HOME

Kamis, 13 Maret 2014

LEBIH JAUH TENTANG HISTAMIN*

Alergi atau keracunan?

Sebagian dari kita mungkin pernah mengalami hal ini. Beberapa saat setelah mengkonsumsi ikan tongkol atau tenggiri, sekujur badan tiba-tiba terasa gatal, muka memerah, di beberapa tempat terdapat bercak-bercak merah dan sedikit bengkak (biduran, dalam istilah Jawa), mulut terasa panas atau pedas, suhu badan meningkat, bahkan kadang-kadang muntah dan diare disertai dengan turunnya tekanan darah.

Khalayak umum terlanjur menyebutnya sebagai alergi, pada kenyataannya sebutan ini tidak tepat. Gejala seperti di atas timbul sebagai reaksi adanya senyawa histamin pada ikan-ikan jenis Scombridae dan Scomberesocidae yang kita konsumsi. Karena itu, kasus sejenis ini lebih tepat disebut keracunan histamin.

Apa itu Histamin

Histamin merupakan senyawa kimia amina biogenic (biogenic amine) yang merupakan hasil peruraian asam amino histidin. Asam amino ini oleh bakteri dari kelompok Enterobacteriaceae diubah menjadi histamine. Kelompok bakteri ini umum terdapat di insang dan dalam usus atau perut ikan.

Bagaimana Histamin terbentuk?

Di dalam proses pembusukan oleh bakteri, protein daging ikan terurai menjadi komponen penyusunnya yaitu asam amino. Asam amino histidin yang semula berada dalam bentuk terikat sebagai protein kemudian menjadi bebas dan diubah oleh bakteri dari kelompok Enterobacteriaceae menjadi histamin melalui proses yang disebut dekarboksilasi atau pembebasan gugus karboksil. Pengubahan ini memerlukan ensim dekarboksilase yang hanya dimiliki oleh bakteri tertentu dalam kelompok Enterobacteriaceae, antara lain Morganella, Klebsiella dan Hafnia, dan terjadi pada suhu 4,10 C atau lebih.

Ikan apa saja yang termasuk dalam kelompok Scombridae dan Scomberesocidae?

Termasuk dalam golongan ini antara lain tuna, tenggiri, tongkol, dan kembung.

Apakah histamin hanya terdapat pada ikan dari jenis Scombridae dan Scomberesocidae yang sudah tidak segar?

Kasus keracunan histamin pertama kali disebabkan oleh ikan dari jenis ini, dan karenanya histamin sering pula disebut racun scombroid, atau scombrotoxin. Kelompok ikan ini memang dikenal mempunyai kandungan asam amino histidin yang sangat tinggi. Namun demikian kemudian ditemukan kandungan histamin pada jenis ikan lainnya seperti sardin atau lemuru, pilchard (sejenis sardin), marlin, ekor kuning bahkan salmon Australia.

Menurut Laboratorium Mutu, produk ikan saya mengandung histamin dalam kadar tinggi, apa artinya?

Histamin hanya akan terbentuk bila asam amino histidin telah bebas. Asam amino ini tidak akan terbebaskan manakala ikan dalam keadaan segar, atau belum mengalami proses pembusukan. Dengan kata lain, adanya histamin menunjukkan bahwa ikan sudah tidak segar dan mulai mengalami proses pembusukan. Itu pula sebabnya adanya histamin dalam ikan atau produknya sering digunakan pula sebagai indeks kesegaran dan indeks keamanan pangan.

Berbahayakan keracunan histamin itu?

Banyak rujukan mengatakan bahwa keracunan histamin tidak terlalu membahayakan, dan hanya dimasukkan dalam kategori sedang. Gejala keracunan biasanya akan timbul beberapa menit sesudah mengkonsumsi histamin dan akan hilang dalam waktu sekitar 24-48 jam bila tidak diobati, tergantung masing-masing individu. Namun demikian keracunan histamin tidak boleh dipandang remeh karena akan menyebabkan penderita sangat terganggu oleh gejalanya, dan menjadi tidak produktif (misal: tidak bisa bekerja dsb). Penyandang asma dapat mengalami penderitaan yang lebih berat dan dapat meninggal karena kesulitan pernafasan.

