat pada kerang, cod, lobster, bawal, gabus, ikan dengan kandungan lemak sedang (2 – 5 %) terdapat pada rajungan,oyster,udang, ikan
mas, lemuru, salmon dan ikan dengan kandungan lemak tinggi (4 – 5%) terdapat pada hering, mackerel, salmon, tuna, sepat, tawes dan nila.
Ikan banyak mengandung asam lemak bebas berantai karbon lebih dari 18. Asam lemak ikan lebih banyak mengandung ikatan rangkap atau asam lemak tak jenuh (PUFA) dari pada mamalia. Keseluruhan asam lemak yang terdapat pada daging ikan krang lebih 25 macam. Jumlah asam lemak jenuh 17 – 21% dan asam lemak tidak jenuh 79 – 83 % dari seluruh asam lemak yang terdapat pada daging ikan. Asam lemak tidak jenuh mempunyai ikatan rangkap _ 1-6 (Hadiwiyoto, 1993).
_ Karbohidrat
Karbohidrat dalam daging ikan merupakan polisakarida yaitu glikogen yang terdapat dalam sarkoplasma diantara miofibril-miofibril. Glikogen terdapat dalam jumlah jumlah terbanyak dari karbohidrat yang terdapat pada daging ikan yaitu 0,05 – 0,085 %. Disamping itu terdapat jauga glukosa (0,038 %), asam laktat (0,005 – 0,43 %) dan berbagai senyawa antara dalam metabolisme karbohidrat (Hadiwiyoto, 1993).
Lebih lanjut Hadiwiyoto (1993) menjelaskan bahwa hasil antara proses glikolisa juga terdapat dalam daging ikan ,yaitu : asam fruktosafosfor, asam fosfogliserat dan asam piruvat. Selain itu masih terdapat sejumlah kecil monosakarida dari golongan pentosa yaitu ribosa dan deoksiribosa yang merupakan hasil pemecahan asam asam nukleat. Kedua monosakarida ini dapat membentuk protein-protein kompleks.
_ Air
Kadar air pada ikan adalah 66 – 84 %. Kadar air mempunyai hubungan yang berlawanan dengan kadar lemak. Makin tinggi kadar air, makin rendah kadar lemaknya. Air terdapat dalam ruang-ruang antar sel dan plasma (Suzuki, 1981). Air yang ditemukan dalam jaringan otot terdiri dari tiga tipe yaitu : air konstitusional merupakan air yang terletak dalam molekul protein (1%), air yang terikat kuat (0,3 g air/100 g protein) dan air permukaan yang terletak pada permukaan multi layer protein dan dalam celah-celah kecil. Sekitar 10 % dari air tersebut ditemukan dalam ruang ekstraseluler yang bisa bertukar dengan air sel pada kondisi tertentu sehingga mengakibatkan perubahan protein miofibril
1.2 Definisi Pembekuan
Pembekuan (cold storing) adalah cara paling baik untuk penyimpanan jangka panjang. Apabila bahan mentah yang digunakan masih segar dan cara penanganan serta pengolahannya yang baik, maka dapat dihasilkan maka akan diperoleh ikan beku yang masih mendekati sifta-sifat ikan segar pada saat ikan dicairkan (thawing). Pengawetan ikan dengan menggunakan pembekuan (suhu mencapai -50°C) dapat menghentikan aktivitas mikroorganisme, meskipu belum diketahui secara pasti pada suhu berapa bakteri dapat mati semua.
Dapat dikatakan bahwa pada suhu di bawah -10°C proses pembusukan pada bakteri terhenti. Akan tetapi, proses seperti biokimia, kimia, dan fisis, masih berlangsung terus-menerus. Proses-proses tersebut dapat menyebabkan kemunduran mutu. Proses yang perlu mendapat perhatian utama adalah kegiatan enzim. Pembusukan untuk mencegah ketengikan atau glazing (penambahan lapisan es untuk menghindari proses pengeringan merupakan salah satu cara untuk menghambat kegiatan enzim.
