Rabu, 30 Desember 2009
Refreshing sekaligus persiapan mental ngadepin UAN
Dalam rangka mengisi hari libur, siswa TPHPi kelas XII SMK N 1 Jepara mengadakan refreshing dan berjalan jalan di Gunung Muria sekaligus persiapan mental menghadapi UAN 2010. Kegiatan dilaksanakan pada tanggal 24 Desember 2009 pada hari kamis dengan menggunakan 3 Bus engkel. Kebersamaan dalam perjjalanan tersebut diharapkan menjadi motivasi bagi siswa siswi TPHPi dalam belajar sehingga semua siswa siswi TPHPi lulus 100% nantinya. Semoga apa yang diharapkan baik siswa, guru maupun orang tua yaitu kelulusan siswa TPHPi khususnya dan SMK N 1 Jepara umumnya dapat terwujud....amin.
Senin, 28 Desember 2009
selamat Menempuh Hidup Baru
Minggu, 13 Desember 2009
Good Agricultural Practices dan Good Handling Practices Produk Segar Anggur
A. Latar Belakang
Pada abad 21 dunia pertanian dan budidaya tanaman akan menemukan tiga tantangan yaitu:
• Memperbaiki ketahanan pangan, mata pencaharian di daerah dan peningkatan pendapatan
• Meningkatkan kepuasan dan variasi permintaan untuk makanan yang aman/keamanan pangan dan produk lainya
• Menjaga dan melindungi sumber alami
FAO yakin bahwa GAP berpotensi membantu mengadaptasi perubahan ini. Di Thailand penerapan GAP pada produk buah dan sayuran segar telah dilaksanakan beberapa tahun ini dan menjadi prioritas menteri pertanian. Hasilnya sangat signifikan dimana produk pertanian baik buah maupun sayuran Thailand mampu menembus pasar dunia sehingga tidak mengherankan apabila GAP akhir-akhir ini dipromosikan dan digunakan di berbagai belahan dunia. (Changchui, H. 2005).
Di Indonesia sendiri sudah saatnya antisipasi akan quality system yang konsisten dan keamanan pangan terutama di industri pangan dicermati dan diimplementasikan di era pasar bebas ini. Kebijakan mutu akan kepentingan keamanan dan konsistensi quality system dari pemerintah: aplikasi scientific theory dari para scientist; dan implementasi oleh para pelaku bisnis perlu dijalani secara terpadu melalui teknik-teknik: (1) GAP (Good Agriculture Practice)/GFP (Good Farming Practice); (2) GHP (Good Handling Practice); (3) GMP (Good Manufacturing Practice) & GLP (Good Laboratory Practice); (4) GDP (Good Distribution Practice); dan (5) GRP (Good Retailing Practice). Pemahaman dan persamaan persepsi akan kepentingan serta sertifikasi ISO 9000 – 9002–9005; ISO-25 dan HACCP sudah sangat-sangat diperlukan agar industri pangan Indonesia mampu bersaing dengan industri pangan luar negeri (Cahyono, 2000).
Jika harga suatu produk tergantung pada keamanannya, maka akan membuat para petani/pengusaha mendukung sistim keamanan ini. Selain itu, pada pihak konsumen hal ini juga menandakan bahwa tanggapan konsumen mengenai keamanan pangan mulai kritis. Karena konsumen yang kritis adalah jika konsumen menilai keamanan pangan mulai dari penanamannya, kemudian lingkungannya (Matsuda, 2007).
B. Tujuan
Penulisan papper ini bertujuan untuk memahami lebih dalam informasi dan penerapan Good Agricultural Practices dan Good Handling Practices (GAP dan GHP) produk segar khususnya anggur.
I. GOOD AGRICULTURAL PRACTICES (GAP)
GAP/SOP adalah panduan umum dalam melaksanakan budidaya tanaman buah, sayur, biofarmaka, dan tanaman hias secara benar dan tepat, sehingga diperoleh produktivitas tinggi, mutu produk yang baik, keuntungan optimum, ramah lingkungan dan memperhatikan aspek keamanan, keselamatan dan kesejahteraan petani, serta usaha produksi yang berkelanjutan. Sedangkan tujuan dari penerapan GAP/SOP diantaranya; (1) Meningkatkan produksi dan produktivitas, (2) Meningkatkan mutu hasil termasuk keamanan konsumsi, (3) Meningkatkan efisiensi produksi dan daya saing, (4) Memperbaiki efisiensi penggunaan sumberdaya alam, (5) Mempertahankan kesuburan lahan, kelestarian lingkungan dan sistem produksi yang berkelanjutan, (6) Mendorong petani dan kelompok tani untuk memiliki sikap mental yang bertanggung jawab terhadap kesehatan dan keamanan diri dan lingkungan, (7) Meningkatkan peluang penerimaan oleh pasar internasional, dan (8) Memberi jaminan keamanan terhadap konsumen. Sedangkan sasaran yang akan dicapai adalah terwujudnya keamanan pangan, jaminan mutu, usaha agribisnis hortikultura berkelanjutan dan peningkatan daya saing (Anonim,2008).
Penerapan GAP melalui Standar Operasional Prosedur (SOP) yang spesifik lokasi, spesifik komoditas dan spesifik sasaran pasarnya, dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan petani agar memenuhi kebutuhan konsumen dan memiliki daya saing tinggi dibandingkan dengan produk padanannya dari luar negeri. Dasar hukum penerapan GAP di Indonesia adalah Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 61/Permentan/OT.160/11/2006, tanggal 28 November 2006 untuk komoditi buah, sedangkan untuk komoditas sayuran masih dalam proses penerbitan menjadi Permentan. Dengan demikian penerapan GAP oleh pelaku usaha mendapat dukungan legal dari pemerintah pusat maupun daerah (Anonim, 2008).