Bagaimana dengan Negara lain?

Keracunan histamin merupakan kasus yang paling sering muncul dalam mengkonsumsi ikan. Meskipun demikian, karena gejalanya yang kadang-kadang tersamar dengan alergi, maka banyak kasus yang tidak tercatat, kecuali ikan sebagai penyebabnya masih dapat dianalisis. Di samping itu, di beberapa Negara sedang berkembang, bahkan di Indonesia, kasus keracunan histamin sering dipandang remeh dan tidak dilaporkan kepada petugas kesehatan setempat, kecuali bila keracunan tersebut bersifat massal.
Jepang, Amerika dan Inggris merupakan Negara yang banyak melaporkan adanya kasus keracunan histamin. Ini semata-mata karena system pelaporan di Negara tersebut telah berjalan dengan baik. Di Amerika keracunan histamin masuk dalam kasus tiga besar keracunan karena makan ikan.
Keracunan histamin dapat terjadi bila kandungan dalam daging ikan atau produknya mencapai 50mg/kg daging. Namun sebagian besar kasus keracunan terjadi pada kandungan di atas 200mg/kg daging. Negara-negara maju telah menetapkan batas maksimum bagi keberadaan histamin dalam ikan atau produknya, meskipun kandungan yang menyebabkan keracunan masih diperdebatkan. Amerika Serikat menerapkan batas maksimum 50mg/kg daging, sedangkan Uni Eropa tidak memperbolehkan satu contohpun yang mengandung histamin lebih dari 20mg/100g daging.

Apa yang harus dilakukan bila keracunan histamin?

Bila mengalami gejala keracunan histamin, maka yang pertama harus dilakukan adalah menghentikan konsumsi ikan yang diduga mengandung histamin tersebut, simpan sisanya dalam lemari es atau bekukan untuk dianalisis bila diperlukan oleh petugas kesehatan. Gejala keracunan histamin dapat dihentikan dengan obat-obatan anti-histamin yang tersedia di apotek, antara lain celestamine atau biasa dikenal dengan singkatan CTM.

Dapatkah histamin dalam daging ikan dihilangkan?

Sekali ensim dekarboksilase ada dalam daging ikan, maka ia akan terus memproduksi histamin dari asam amino histidin. Aktivitas ensim ini dapat dihentikan misalnya dengan pemanasan atau pembekuan, namun histamin yang sudah terlanjur ada dalam daging tidak akan bisa dihilangkan dengan cara apapun.

Bagaimana mencegah timbulnya histamin?

Kesegaran ikan mulai berkurang segera sesudah ikan mati, dan akan diikuti dengan kebusukan. Histamin terbentuk pada suhu 4,10 derajat C atau lebih, karena itu dinginkan ikan hasil tangkapan sesegera mungkin pada suhu di bawah 4,10 derajat C atau lebih baik pada suhu mendekati titik leleh es (0 derajat C). Jangan biarkan ikan berada dalam suhu ruang terlalu lama sebelum diolah. Jangan beri kesempatan ikan berkurang kesegarannya sedetik-pun. Jangan beri kesempatan bakteri mengubah histidin menjadi histamin. Kata kunci: Dinginkan segera dan pertahankan dinginnya. (Achmad Poernomo)


* Dimuat di Warta Pasar Ikan No 42, Februari 2007
sumber:http://achpoer.blogspot.com/2007/12/lebih-jauh-tentang-histamin-alergi-atau.html

MENUJU JAMINAN KEAMANAN PANGAN PRODUK PERIKANAN DENGAN TRACEABILITY*

Mengapa Traceability

Keamanan pangan merupakan isu sangat penting dalam pemasaran produk perikanan di tingkat internasional. Isu ini kembali mencuat ketika China dengan secara tiba-tiba melakukan penolakan produk perikanan Indonesia dengan alasan keamanan pangan. Terlepas dari penyebab sebenarnya yang diduga adalah merupakan retaliasi atau tindakan balasan, tindakan tersebut telah menyebabkan isu keamanan pangan produk perikanan Indonesia kembali menjadi sorotan setelah kasus penolakan udang Indonesia oleh Jepang karena kandungan antibiotika yang melebihi batas agak mereda.