Proses pembekuan akan berpengaruh terhadap mikroba, protein, enzim, vitamin, dan parasit. Pengaruh pembekuan terhadap mikroba terutama dalam bentuk mikroba yang sangat peka yaitu sel-sel vegetatif. Akan tetapi spora biasanya tidak rusak dalam proses pembekuan. Aktivitas enzim atau sistem enzim dapat rusak pada suhu mendekati 93,3°C.
Menurut Hadiwiyoto (1993) pengolahan agar mempertahankan sifat segar ikan dengan suhu rendah. Penerapan suhu rendah antara lain yaitu dengan pendinginan dan pembekuan. Penerapan suhu rendah adalah untuk menghindarkan hasil perikanan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh autolisa dan atau karena pertumbuhan mikroba. Baik aktifitas enzim maupun pertumbuhan mikroba sangat dipengaruhi oleh suhu. Pada kondisi tertentu aktifitasnya menjadi optimum dan pada kondisi lain aktifitasnya dapat menurun, terhambat bahkan terhenti. Suhu optimum dimana enzim dan mikroba mempunyai aktifitas yang paling baik biasanya terletak pada suhu di antara sedikit di bawah dan di atas suhu kamar.
Menurut Muchtadi (1997) setiap bahan pangan mempunyai suhu yang optimum untuk berlangsungnya proses metabolisme secara normal. Suhu penyimpanan yang lebih tinggi dari suhu optimum akan mempercepat terjadinya proses pembusukan. Suhu rendah di atas suhu pembekuan dan di bawah 150C efektif dalam mengurangi laju metabolisme. Suhu seperti ini diketahui sangat berguna untuk pengawetan jangka pendek. Setiap penurunan suhu 80C menyebabkan laju metabolisme akan berkurang setengahnya.
Menyimpan bahan pangan pada suhu sekitar -20C sampai 100C diharapkan dapat memperpanjang masa simpan bahan pangan. Hal ini disebabkan suhu rendah dapat memperlambat aktivitas metabolisme dan menghambat pertumbuhan mikroba. Selain itu juga mencegah terjadinya reaksi-reaksi kimia dan hilangnya kadar air dari bahan pangan. Selama pendinginan dan pembekuan akan terjadi perubahan-perubahan
sifat pada ikan. Perubahan tersebut meliputi perubahan sifat kimiawi, sifat fisikiawi dan perubahan organoleptik.
Pada pendinginan tidak terlalu banyak perubahan yang terjadi dibandingkan pada proses pembekuan, karena terbentuknya kristal es yang terjadi di dalam jaringan daging ikan (Hadiwiyoto, 1983) Pembentukan adonan dengan menggiling daging yang ditambahkan dengan es dimaksudkan agar suhu daging tetap dingin sehingga protein tidak terdenaturasi. Penghancuran daging bertujuan untuk memecah dinding sel serabut otot sehingga protein seperti miosin dan aktin dapat terekstrak dengan penggunaan larutan garam.
Suhu optimum untuk mengekstrak protein serabut otot adalah 4 – 5 0C dan dipertahankan agar tidak melebihi 200C, karena gesekan daging dengan alat penghalus grading seperti “cutter”, mixer“ atau alat pengemulsi lemak mengakibatkan terhambatnya ekstraksi protein serabut otot sehingga terjadi koagulasi protein (Pisula, 1984). Penambahan air ke dalam adonan nugget pada waktu penggilingan berperan penting dalam membentuk adonan yang lebih baik dan untuk mempertahankan temperatur selama pendinginan. selain itu air berfungsi sebagai fase pendispersi dalam emulsi daging dan melarutkan protein sarkoplasma, pelarut garam yang akan melarutkan protein miofibril (Kramlich, 1973).
Produk nugget pre-cooked merupakan produk basah yang harus disimpan