Penerapan strategi dasar HACCP pada Good Agricultural Practice (GAP) pada lahan pertanian meliputi panduan umum yang terdiri dari :
• program perawatan peralatan
• program sanitasi termasuk pada fasilitas pengepakan
• pembersihan akhir musim tanam
• tempat penyucian dan pengepakan
• pelatihan bagi para karyawan
• program penangan hama dan penyakit
• program perawatan gudang
• transportasi
• dan pengambilan sampel mikrobia
II. GOOD AGRICULTURAL PRACTICES (GAP) DAN GOOD HANDLING PRACTICES (GHP) PRODUK ANGGUR
Anggur merupakan tanaman buah berupa perdu yang merambat. Anggur berasal dari Armenia, tetapi budidaya anggur sudah dikembangkan sejak 4000 SM di Timur tengah. Sedangkan teknologi pengolahan anggur bau dikembangkan oleh orang Mesir pada 2500 SM (Deptan, 2004).
Anggur dapat tumbuh dengan baik pada kisaran range pH antara 5-6. Pemberian kalsium dioksida dilakukan jika pH tanah lebih dari 6. Jika pH mencapai 7, berarti tanah kekurangan mangaan. Dolomatic lime mensuplai magnesium sehingga dapat menurunkan nilai potassium jika potassium terlalu tinggi (Brown et.al, 1997). Akan tetapi di daerah utara Nevada tanaman anggur dapat tumbuh pada pH tanah diatas 7,5 dan minim material organic, di Perancis selatan tanah banyak mengandung kalsium. Hal ini menunjukan bahwa anggur dapat dibudidayakan dibanyak medan, yang perlu diperhatikan adalah pengelolaan tanah yang tepat untuk mendapatkan pH yang diinginkan, material organic yang cukup dan pengairan yang baik (Allen et.al, 2008).
Bahaya pada Produk Segar
Bahaya adalah sesuatu yang dapat menyebabkan kerugian terhadap konsumen. Ada 3 tipe bahaya pada produk buah dan sayur segar (Brady dan Morris, 2009):
• Bahaya biologi diakibatkan oleh aktifitas mikroorganisme seperti bakteri, virus dan parasit lain seperti jamur yang memproduksi racun. Mikroorganisme dapat mengkontaminasi produk setiap saat mulai dari lading sampai siap makan.
• Bahaya kimia muncul dari kontaminasi produk dengan bahan kimia yang merugikan atau yang berpotensi menyebabkan kerugian. Bahaya ini mungkin terjadi secara alami, namun juga bisa diakibatkan selama proses produksi pertanian dengan penggunaan tambahan bahan kimia selama penanganan dan sampai penyimpanan.
• Bahaya fisik adalah bahan yang tidak diinginkan pada produk, bisa berupa batu, ranting dan material lainya yang diperoleh selama pemanenan. Benda asing seperti bagian material pengemasan; staples, potongan logam dan sebagainya.
Istianto (2009) menambahkan Good Agricultural Practices (GAP) merupakan suatu program untuk menghasilkan produk pertanian, termasuk buah, yang aman bagi konsumen. Fokus dari program ini terutama untuk mengurangi resiko kontaminasi mikroba berbahaya dan pestisida. Secara garis besar GAP dirancang untuk :
• Meminimalkan mikroba berbahaya pada produk pangan,
• Meminimalkan atau mengeliminasi praktek-praktek yang merusak lingkungan,
• Melindungi kesehatan pekerja,
• Pendidikan konsumen,
• Mempromosikan keamanan pangan.
Prinsip utama dalam budidaya anggur dan produk yang lain adalah mencegah kontaminasi lebih efektif dibanding harus mengkoreksi atau memperbaiki produk setelah terkontaminasi. Dari gambaran tersebut GAP didefinisikan juga sebagai pedoman ilmu dasar untuk mengurangi atau menghilangkan kontaminasi mikroba pada produk segar di lahan pertanian sampai dalam bentuk kemasan di rumah. Aplikasi pedoman ini di lakukan untuk mengurangi bahaya lain dan meminimalisir bahaya keamanan pangan.
Pemilihan Lahan
Pemilihan lahan yang tepat merupakan tahap kritis dalam mendirikan perkebunan anggur yang produktif. Ini adalah tahap pertama jaminan keamanan produk. Penggunaan lahan sebelum dan saat digunakan untuk lahan produksi serta lingkungan `sekitar lahan berpotensi mengandung bahaya dan dapat mempengaruhi pertumbuhan anggur. Lahan pertanian yang sebelumnya sering digunakan untuk aktivitas penanaman lain seperti gandum mungkin telah terkontaminasi oleh penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme atau bahan kimia beracun. Lahan yang pernah digunakan sebagai peternakan mungkin mengandung penyakit yang diakibatkan oleh microorganism dari hewan.
Lahan yang digunakan untuk menanam anggur harus mempunyai suplai air yang bagus dan terpapar dibawah sinar matahari langsung dan setidaknya mengandung mineral-mineral tertentu sebagai nutrisi dalam pertumbuhan baik selama pembenihan maupun pembesarannya seperti pada table 1 berikut :
(sumber : Moulton & King, 2005).
GAP Air
Air merupakan komponen dasar dalam jaringan sel tumbuhan. Oleh karena itu air dapat mengontrol pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dibudidayakan. Kebanyakan air diperoleh dari absorpsi tanaman dari tanah yang secara tidak langsung juga mengandung nutrient yang dibutuhkan dalam pertumbuhan. Suplai air selama tahap pertumbuhan mempengaruhi perkembangan tanaman , kualitas buah dan hasil yang diperoleh (FFTC, 2003).
Air digunakan dalam berbagai aktivitas pertanian termasuk irigasi, pestisida dan aktifitas pemupukan, pendinginan dan pencegahan pembekuan. Mikroorganisme menggunakan air sebagai media untuk beraktivitas dan mengkontaminasi produk sayur maupun buah segar. Besarnya bahaya yang dihasilkan tergantung kualitas air, jenis dan jumlah mikroorganisme dalam air serta kemampuan untuk survive didalam produk. Mouton & King (2005) menambahkan bahwa tanaman anggur tidak mentolerir adanya irigasi yang rusak parah untuk waktu yang lama. Oleh karena itu pengecekan yang detail terhadap lahan yang akan dipakai untuk budidaya anggur mutlak diperlukan. Sedangkan Hamman et al. (1998) berpendapat bahwa hasil panen anggur dan kualitasnya tergantung pada iklim, tanah dan praktek manajemen berbudidaya seperti irigasi. Manajemen irigasi yang jelek membuat stress pada tanaman sehingga berpengaruh pada hasil dan kualitas buah.