Di dalam negeri insiden keracunan yang disebabkan oleh konsumsi produk perikanan sering terjadi meskipun tidak ada catatan yang akurat tentang ini, baik jumlah maupun jenisnya. Yang paling sering kita dengar adalah keracunan yang disebabkan oleh histamin yang terdapat pada ikan jenis scromboid (tuna, tenggiri, tongkol dll) yang sudah tidak segar lagi. Catatan medis tentang ini sangat terbatas mengingat gejala keracunannya dapat hilang setelah sementara waktu atau sesudah meminum antihistamin seperti incidal atau celestamine, dan sangat jarang dikonsultasikan ke dokter, kecuali kasusnya mengancam jiwa.

Keamanan pangan berdasarkan peraturan merupakan tanggung jawab pelaku usaha yang terlibat dalam rantai produksinya. Untuk perikanan, rantai produksi tersebut bisa sangat panjang dan melibatkan banyak pihak. Kesalahan penanganan ikan di atas kapal dapat menimbulkan potensi gangguan keamanan pangan, namun gangguan tersebut terjadi jauh di hilir ketika ikan tersebut dikonsumsi serta telah mengalami sejumlah penanganan dan pengolahan sepanjang rantai produksi dan distribusi yang melibatkan banyak pihak. Karena itu, manakala terjadi kasus keracunan akan dibutuhkan upaya ekstra untuk melacak penyebabnya. Belum lagi kalau potensi gangguan keamanan pangan tersebut disebabkan oleh kandungan logam berat pada ikan peruaya jauh (highly migratory fish) yang disebabkan oleh perairan yang terkontaminasi.

Untuk produk ikan budidaya, potensi gangguan keamanan pangan dapat terjadi selama budidaya, pada perbenihan (benih dan induk), pakan, obat atau perairan. Meskipun lebih mudah teridentifikasi lokasinya, namun pelacakan penyebabnya tetap saja membutuhkan upaya ekstra. Salah satu instrumen yang dapat dipilih untuk memudahkan upaya pelacakan ini adalah penerapan traceability.

Traceability dalam konsep

Traceability biasa diterjemahkan dengan ketertelusuran. Sejumlah definisi telah dikenal, namun yang terkait dengan pangan, setidaknya ada dua yang relevan, yaitu dari Codex Alimentarius, dan dari Uni Eropa. Definisi oleh Codex Alimentarius dibuat cukup sederhana, yaitu kemampuan untuk mengikuti perjalanan pangan, di setiap tahapan produksi, proses dan distribusi.

Sedangkan Uni Eropa mendefinisikannya secara lebih komprehensif dan mencakup semua produk atau bahan yang terkait dengan pangan, yaitu: kemampuan untuk mencari dan mengikuti jejak/riwayat pangan, pakan, hewan yang menghasilkan pangan, atau substansi yang akan atau mungkin dicampurkan ke dalam pangan dan pakan di setiap tahapan produksi, pengolahan dan distribusi.

Ketertelusuran dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu ketertelusuran internal dan ketertelusuran eksternal. Secara internal, hal ini mencakup ketertelusuran bahan baku, produk setengah jadi dan produk akhir di dalam satu unit produksi atau satu unit pengolahan, dan hanya melibatkan satu pihak. Sedangkan secara eksternal, ketertelusuran mencakup perpindahan produk sepanjang rantai nilai (misalnya dari kolam/tambak ke konsumen), dan dapat melibatkan lebih dari satu pihak.