pada suhu beku di bawah -180C untuk menjaga mutunya. Perubahan sifat inderawi pada berbagai suhu penyimpanan adalah sama hanya prosesnya menjadi lebih lambat pada suhu penyimpanan yang lebih rendah. Nugget yang disimpan pada suhu beku (-250C) sampai pada pengamatan minggu keenam tidak dapat diterima panelis karena terasa asam dan berlendir (Prayitno, 2003).
Menurut Fennema et al (1973) dan Ilyas (1972) selama penyimpanan beku produk perikanan akan kehilangan air, terjadi oksidasi , perubahan warna dan rasa, serta terjadi “drip”, yaitu cairan bening yang merembes keluar sewaktu produk dilelehkan. Proses pembekuan cenderung menyebabkan susunan mutu makanan berubah dan perubahan ini akan langsung berakibat pada susunan proteinnya (Connell, 1968).
Dyer dan Dingle (1961) menjelaskan perubahan yang terjadi adalah denaturasi protein, perubahan dalam sistem garam, protein dan air selama pembekuan dan perubahan dalam sistem aktomiosin. WHC atau daya ikat air nugget ikan manyung yang disimpan pada suhu beku rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan nugget yang disimpan pada suhu ruang dan suhu dingin, hal tersebut ditandai dengan banyaknya jumlah air bebas yang tidak dapat diikat oleh protein pada nugget yang disimpan pada suhu beku, karena denaturasi protein yang terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa daya mengikat airnya rendah.
Banyaknya air yang bebas yang terjerat dalam mikrostruktur jaringan dipengaruhi oleh suhu (Syartiwidya, 2003). Menurut Suzuki (1981) ada beberapa teori, yang menjelaskan mekanisme denaturasi protein akibat pembekuan yaitu : 1) meningkatnya konsentrasi garam di dalam sel-sel otot akibat perubahan air menjadi kristal-kristal es, 2) hilangnya molekul air dari ruang menyebabkan molekul menjadi lebih dekat satu sama lain dan membentuk berbagai ikatan silang yang menimbulkan agregasi dan 3) terjadinya auto-oksidasi, pengaruh protein larut air, reaksi dengan lemak dan reaksi dengan formaldehida yang terbentuk dari trimetilamin (TMA).
Denaturasi atau degradasi protein yang disebabkan oleh penyimpanan beku yang dipercepat dengan adanya penggilingan dan pencincangan. Degradasi enzimatis dari trimetilaminoksida (TMAO) menjadi dimetilamin (DMA) dan formaldehida dapat menyebabkan beberapa kerusakan tekstural, kerusakan ini disebabkan oleh karena adanya formaldehida yang berikatan dengan protein (Gratham, 1981). Menurut Kamallan (1988) selama penyimpanan beku elastisitas/kekenyalan produk akan menurun. Hal ini disebabkan adanya pelepasan sejumlah cairan dari dalam produk selama thawing, sehingga keteguhan gel menjadi berkurang akibat terbentukya pori-pori pada produk.
Pada suhu beku peningkatan asam tiobarbiturat hanya mencapai 0,25 mg
malonaldehid/kg sampai pada minggu ke- 10 (70 hari) , dan aroma nugget masih beraroma ikan. Hal ini terjadi karena penyimpanan pada suhu beku dapat menghambat reaksi oksidasi lemak (Syartiwidya, 2003) Fennema et al. (1973) dan Ilyas (1972) menyatakan bahwa selama penyimpanan beku produk perikanan akan terjadi perubahan warna dan rasa. Proses mincing dan proses penghancuran produk yang dihasilkan berwarna lebih gelap. Semakin lama penyimpanan warna akan semakin gelap (Winarno, 1993).