Jika ketersediaan dan aliran irigasi yang digunakan pada kebun anggur terbatas, aktivitas pertanian lain dapat beresiko menimbulkan kontaminasi terhadap buah. Petani dapat mengidentifiksi sumber air pertanian dan memparkan kemungkinan terkena kontaminasi. Sumber air pertanian termasuk air permukaan seperti sungai, selokan, parit, dank kanal terbuka ; kolam, tambak, penampungan dan danau; air tanah/sumur, dan penggunaan perairan umum. Secara umum air tanah lebih rendah kemungkinan kontaminasinya dibanding air permukaan selama air permukaan terpapar dan mengalir, maka kemungkinan kontaminasi besar. Sumber kontaminasi potensial dari air permukaan termasuk limbah peternakan, pemupukan lahan, aktivitas industry dan wilayah padat penduduk. Meskipun demikian sebagian petani menggunakan sumber air ini karena petani sadar bahwa potensial masalah di hulu dan sangat mungkin kontaminasi dapat diminimalisir. Limbah manusia dan hewan merupakan sumber penting kontaminasi air pertanian. Keberadaan coliform bacteria merupakan indicator adanya pencemaran. Tingkat kontaminasi maksimal coliform untuk air minum adalah nol. Meskipun tidak ada definisi standar air untuk pertanian, namun GAP mensyaratkan penggunaan air yang dapat diminum untuk air pertanian.
Selain bahaya mikroba, air juga mengandung kontaminan dari bahan kimia. Bahaya kimia mungkin diperoleh dari air melewati tanah yang mengandung bahan kimia pada level tinggi. Penggunaan pestisida, herbisida dan pemupukan juga berpotensi terhadap bahaya kontaminasi kimia terhadap buah maupun sayuran yang ditanam. Air yang digunakan untuk pestisidan dan pemupukan merupakan sumber kontaminan produk. Hanya air yang kualitasnya bagus yang digunakan untuk penanaman ataupun pemrosesan (Brady & Morris, 2009)
Helman (2007) menambahkan bahwa kualitas air terutama berkaitan dengan salinitas terutama dengan jumlah garam terlarutnya. Keberadaan air sumur dapat diuji kualitas nya melalui pengujian yang menggambarkan apakah air tersebut cocok untuk produksi anggur atau tidak. Adanya Klorin dan boron pada air irigasi akan terakumulasi di daun, dan tingginya sodium pada air irigasi akan mengurangi permeabilitas tanah. Garam akan terakumulasi di tanah dan dapat mengurangi produksi anggur.
GAP Hewan
Semua hewan berpotensi menjadi sumber kontaminan untuk produk selama hewan membawa mikroba pada tubuhnya. Sebagai catatan, mereka selalu kontak dengan tanah, kotoran, dan air dimana mereka dapat tambahan kontaminan. Anggur dan produk lainya mungkin terkontaminasi oleh kotoran hewan ketika peternakan berdekatan dengan kebun anggur atau berada dilingkungan perkebunan. Kotoran hewan peliharaan seperti anjing dan kucing di kebun anggur atau tempat budidaya dapa meningkatkan kontaminasi terhadap produk. Demikian juga dengan banyaknya burung dan hewan liar lain merupakan sumber kontaminan pada lahan budidaya.
Serangga dan hewan pengerat biasanya banyak ditemukan di area produksi dan penanganan yang mungkin membawa mikroorganisme yang dapat mengkontaminasi produk. Hama juga merusak material pengemasan , material lain dan bahkan bangunan. Oleh karenanya perlu adanya program pengendalian terhadap hama salah satunya dengan menjalankan praktek yang baik dan bersih (Brady & Morris , 2009).
Serangga yang biasanya mengangu tanaman anggur adalah Grape mealybug yang merupakan vector dari virus penyebab kerusakan pada tanaman anggur, kemudian leafhoppers yang memakan dan masih banak serangga lain seperti black vine weevil, cottony maple scale, black rust mite serta cutworms yang merusak tanaan anggur (Parker et.al , 2009).
Gambar 1. Ternak merupakan salah satu sumber kontaminan
(sumber: Brady & Morris,2009)
Manajemen Perkebunan anggur
Pemangkasan
Pemangkasan merupakan tahapan yang sangat penting dalam manajemen budidaya anggur. Pemangkasan ini dilakukan untuk memilih batang yang berbuah, menjaga bentuk tanaman dan mengatur tunas yang tumbuh. Pemangkasan dapat dilakukan setiap saat selama masa dormansi, meskipun demikian waktu terbaik pemangkasan adalah sampai akhir musim dingin atau awal musim semi (Bordelon, 2001).
Goulart (2008) menambahkan, pemangkasan dilakukan pada musim dingin saat tanaman anggur sedang dorman, biasanya sekitar bulan Desember sampai Maret. Pemangkasan mempengaruhi jumlah tunas yang terbentuk dan hasil panen, karenanya proses ini sangat penting untuk ddilakukan pada praktek budidaya tanaman anggur.
Manajemen Penyakit
Menurut Bordelon (2001) pengendalian terhadap penyakit dibutuhkan untuk menjaga kesehatan daun dan melindungi buah. Kebanyakan penyakit pada anggur disebabkan oleh jamur karena kondisi yang lembab, sehingga seringkali diatasi dengan fungisida. Parker et al. (2001) menambahkan, selain jamur, bakteri, virus dan nematode juga merupakan penyebab penyakit yang umum ditemukan pada anggur.