Traceability dalam praktik

Agar traceability dapat diterapkan, maka semua pihak yang terlibat dalam mata rantai nilai dan produksi harus melakukan pencatatan tentang hal-hal yang telah ditentukan terhadap input produksi, atau produk yang dikelolanya. Di sini, pelaku diharuskan mencatat dan memelihara catatan setidaknya tentang (1) Nama, dan alamat pemasok serta jenis maupun kondisi bahan atau produk yang diperoleh darinya, (2) Nama, dan alamat pembeli serta jenis maupun kondisi bahan atau produk yang dipasok kepadanya; dan (3) tanggal setiap penerimaan atau penghantaran bahan atau produk. Di dalam sistem traceability hal ini biasa disebut sebagai pendekatan selangkah ke depan – selangkah ke belakang (one step backward – one step forward approach).

Catatan ini manakala diperlukan, harus dapat diakses oleh Otoritas Kompeten. Dengan terlaksananya instrumen ini, maka Otoritas Kompeten akan dengan mudah mengambil langkah-langkah kebijakan yang diperlukan untuk menjamin kesehatan dan keamanan produk perikanan. Otoritas Kompeten wajib menjaga kerahasiaan catatan yang diperolehnya, dan hanya menggunakannya dalam kerangka jaminan keamanan dan kesehatan produk perikanan. Secara ringkas, prinsip traceability yang harus dianut di dalam pencatatan ini adalah akurat, terdokumentasi, terpelihara, Interkoneksi dan terbuka bagi Otoritas Kompeten (ATTIT-OK).

Dari mana mulai dan ke mana?

Melalui Regulasi no 178 tahun 2002, sejak 1 Januari 2005 UE mewajibkan semua pelaku usaha bidang pangan di setiap negara anggota untuk melakukan pencatatan seperti disebutkan di atas. Sampai saat ini peraturan itu hanya diberlakukan bagi secara internal, dan tidak menjangkau negara di luar Uni Eropa. Meskipun demikian, adanya Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) dan adanya satu otoritas kompeten yang diakui oleh UE, maka sejatinya setiap negara yang melakukan ekspor ke UE harus menerapkan sistem ketertelusuran di dalam negeri.
Untuk produk perikanan, instrumen traceability tersebar dalam serpihan-serpihan di berbagai Peraturan atau Keputusan Menteri. Produk hukum terakhir yang menyinggung tracebility adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/MEN/2007 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Pasal 3 huruf c peraturan ini menghajatkan diterapkannya sistem ketertelusuran bagi para pelaku usaha perikanan pada setiap mata rantai nilai produk perikanan.

Agar penerapan sistem traceability lebih integratif serta komprehenseif, saat ini sedang disusun Peraturan Menteri tentang itu. Peraturan ini bertujuan salah satunya adalah untuk menjamin keamanan produk perikanan, serta menyediakan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk itu. Sementara sedang disusun, materi traceability telah mulai disosialisasikan ke seluruh pelaku usaha perikanan. Saat ini sosialisasi telah berjalan bagi pelaku usaha perikanan budidaya dari hulu sampai hilir, bekerjasama dengan asosiasi, antara lain Shrimp Club Indonesia (SCI), Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) dan Asosiasi Pengusaha Cold Storage Indonesia (APCI).

Shrimp Club Indonesia merupakan salah satu asosiasi yang paling aktif dalam sosialisasi ini, bahkan telah secara pro-aktif melakukan upaya pendahuluan untuk anggotanya termasuk pembuatan kartu cek (Chek Card) produksi, dan pelatihan-pelatihan. Diharapkan semua asosiasi dapat melakukan hal yang sama. Sementara ini sambil menunggu terbitnya Peraturan Menteri dimaksud, maka semua pelaku usaha hendaknya mulai melakukan pencatatan terhadap hal-hal di atas secara tertib. Kesemuanya ini hanya untuk satu tujuan yaitu menjamin keamanan produk perikanan Indonesia sehingga dapat berjaya kembali di pasar internasional (Achmad Poernomo).

* Dimuat di Majalah Food Review Indonesia Vol. II, No 10, Oktober 2007
sumber: http://achpoer.blogspot.com/2007/12/menuju-jaminan-keamanan-pangan-produk.html