FAO (1977 dalam Ilyas, 1993) dalam Code of Practice for Frozen Fish menyarankan agar produk ikan beku disimpan pada suhu yang tepat sesuai menurut jenis ikan, tipe produk dan lamanya waktu penyimpanan yang diinginkan. Bagi produk beku yang digudangkan sebagai bahan mentah bagi pengolahan selanjutnya dianjurkan menyimpan dalam gudang beku pada -180C atau atau lebih rendah. Lebih jauh International Institut of Refrigeration, Paris dalam Ilyas (1993) menyarankanmeninjau kembali waktu simpan dengan usia simpan praktis, jangka waktu produk masih baik untuk konsumsi dan pengolahan selanjutnya : bagi ikan berlemak 4 bulan pada suhu -180C, 8 bulan pada suhu - 250C dan 24 bulan pada suhu -300C. Suhu penyimpanan beku bagi produk tuna yang akan dimanfaatkan untuk sashimi, dianjurkan pada suhu -500C hingga -600C.
2.3 Alat Pembekuan (Freezer)
Alat yang biasa digunakan dalam pembekuan ikan adalah freezer. Prinsip kerja alat pendingin ini adalah menyerap panas dari produk yang didinginkan, dan memindahkan panas tersebut ke tempat lain dengan perantaraan bahan pendingin (refrigerant), misalnya amoniak dan Freon. Apabila bahan pendingin dimasukkan ke dalam suatu ruang tertutup yang diatur titik didihnya (dengan menurunkan tekanannya), ia akan menguap sambil menyerap panas dan ruangan tersebut, sehingga ruangan itu menjadi dingin.
Di dalam freezer, proses pendinginan dikendalikan dengan peralatan-peralatan mekanis sehingga pendinginan berjalan dengan efektif dan efisien. Bahan pendingin cair dan tangki penampung dimasukkan ke dalam evavorator melalui sebuah katup ekspansi. Di evavorator, bahan pendingin cair dipaksa menguap dengan jalan menurunkan tekanannya dengan kompresor. Uap bahan pendingin yang telah menjadi cairan kembali ditampung di dalam sebuah tangki penampung kemudian diuapkan kembali di dalam evavorator. Begitu seterusnya, siklus itu berjalan berulang-ulang sehingga bahan pendingin tidak perlu terbuang.
Evavorator adalah bagian dari freezer yang menyerap panas, baik secara langsung maupun melalui bahan perantara. Evavorator dibuat dengan konstruksi yang berbeda-beda tergantung pada cara pembekuan yang diterapkan:
1. Apabila evavorator membekukan ikan melalui udara sebagai perantara. Evavorator dibuat dari pipa-pipa panjang yang polos maupun bersirip.
2. Apabila evavorator membekukan ikan melalui cairan sebagai perantara, evavorator dibuat dari pipa-pipa panjang yang polos.
3. Apabila evavorator membekukan ikan dengan kontak langsung tanpa perantara, evavorator dibuat dari pipa-pipa panjang yang polos atau dari pelat.
Berdasarkan alat yang dipakai, cara pembekuan dibagi menjadi lima golongan yaitu sebagai berikut:
Cara pembekuan
Nama Alat Pembeku
Meletakan ikan diatas rak yang terbuat dari pipa-pipa dingin
Sharp freezer
Menjepitkan udara dingin di antara pelat-pelat dingin
Multi-plate freezer
Meniupkan udara dingin secara kontinyu ke arah ikan
Air-blast freezer
Mencelupkan ikan kedalam cairan dingin
Immersion freezer
Menyemprotkan ikan dengan cairan dingin
Spray freezer
Pembekuan dapat dilakukan secara batch (setahap demi setahap; tiap tahap merupakan proses yang lengkap) atau secara bersinambung (kontinu) tergantung pada rancangannya.
2.4 Tahapan Proses Pengolahan Tuna Steak Beku
Tahapan proses pengolahan steak tuna beku sebagaimana di sajikan pada gambar 1.
Penerimaan Ikan