Brown (1997) menambahkan bahwa fungisida tidak dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan penyakit anggur karena jamur, karena fungisida sifatnya hanya mencegah penyakit akibat infeksi. Sebelum menentukan fungisida yang akan dipakai untuk mengontol penyakit pada anggur, harus diidentifikasi terlebih dahulu jenis penyakitnya. Penyakit yang menyerang anggur diantaranay black rot yang disebabkan jamur Guignordia bidwelli, phomopsis batang dan spot pada daun karena jamur Phomopsis viticola, powder mildew karena jamur Uncinula necator, downy mildew karena jamur Plasmopora viticola dan masih bayak lagi. Pemberian fungisida sebagai langkah pengobatan harus benar-benar tepat sesuai jamur penyakit yang menyerang. Selain penyakit akibat jamur, serangga juga merupakan salah satu peyebab kerusakan pada tanaman anggur. Penyakit akibat serangga biasanya menyerang daun maupun akar tanaman.
Pengendalian rumput liar
Pada perkebunan anggur, pengendalian rumput liar sangatlah penting, karena rumput merupakan competitor tanaman anggur dalam memperoleh nutrisi dan air dari tanah. Tingginya tingkat kompetisi pada tahun pertama dan kedua penanaman berpengaruh besar pada pertumbuhan anggur yang dapat menyebabkan kegagalan dalam budidaya anggur. Untuk tanaman anggur yang sudah dewasa, pengendalian rumput liar ini sangat penting karena pada masa ini tanaman anggur sedang berkembang dengan cepat untuk membentuk kanopi dan berfotosintesis secara maksimal supaya berbunga dan berbuah dengan baik. Pengendalian rumput liar ini dapat dilakukan satu atau dua kali musim tanam sebelum ditanami anggur. Rumput liar yang mempunyai akar serabut seringkali susah dikendalikan dan membutuhkan perlakuan tambahan seperti pemakaian herbisida yang dapat memusnahkan umput liar (Byers, et. Al, 2003).
Pengendalian burung
Burung dapat menjadi penyebab serius kerusakan produk khususnya anggur yang kecil dan blackberry. Burung akan memakan anggur ketika kadar gula mencapai 11-12%. Control akan menjadi sangat sulit ketika burung telah mulai memakan anggur. Oleh karena itu sangatlah penting mengendalikan burung sebelum burung memakan anggur. Pengunaan jaring menjadi efektif untuk mengantisipasi datangnya burung-burung pemangsa ini (Brown, et al. , 1997).
Gambar 2. Jaring pelindung dari bahaya burung pemakan anggur
(sumber: Moulton & King 2001)
Kesehatan dan Keselamatan Pekerja adalah GAP
Pekerja kebun secara langsung berhubungan dengan produk khususnya pada anggur. Pada beberapa kasus, orang terakhir yang kontak dengan produk adalah konsumen. Setiap pekerja menyentuh produk dan dapat mentransfer lewat permukaan produk hingga sampai ke konsumen. Program pelatihan dapat memberi pengetahuan pekerja untuk mengikuti prosedur sanitasi guna melindungi dan menjamin produk.
Semua pekerja dapat dengan mantap dan tepat melaksanakan prosedur sanitasi hygiene baik petani, supervisor maupun pimpinan. Tenaga kerja harus diberikan fasilitas sanitasi yang memadai, dekat dengan ladang atau kebun anggur tapi harus ditempatkan dengan baik sehingga tidak menimbulkan resiko kontaminasi dengan air, tanah maupun buahnya. Fasilitas sanitasi harus dipelihara dengan persediaan sabun dan tisu. Tenaga kerja dianjurkan untuk melapor jika sakit kepada supervisor sebelum mulai kerja. Hal ini dapat dipahami bahwa pekerja yamg sakit seperti diare, demam akibat infeksi tidak diperbolehkan kontak langsung dengan produk segar maupun menangani peralatan (Brady & Morris, 2009).
.
Gambar 3. Pekerja kebun anggur (sumber: Brady & Morris,2009)
Good Handling Practices (GHPs) adalah kritis untuk menjamin keamanan anggur
Upaya untuk menjamin keamanan tidak pernah berhenti pada saat anggur baru berbuah maupun setelah dipanen. Faktanya, penelitian menunjukan bahwa proses pengemasan yang merupakan salah satu rantai dari ladang ke meja makan pada produk segar mempunyai resiko tertinggi untuk kontaminasi. GHPs merupakan prosedur sanitasi untuk distribusi buah dan sayuran dari ladang hingga ke meja makan. Penerapan GHPs dapat membantu mengurangi resiko kontaminasi terhadap produk segar selama penanganan, pengemasan, penyimpanan dan transportasi.
Pemanenan dan penanganan
Pemanenan yang optimal untuk anggur tergantung pada tanaman, kondisi alam pada saat musim tanam, dan untuk apa buah yang akan dipanen. Waktu pemanenan dapat bervariasi dari tahun ke tahun tergantung kondisi lingkungannya. Parameter pemanenan anggur diantaranya adalah warna, rasa, aroma, serta rasio kadar gula dan keasaman dimana rasionya 15:1 atau lebih. Anggur yang dijual segar biasanya dipanen dengan menggunakan tangan, diikat kemudian diletakan dalam wadah. Sedangkan anggur untuk diolah biasanya dipanen menggunakan mesin. Pemanenan bisa dilakukan satu atau dua kali seminggu dan dilakukan sebelum jam 11 siang. Bahkan untuk pemanenan menggunkan mesin bisa dilakukan malam hari (Byers, et al., 2003).
Kontaminasi terhadap produk segar termasuk anggur dapat dipengaruhi selama pemanenan. Sumber kontaminan pada tahap ini diantaranya kontak dengan pekerja, kontamianan dengan lingkungan seperti tanah, air dan udara serta tidak bersihya peralatan. Peralatan pemanenan seperti mesin, pisau, wadah, keranjang, ember, dapat dibersihkan dan disanitasi sebelum digunakan. Wadah dan bahan pengemasan dapat ditangani dengan hati-hati agar selalu bersih dan dan bebas kotoran dan kontaminan (Brady dan Morris, 2009).