Sortasi Jenis dan Ukuran




Pemotongan Kepala Sirip dan Ekor




Pencucian I (khusus yang menggunakan bahan baku segar)




Sortasi Mutu




Pemotongan Daging

Pembuangan Tulang dan Duri
Pembuangan Daging Gelap (dark meat)




Pembuangan Kulit
Perapihan




Penimbangan I
Pemotongan Daging Menjadi Bentuk Steak




Penimbangan II




Penggelapan




Penggolongan Berdasarkan Size dan Ukuran




Pengemasan




Pemvakuman




Persiapan Sebelum di Bekukan




Pembekuan Dalam ABF




Pengepakan dan Pelabelan




Penyimpanan dalam Cold Storage
Gambar1. Alur Prosees Pengolahan Tuna Steeak Beku
2.5 Standar Mutu Steak Beku
Histamin adalah senyawa yang terdapat pada daging ikan dari famili scombroidae, subfamili scombroidae, atau ikan lain yang telah membusuk yang di dalam dagingnya terdapat kadar histidin yang tinggi. Histamin di dalam daging diproduksi oleh hasil karya enzim yang menyebabkan pemecahan histidinyaitu enzim histidine dekarboksilase. Melalui proses dekarboksilasi (pemotongan gugus karboksil ) dihasilkan histamin. Satuan kadar histamin dalam daging tuna dapat dinyatakan dalam mg/100 g ; mg % atau ppm (mg/1000 g) (Hadiwiyoto, 1993) ”Histidin bebas” yang terdapat dari daging ikan erat sekali hubungannya dengan terbentuknya histamin dalam daging.
Semua daging yang berwarna gelap tinggi kandungan histidin bebasnya. Kandungan histidin bebas dalam daging ikan tuna segar berkisar dari 745 sampai 1460 mg %. Sebaliknya, ikan-ikan berdaging putih rendah kandungan histidin bebasnya dan ketika busuk tidak menghasilkan histamin sampai 10 mg % setelah dibiarkan 48 jam pada suhu 250C. Pada jenis ikan tuna yang memiliki 2 jenis daging yaitu putih dan gelap, justru daging-daging putihlah yang tinggi histaminnya. Daging yang merah jauh lebih sedikit.
Untuk konsumsi manusia, daging merah lebih aman daripada daging putihnya bila dipandang dari segi histamin. Mengapa daging merah justeru kecil kandungan histaminnya, hal itu disebabkan daging merah tinggi kandungan 20 trimetil amina oksida (TMAO) yang berfungsi menghambat proses terbentuknya histamin (Winarno, 1993). Meskipun enzim pemecah karboksil dapat berasal dari daging tubuh ikan sendiri, sebagian besar enzim pemecah tersebut dapat dihasilkan oleh mikroba yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan serta mikroba lain yang mengkontaminasi ikan dari luar.
Di Amerika Serikat, khususnya oleh US-FDA telah dikeluarkan pedoman kadar histamin dalam tuna, yaitu: 20 mg per 100 g menunjukkan indikasi penanganan yang tidak higienis pada beberapa tahap penanganan pasca tangkap dan 50 mg per 100 g menunjukkan bahwa ikan tuna tersebut telah membahayakan kesehatan konsumen bila dikonsumsi. Bagian depan tubuh ikan biasanya memiliki kadar histamin paling tinggi, dan terendah di bagian ekor (Winarno, 1993) Ada 3 jenis bakteri yang mampu memproduksi histamin dari histidin dalam jumlah tinggi yaitu: Proteus marganii (bigeye, skipjack), Enterobacteri aerogenes (skipjack), Clostridium pefringens (skipjack).
Hampir semua mikroba pembentuk histamin bersifat gram negatif dan berbentuk batang. Enzim lebih stabil dibandingkan bakteri pada suhu beku dan dapat reaktif dengan sangat cepat setelah thawing (FDA, 1998). Histamin dapat terakumulasi didalam daging ikan karena adanya kesalahan penanganan bahan baku sebelum dan sesudah pembekuan. Salah satu enzim yang masih terdapat sebelum pembekuan pada ikan ,hal ini dapat meneruskan pembentukan histamin di dalam daging ikan tanpa memperhatikan sel bakteri yang injury selama penyimpanan beku.
2.6 Rendemen
Perubahan berat merupakan suatu proses pengurangan/penambahan berat pada produk perikanan. Perubahan berat ini pada dasarnya hampir sama dengan rendemen tapi pada rendemen hanya mengetahui berapa produk yang hilang dan berapa produk yang dimanfaatkan.