Menurut Brenes (2002) pada proses pencucian produk segar, baik buah maupun sayuran ada 4 tahapan yang harus diperhatikan :
1. Menghilangkan tanah dari permukaan produk dengan dry cleaning
2. Mencuci dengan mengunakan air untuk menghilangkan kototran
3. Mencuci dengan menggunakan sanitizer/sanitizing agent (halogen, komponen ionic, oksigen aktif, teknologi baru)
4. Pencucian terakhir
Gambar 4. Pemanenan anggur dengan mesin (sumber: Comb, 2001)
Kesehatan pekerja dan Higiene
Menurut Brady dan Morris (2009), pekerja yang memetik, memroses maupun mengemas produk dapat mengkontaminasi ke produk melalui sentuhan tangan, baju, atau batuk, pilek, atau pendarahan. Pelatihan pekerja tentang penanganan produk seperti bagaimana cara mencuci tangan dan pentingnya sanitasi yang baik pada setiap aktivitas sangatlah penting untuk keamanan produk dan kualitas. Pekerja yang sakit sebaiknya tidak diperkenankan bersentuhan dengan produk maupun peralatan. Anggur merupakan produk yang unik karena hanya membutuhkan sedikit air untuk penanganan setelah pemanenan. Karena pemberian air setelah proses pemanenan dapat secara nyata menjadi sumber kontaminan bagi produk, sehingga sangat penting memperhatikan air yang digunakan dalam penanganan pasca panen buah maupun sayuran karena dapat memberi kontribusi pada terjadinya kontaminasi.
Air yang digunakan untuk penanganan pasca panen harus menggunakan air bebas mikroba penyebab penyakit. Oleh karena itu penggunaan air untuk semua proses menggunakan air yang dapat diminum. Karena air yang terkena kontaminan dapat mengkontaminasi produk, semua alat yang terkena air harus dibersihkan dengan sanitaizer untuk mencegah kontaminasi dari air. Air yang digunakan dalam penanganan produk harus diganti untuk menjaga kondisi kebersihan. Mikroorganisme pada buah dapat terakumulasi pada saat pencucian buah. Memelihara kualitas air untuk penanganan pasca panen biasa menggunakan tambahan sanitizer berupa klorine, baik berupa sodium atau calcium hipoklorite, dan klorine cair. Jika klorine dipakai sebagai sanitizer untuk sayur dan buah, perlu dipantau konsentrasi klorin bebas dalam air untuk mengetahui secara pasti limbah klorine dalam air (Brady dan Morris, 2009).
Pendinginan
Pengaturan temperatur yang baik merupakan langkah kritis GHPs dalam mempertahankan kualitaas produk. Peningkatan temperatur mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme yang mungkin ada dalam produk. Pengendalian temperatur pada anggur dimulai saat pemanenan. Secara umum pemanenan anggur direkomendasikan dilakukan malam hari atau pagi-pagi sekali pada saat temperatur udara rendah. Setelah dipanen produk harus selalu dalam kondisi dingin selama dipindahkan dari kebun (Brady dan Morris, 2009).
UNCTAD (2007) menambahkan, sebagai produk yang mudah rusak, buah maupun sayuran sangat sensitive terhadap temperature yang tinggi. Konsekuensinya pada temperature panas tertentu dapat mempengaruhi umur simpan dan kesegaran produk. Untuk mempertahankan kesegaran produk perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
• Meminimalisasi kontak produk dengan temperature tinggi dan sinar matahari, karenanya pemanenan dilakukan pagi atau malam hari;
• Setelah dipanen, produk diletakan ditempat terlindung dengan sirkulasi udara
Mencuci produk
Mencuci dan pemberian sanitizer terhadap buah maupun sayuran merupakan metode untuk mengurangi kemungkinan kontaminasi. Bagaimanapun, beberapa komoditi yang banyak mengandung air seperti strawberry, beri beri lainnya, dan anggur, apabila dicuci sebelum penyimpanan secara nyata mengurangi umur simpan. Untuk produk produk ini, udara adalah metode terbaik untuk membersihkan debu dan kotoran. Untuk komoditi ini, pencegahan kontaminasi adalah cara terbaik untuk mengontrol mikroba.
Buah dan sayuran yang mempunyai struktur yang dapat mentolerasi air sehingga harus dicuci untuk mengurangi mikroorganisme pada produk dan menurunkan resiko penyakit yang disebabkan oleh makanan yang berkaitan dengan produk tersebut. Mengurangi jumlah organism juga membantu mengurangi pembusukan, memperbaiki penampilan dan meningkatkan nilai nutrisi. Air yang digunakan untuk mencuci harus air yang bebas dari mikroba yang dapat menyebabkan penyakit. Pencucian untuk membersihkan permukaan yang kotor dapat dilakukan dengan air murni atau air yang mengandung detergent yang aman untuk produk makanan atau garam permanganate.
Peralatan yang digunakan untuk mencuci produk harus diseleksi berdasarkan sesuai karateristik produk. Produk yang lunak biasanya dicuci denga menggunakan air semprotandan produk bergerak sepanjang konveyor. Buah buahan dan sayuran yang lebih kuat dapat dicuci di alat pemutar. Umbi umbian biasanya dicuci dengan sikat pencuci yang mempunyai sikat silinder yang berputar (Brady dan Morris, 2009)..
Gambar 5. Berbagai jenis buah anggur (sumber: Moulton & King, 2005)
Setelah produk dibersihkan, biasanya diikuti dengan langkah sanitasi yang pada umumnya menggunakan bahan kimia. Sanitasi berarti perawatan dengan membersihkan produk untuk menghancurkan atau mengurangi jumlah mikroba. Tanpa mengurangi kualitas produk dan keselamatannya. Adalah sangat penting bahwa tahapan sanitasi di aplikasikan hanya pada produk yang sudah dicuci. Kotoran dapat mengganggu kemampuan bahan bahan sanitasi yang menurunkan jumlah mikroorganisme.