Perhitungan rendemen sebagai hasil ekstraksi limbah ikan dihitung berdasarkan ratio antara berat akhir yang dihasilkan dengan berat awal dan dinyatakan dalam persen.
Rendemen (%) = Berat awal ikan – Berat akhir ikan x 100
Berat Awal
3. METODE PELAKSANAAN
3.1 Alat-Alat yang Digunakan:
· pisau filet
· pan pembekuan
· freezer
· thermocouple
· timer
· timbangan
3.2 Bahan-Bahan yang Digunakan
· ikan tuna segar / beku
· scoresheet ikan segar
· scoresheet steak beku
· plastic pangemas
· es
3.3 Prosedur Pelaksanaan
· Penerimaan bahan baku ( Receiving )
Bahan baku yang di terima di mmasukkan ke dalam ruang penerimaan bahan baku untuk di sortir ( checking ) untuk mengetahui berat, jenis, dan kelas mutu ( Grade ). Kemudian ikkan di lewatkan pada bakk yang berisi chlorine dengan berrjumlah 50 ppm dan setelah itu ikan di tampung dalam bak yang berisi air, es dan chlorine dengan jumlah 100 ppm.
  • Pencucian (washing)
Ikan tuna dicuci dengan air yang mengalir. Pencucian ikan tuna ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran, darah, lendir, dan benda-benda asing lainnya yang masih melekat pada permukaan kulit ikan sehingga dapat meminimalkan kontaminasi bakteri.
  • Penimbangan I (weighing I)
Ikan ditimbang untuk mengetahui berat awal ikan.
  • Pemotongan kepala (Head cutting)
Pemotongan kepala dilakukan dengan menggunakan pisau. Sirip dada (pectoral) di pegang dan di ikat sedikit, kemudian pisau di masukkan ke dasar sirip dada dan di potong ke arah ounggung. Pemotongan ini dilakuakn dengan hati-hati dan mengikuti garis tutup insang (operculum). Ikan diputar ke sisi lain dan mengulangi tahap di atas, diikuti dengan pemenggalan tulang dengan memegang bagian ekor hingga tulang dan daging terpisah.
  • Pemfilletan
Setelah ikan tuna melewati tahap pemotongan kepala, ikan tuna difillet.
  • Pembuatan loin (loinning)
Pembuatan loin dilakukan dengan mebagi badan menjadi empat bagian dimana daging dipotong sepanjang garis dorsal hingga mencapai tulang belakang. Selanjutnya 4 bagian daging (loin) di lepaskan dari tulang dan duri-duri yang masih tersisa.
  • Pembuangan daging gelap (dark meat)
Daging ggelap pada ikan di buang dengan hati-hati sampai tidak tersisa dan tidak menggenai daging lainnya. Saatt di lakkukan trimming di lakukan juga pengecekan ada atau tiddaknya bagian kulit dan ttulang yang tersisa, apabila terdapat sisa kulit atau tulang makka harus di buang.
  • Pembuangan kulit (skinning)
Kulit ikan dibuang hingga tidak tersisa pada daging. Kulit terletak pada bagian bawah dan daging pada bagian atas, kemudian kulit dipotong mulai dari kiri hingga bersih.
  • Pembuatan steak
Daging ikan tuna yang telah berbentuk loin kemudian dilakukan pemotongan dengan menggunakan pisau stainless stell yang memotong loin secara membujur sehingga terbentuk irrisan-irisan yang berbentuk seperti segitiga. Perlu diketahui pembuatan steak terdiri dari dua cara yaitu dengan memotong loin dalam keadaan beku dan dalam keadaan segar.
  • Penimbangan II
Setelah produk di lakkuukan pembentukan steak maka di lakukan penimbangan dengan menggunakan timbangan digital sehingga akan di dapatkan hasil yang sesuai.
  • Pengemasan plastic
Setelah di lakukan penimbangan di lakukan sortasi berdasarkan ukuran produk kemudian di lakukan pengemasan mennggunakan plastic polyethylene.
  • Pembekuan
Meletakkan steak yang telah dikemas dalam plastik ke dalam pan pembekuan. Proses pembekuan dilakukan selama 24 jam pada suhu -40°C.
3.4 Prosedur Pengamatan
· Melakukan penilaian organoleptik pada bahan baku
· Mengamati pola penurunan suhu setiap 5 menit hingga diperoleh suhu konstan
· Menghitung rendemen selama tahapan paengolahan dari bahan baku hingga dalam bentuk steak
· Melakukan penilaian organoleptik pada produk akhir
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Bahan Mentah (diskripsi, mutu, ukuran dll)

Bahan baku Tuna Loin mentah beku adalah semua jenis tuna yang dapat diolah untuk dijadikan produk berupa Tuna Loin mentah beku. Sedangkan bentuk bahan baku tuna adalah berupa tuna segar atau beku yang telah disiangi atau tidak disiangi.
Jenis tuna yang dapat digunakan sebagai bahan baku tuna loin mentah beku adalah sebagai berikut :
v Yellowfin Tuna (Thunnus albacores)
v Bigeye Tuna (Thunnus obesus)
v Bluefin Tuna (Thunnus thynnus dan Thunnus macoyii)
v Albacore (Thunnus alalunga)
Bahan mentah yang baik mutunya yang dapat digunakan untuk tujuan pemasaran atau olahan lanjutan karena factor alami dan biologis bahan mentah ikan mempunyai pengaruh terhadap mutu dan daya awet. Bahan mentah yang rusak, busuk dan tercemar tidak baik untuk dikonsumsi manusia dan tidak boleh digunakan sebagai bahan mentah untuk pengolahan khususnya tuna loin beku.
Untuk mempertahankan mutu bahan baku tuna loin mentah beku, bahan baku harus secepatnya diolah. Untuk bahan baku segar apabila terpaksa harus menunggu proses lebih lanjut maka ikan tuna tesebut harus disimpan dengan es dan atau metode pendinginan lain yang sesuai dengan suhu 0-50C, saniter dan hygienes (SNI 01-4104.1-1996).

4.2 Rendemen pada Pengolahan Tuna Steak Beku

o Berat awal = 4,22 kg = 4220 gram
o Suhu awal = 80C
o Berat loin = 1,6 kg
o Berat Shark = 1531 gram
o Suhu akhir = 4oC
Rendemen lowing (%) = Berat awal ikan – Berat akhir ikan x 100
Berat Awal
= 4200 gram – 1600 gram x 100
4200 gram
= 61,9 %
Rendemen shark (%) = Berat awal ikan – Berat akhir ikan x 100
Berat Awal
= 4200 gram – 1531 gram x 100
4200 gram
= 63,5 %