Brenes (2002) menambahkan, penghilangan pathogen pada produk sangat penting untuk mengurangi resiko sakit akibat makanan, mengurangi kebusukan, dan memperbaiki kenampakan dan nilai gizi. Pencucian dan sanitasi produk buah dan sayuran biasanya dilakukan untuk mengurangi kontaminan pada permukaan buah. Meskipun demikian penerapannya tergantung toleransi produk terhadap air. Umur simpan beberapa produk dapat berkurang setelah produk basah. Khususnya produk dengan kadar air tinggi seperti strawberi, dan anggur. Tahapan sanitasi secara umum meliputi pemberian agen kimia dan pencucian. Perlakuan sanitasi berarti proses membersihkan produk dengan menghancurkan atau mengurangi mikroorganisme yang dapat mengganggu kesehatan Pembersihan dan perlakuan produk dengan bahan sanitasi untuk mengurangi kontaminasi penting dilakukan , meskipun jika ada produk yang terkontaminasi oleh pathogen pada manusia tidak ada bahan sanitizer ataupun proses selain pemasakan yang dapat secara nyata menghilangkan pathogen. Inilah mengapa pencagahan kontaminasi pada awal sangat penting. Ada 4 tahap prosedur yang direkomendasikan untuk membersihkan buah dan sayuran yaitu;
• Buang tanah pada permukaan produk dengan pembersihan kering (disikat atau vakum)
• Gunakan air bersih untuk mencuci dan membuang kotoran
• Cuci dengan bahan sanitasi (agen kimia secara umum)
• Bilas
Mencuci produk dengan air klorin dapat mencegah pembusukan yang disebabkan oleh bakteri, kapang dan ragi pada permukaan buah. Kalsium hipoklorit (serbuk) dan sodium hipoklorit (cairan) adalah murah dan tersedia secara luas. Efektifitas perlakuan akan berkurang jika bahan organik dibiarkan bertambah di dalam air. Efectivitas klorin meningkat dengan berkurangnya pH dari 11 ke pH 8, tetapi pada pH lebih rendah klorin menjadi tidak stabil. Buah-buahan dan sayur-sayuran dapat dicuci dengan larutan hipoklorit (konsentrasi 25 ppm klorin tersedia selama 2 menit) kemudian dibilas dengan air bersih untuk membunuh bakteri pembusuk. Alternatif lainnya, komoditas-komoditas tersebut dapat dicelupkan dalam larutan hipoklorit (50-70 ppm klorin tersedia) kemudian dibilas dengan air kran bersih untuk mengendalikan bakteri, ragi dan kapang (Kitinoja dan Alder, 2003).
Pengepakan dan Penyimpanan
Fasilitas pengepakan dan penyimpanan bervariasi tergantung pada produk yang diproses dan ukuran kegiatannya. Karena anggur tidak dapat dibersihkan dengan menggunakan air, maka banyak petani yang lebih memilih untuk mengepak anggur diladang, hal ini juga mengeliminasi biaya ekstra akibat pemindahan anggur dari ladang ke rumah pengepakan. Pengepakan di ladang juga menjadi hal yang wajar bagi produk produk yang lain. Rumah pengepakan bisa berupa gudang kecil dekat ladang atau bangunan besar dengan banyak tempat pemprosesan dan penyimpanan. Dengan tidak menghiraukan besar kegiatan atau produk yang ditangani, GHPs sangat penting untuk menjaga fasilitas fisik dari menjadi sumber kontaminan dan untuk memastikan konsistensi kualitas produk (Brady dan Morris, 2009).
Untuk melindungi produk dari kontaminasi , digunakan wadah untuk menampung buah maupun sayuran yang dipanen agar selama transportasi dari kebun dan pengemasan atau penyimpanan produk tetap bersih. Fasilitas pengepakan merupakan good practices seperti kode warna atau label pada wadah digunakan selama transportasi produk sebelum dan sesudah pencucian dan harus dijaga denagn baik agar terhindar dari kontaminasi silang (Brenes, 2002).
Gambar 6. Proses pengemasan anggur di ROP Kandahar (sumber: Dale Lea, 2006)
Dimanapun pengepakan terjadi, baik di ladang ataupun di rumah pengepakan, seluruh peralatan yang digunakan untuk menangani produk yang baru dipanen harus di desain untuk mudah dibersihkan dan dijaga sebagaimana mestinya untuk menghindarkan dari kontaminasi. Apabila memungkinkan, seluruh peralatan dan petikemas/wadah yang mempunyai kontak langsung dengan produk dibuat dari bahan stainless steel atau plastik karena bahan tersebut mudah untuk dibersihkan dan di sanitasi, dan tidah mudah jatuh atau pecah. Seluruh peralatan harus ditempatkan sebagaimana sehingga dapat mudah untuk dibersihkan . bila tidak sedang digunakan, peralatan harus disimpan dengan baik agar tidak terkontaminasi. Bila produk harus dicuci, kode warna atau melabeli petikemas harus dilakukan untuk memisahkan produk yang sudah dicuci dan produk yang belum dicuci. Pemisahan produk yang sudah dan belum dicuci menjadi sangat penting untuk menghindari kontaminasai kembali produk produk yang bersih oleh produk yang belum dicuci.
Kotak pengemasan dan krat harus ditangani sedemikian rupa agar tidak pecah. Petikemas tidak boleh ditutup dengan paku atau staples karena hal tersebut dapat mengkontaminasi produk. Peralatan program pembersihan dan perawatan yang lengkap harus diadakan. Kerusakan pada peralatan harus segera dilaporkan segera mungkin sejak kerusakan tersebut terjadi. Sehingga dapat dilakukan tindakan yang diperlukan agar masalah kecil tidak menjadi besar (Brady dan Morris, 2009)..
Penyimpanan produk segar
Seluruh buah dan sayuran segar harus disimpan di tempat yang bersih menggunakan sistem yang teratur. Kode harus ditempatkan diatas kotak agar mudah mengidentifikasi dan memberikan informasi tentang pengepakan. Kode ini juga dapat membantu sebagai informasi yang menjamin produk selama peredaran dan penyimpanan. Sehingga jika ada permasalahan selama distribusi maupun pemasaran dapat segera di tangani.
Kemasan produk diletakan pada pallet sebagai alas untuk menghindarkan kontak langsung dengan lantai . Palet diberi jarak dari dinding dan antar palet sehingga ada aliran udara dan mempermudah dalam membersihkan dan pengecekan terhadap adanya serangga dan hewan pengerat. Bahan kimia, sampah, limbah atau bahan berbau tajam sebaiknya disimpan jauh dari produk buah dan sayuran segar. Dinding, lantai dan atap ruang penyimpanan harus dibersihkan secara rutin untuk menghindari kotor dan kontaminan lain. Tempat penyimpanan harus dapat dengan baik merekam pengaturan suhu dan kelembaban untuk mencegah pertumbuhan mikroba.
Menurut Fiola (1997) Umur simpan produk merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam produk anggur. Tempat penyimpanan produk anggur ini suhunya harus 320 F untuk menjaga kelembaban tetap tinggi sehingga dapat bertahan hingga dua minggu. Beberapa jenis anggur dapat bertahan dengan baik dibawah kondisi normal dan tetap terjaga kualitasnya hingga 3-4 minggu lamanya.
Transportasi
Penanganan buah dan sayuran selama transportasi merupakan tahapan kritis dalam keamanan buah dan sayuran. Buah dan sayuran pada umumnya di angkut menggunakan truk atau trailer yang berisi campuran berbagai produk yang memungkinkan adanya kontaminasi silang. Idealnya bak transporasi dibersihkan dari hama setelah digunakan untuk menghindari kontaminasi silang. Jika truk pengangkut sebelumnya digunakan mengangkut produk hewan seperti daging, telur, ikan atau bahan kimia maka truk wajib dibersihkan dan disucihamakan sebelum dipakai untuk mengangkut produk buah maupun sayuran segar(Brady & Morris, 2009).
Container untuk mengangkut buah harus dibersihkan dan disanitasi secara teratur sesuai prosedur yaitu dibersihkan menggunakan deterjen, dibilas, kemudian sanitasi dengan menggunakan sodium hipoklorit dengan tekanan tinggi. Wadah atau tempat buah yang telah dibersihkan diletakan dibawah matahari langsung karena dimungkinkan pengeringan cepat dan sinar UV dapat membantu membunuh pathogen .
Gambar 7. Distribusi angur dengan transportasi truk
(sumber: Brady & Morris, 2009)
III. PENUTUP
Brady dan Morris (2009) berpendapat bahwa petani dan pengusaha harus mempersiapkan diri untuk menyesuaikan praktek keamanan tambahan dalam setiap kegiatan dengan konsekuensi membutuhkan anggaran yang sangat besar namun nantinya diperoleh keuntungan yang besar pula. Biaya yang dibutuhkan antara lain untuk:
• Investasi untuk fasilitas air yang aman
• Pelatihan pekerja
• Meng upgrade dokumen untuk prosedur verifikasi
• Kemungkinan untuk dilaksanakannya audit untuk mem verifikasi pelaksanaan GAP selama produksi dan GHPs selama penanganan.
Keuntungan yang dapat diperoleh dari penerapan praktek keamanan pangan ini diantaranya:
• Harga yang tinggi untuk produk yang berkualitas
• Mengurangi resiko keamanan pangan
• Terhindar dari kerugian besar akibat penjualan, rusaknya reputasi, dan jerat hukum yang mungkin terjadi jika ditemukan produk terkontaminasi.
Anonim (2009) menambahkan bahwa untuk mempercepat penerapan GAP/SOP khususnya di Indonesia harus dilakukan hal-hal sebagai berikut : (1) Mendorong terwujudnya Supply Chain Management (SCM), (2) Merubah paradigma pola produksi menjadi market driven, (3) Mendorong peran supermarket, retailer, supplier, dan eksportir untuk mempersyaratkan mutu dan jaminan keamanan pangan pada produk, (4) Penyediaan tenaga pendamping penerapan GAP, (5) Melakukan sinkronisasi dengan program instansi terkait lainnya, (6) Perumusan program bersama instansi terkait lainnya dan melakukan promosi, (7) Target kuantitatif pencapaian kebun GAP tercantum dalam Renstra Departemen Pertanian, (8) Membentuk dan memberdayakan lembaga sertifikasi untuk melakukan sertifikasi kebun dan produk Prima dan (9) Mendorong sosialisasi mekanisme sistem sertifikasi dan perangkatnya.
Penyebab belum diterapkannya GAP berbagai negara adalah mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menerapkannya.. Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan tentu menjadi kendala besar untuk dapat diterapkan oleh para petani di Indonesia yang mayoritas masih berkutat dengan masalah kemiskinan dan lemah dalam SDM terutama dilihat dari tingkat pendidikan para petani di Indonesia. Penerapan GAP di Indonesia saat ini dioptimalkan untuk dilaksanakan oleh perusahaan agribisnis yang berskala besar dan berorientasi ekspor. Pemerintah sendiri telah membantu penerapan GAP tersebut dengan SOP khusus pada setiap komoditas pertanian yang hendak diusahakan, namun baru terbatas pada komoditas hortikultura. Pemerintah juga telah memberikan penghargaan kepada berbagai kebun buah yang telah menerapkan standar GAP melalui penghargaan kategori Prima 3, Prima 2 dan Prima 1 untuk merangsang penerapan GAP bagi kebun hortikultura buah (Anonim, 2009).