4.3 Pola Penurunan Suhu Ikan Selama Pendinginan Tuna Steak Mentah Beku

Pengamatan perubahan suhu dilakukan setiap 1 menit sekali dengan menggunakan thermocouple yang kurang akurat. Suhu awal mulai pembekuan 21,80C.
Hari/Tanggal
Waktu
T1 (oC)
T2 (oC)
Rabu/17 Desember
11.30
11.31
11.32
11.33
11.34
11.35
11.36
11.37
11.38
11.39
11.40
11.41
11.42
11.43
11.44
11.45
11.46
11.47
11.48
11.50
11.51
11.52
11.53
11.54
11.55
11.56
11.57
11.58
11.59
11.60
11.61
21,8
13,5
11,3
10,6
7,9
7,0
5,4
4,5
3,2
2,5
1,7
0,6
-0,3
-0,5
-0,8
-1,5
-2,2
-2,4
-2,8
-3,1
-3,7
-3,9
-4,0
-4,5
-5,0
-5,0
-5,3
-5,3
-5,7
-5,7
-5,7


Grafik Pola Penurunan Suhu Tuna Loin Mentah Beku

4.4 Syarat Mutu

Persyaratan yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :
No.
Jenis Uji
Satuan
Persyaratan mutu
a.
Organoleptik, minimum
Skala Hidonik
7
( 1 – 9 )
b.
Cemaran Mikroba
-ALT, maksimum
Koloni/gram
5 x 105
-Eschericia coli
APM/gram
< 3
-Salmonella
Per 25 gram
Negative
-Vibrio cholerae
Per 25 gram
Negative
-Vibrio parahaemolyticus *)
Per 50 gram
Negatife
c.
Cemaran Kimia *)
-Timah, maksimum
Mg/kg
40,0
-Timbal, maksimum
Mg/kg
2,0
-Arsen, maksimum
Mg/kg
1,0
-Raksa, maksimum
Mg/kg
0,5
-Seng, maksimum
Mg/kg
100,0
-Tembaga, maksimum
Mg/kg
20,0
-Cadmium, maksimum
Mg/kg
Sesuai dengan ketetapan yang berlaku
d.
Histamin, maksimum
Mg/100 gram
10,0
e.
Fisika :
-Suhu pusat
0 C
- 18
-Bobot bersih
-
Sesuai label
*) Apabila diperlukan
Keterangan : ALT : Angka Lempeng Total
APM : Angka Paling Memungkinkan

4.5 Mutu Bahan Baku

Bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan.
Secara organoleptik bahan baku harus mempunyai karakteristik kesegaran sekurang-kurangnya sebagai berikut :
- Rupa dan warna : warna daging spesifik jenis cakalang.
- Bau : segar spesifik jenis dan berbau rumput laut segar.
- Konsistensi : elastis, padat dan kompak.
- Rasa : manis spesifik jenis.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1) Pembuatan loin dilakukan dengan membelah daging secara membujur menjadi 4 (empat) bagian dan melepaskan dari tulang dan duri.
2) pembuangan daging gelap ditujukan untuk mencegah meningkatnya kadar histamin.
3) Kadar histamin pada ikan segar sangat dipengaruhi oleh kesegaran, jenis ikan, ukuran maupun warna.
4) Glazing (ikan tuna loin dibekukan pada air dengan suhu maksimum 50C dengan cara mencelupkanya), kemudian dimasukkan kedalam kantong plastik yang sesuai ukuran, selanjutnya dimasukkan kedalam karton dan diikat dengan kuat. Adapun tujuan glazing adalah untuk melindungi produk dari pengaruh dehidrasi dan oksidasi. Sedangkan pengepakkan adalah untuk melindungi produk, memperindah dan memberikan daya tarik kepada pembeli.
5.2 Saran
1) Pada saat melakukkan pembelahan daging(pembuatan loin) lakukanlah dengan hati – hati,jangan sampai pada saat pembelahan daging,daging putih(loin) banyak terbuang bersama daging gelap.
2) Lakukanlah dengan higienis karena pada saat pemotongan kepala, banyak darah yang keluar dari tubuh ikan tersebut. Sehingga harus cepat – cepat ditangani dengan cara dicuci dengan air bersih.
diambil dari :abankerdi.blogspot.com