SUMBER PUSTAKA
Anonim. (2009). Peranan GAP dalam agribisnis di Indonesia. www.magri.undip.ac.id
Allen L, Grant Carmer dan Wendy Hanson. (2008). Home vineyard in northern Nevada.www.ag.unr.edu/Cramer/Nevada%20home%20article%20PDF%20.pdf
Brown G.R, D.E Wolfe, J. Strang, T. Jones, R. Bessin, J. Hartman. (1997). Growing grapes in Kentucky. www.ca.uky.edu/agc/pubs/id/id126/id126.pdf
Brenes, C. H. (2002). A training manual for trainers : Improving the safety and quzlity of fruits and vegetables section III good manufacturing practices for handling, packing, storage and transportation of fresh produce. http://www.jifsan.umd.edu/pdf/gaps_en/III_Good_Manufacturing_Pra.pdf
Byers, P.L, John D.A, Susanne F.H, Martin L.K, Laszlo G.K, James F Moore Jr, Marlyn B. O, Wenping Qiu, Jose L. S, Suzanne R. T, Howard G. T, Daniel R.W. (2003). Growing grapes in Missouri. Missouri State university. http://mtngrv.missouristate.edu/
Brady, P. L and J. R Morris. (2009). Good agricultural and handling praactices for grapes and other fresh produce. University of Arkansas Division of Agriculture Arkansas Agricultural Experiment Station Fayetteville. http://arkansasagnews.uark.edu/1356.htm
Bordelon, B.P (2001). Growing grapes in Indiana. http://www.agcom.purdue.edu.AgCom/Pubs/menu.htm
Changchui, H. (2005). FAO-THAILAND Joint Workshop on Good Agricultural Practices (GAP) for Fresh Fruit and Vegetables in Thailand . www.fao.org/world/regional/rap/speeches/2005/20050914.html
Cahyono, B. (2000). Food Safety dan Implementasi Quality System Industri Pangan di Era Pasar Bebas. Bappenas, Jakarta.
Combs S. (2001). Texas wine grape guide. Texas Department of Agriculture. www.nashwoodwinery.com/grapeguide.pdf
Cline. William O. (2005). Crop profile for grapes in North Carolina. www.ipmcenters.org/cropprofiles/docs/ncgrapes.html
Dale Lea, J. (2006). Final report Grape project: Grape revitalization for Afganishtan productivity and empowerment (GRAPE). www.rootsofpeace.org/.../ROP_Grape_Marketing_Final_Report_2005.pdf
Departemen Pertanian. (2004). Buletin Teknopro Hortikultura : Anggur.
FFTC. (2003). Soil and water conservation and management, vegetables: Water management for citrus orchad. and fruits. www.agnet.org/library/bc/52005/bc52005.pdf
Fiola, J.A. (1997). Table grapes- potensial for Maryland. www.westernmaryland.umd.edu/Pages/table grape fiola mod.pdf
Goulart B and Mark Chie. (2008). Backyard grape growing. http//:winegrape.ag.psu.edu
Hamman, R.A. Jr, Steven D Savage, Harold J. Larsen. (1998). The Colorado grape growers’ guide. Colorado State University. www.ext.colostate.edu/pubs/garden/550a.pdf
Helman E dan Jim Kamas. (2007). Texas cooperative extention : Vineyard site assessment ; Grape growing. www.winegrapes.tamu.edu/grow/grapegrowing.html
Istianto M. (2009). Tinjauan penerapan GAP pada budidaya tanaman buah. Balai Penelitian Tanaman Buah Tropik, Solok – Sumatra barat.
Kitinoja L dan Alder A. Kader (2003). Praktik-praktik penanganan pascapanen skala kecil: Manual untuk Produk Hortikultura (Edisi ke 4). Universtas Udayana Bali.
Matsuda, T. (2007). GAP as a Baseline, Traceability As a Pipeline to Build Consumer Confidence. www.agnet.org/library/bc/54001/bc54001.pdf
Moulton J. A dan J. King. (2005). Growing Wine Grapes in Maritime Western Washington. http//:cru.cahe.wsu.edu/CEPublications/eb2001/eb2001.pdf
Parker R, Douglas W, Gary G, Robert S, Catherine D, Ekaterini R. (2009). 2009 Pest management guide for grapes in Washington. Washington State University. http://cru.cahe.wsu.edu/CEPublications/eb0762/eb0762.pdf
UNCTAD. (2007). Safety and quality of fresh fruit and vegetables: a training manual for trainers. United Nation, New York.
Pada abad 21 dunia pertanian dan budidaya tanaman akan menemukan tiga tantangan yaitu:
• Memperbaiki ketahanan pangan, mata pencaharian di daerah dan peningkatan pendapatan
• Meningkatkan kepuasan dan variasi permintaan untuk makanan yang aman/keamanan pangan dan produk lainya
• Menjaga dan melindungi sumber alami
FAO yakin bahwa GAP berpotensi membantu mengadaptasi perubahan ini. Di Thailand penerapan GAP pada produk buah dan sayuran segar telah dilaksanakan beberapa tahun ini dan menjadi prioritas menteri pertanian. Hasilnya sangat signifikan dimana produk pertanian baik buah maupun sayuran Thailand mampu menembus pasar dunia sehingga tidak mengherankan apabila GAP akhir-akhir ini dipromosikan dan digunakan di berbagai belahan dunia. (Changchui, H. 2005).
Di Indonesia sendiri sudah saatnya antisipasi akan quality system yang konsisten dan keamanan pangan terutama di industri pangan dicermati dan diimplementasikan di era pasar bebas ini. Kebijakan mutu akan kepentingan keamanan dan konsistensi quality system dari pemerintah: aplikasi scientific theory dari para scientist; dan implementasi oleh para pelaku bisnis perlu dijalani secara terpadu melalui teknik-teknik: (1) GAP (Good Agriculture Practice)/GFP (Good Farming Practice); (2) GHP (Good Handling Practice); (3) GMP (Good Manufacturing Practice) & GLP (Good Laboratory Practice); (4) GDP (Good Distribution Practice); dan (5) GRP (Good Retailing Practice). Pemahaman dan persamaan persepsi akan kepentingan serta sertifikasi ISO 9000 – 9002–9005; ISO-25 dan HACCP sudah sangat-sangat diperlukan agar industri pangan Indonesia mampu bersaing dengan industri pangan luar negeri (Cahyono, 2000).
Jika harga suatu produk tergantung pada keamanannya, maka akan membuat para petani/pengusaha mendukung sistim keamanan ini. Selain itu, pada pihak konsumen hal ini juga menandakan bahwa tanggapan konsumen mengenai keamanan pangan mulai kritis. Karena konsumen yang kritis adalah jika konsumen menilai keamanan pangan mulai dari penanamannya, kemudian lingkungannya (Matsuda, 2007).
B. Tujuan
Penulisan papper ini bertujuan untuk memahami lebih dalam informasi dan penerapan Good Agricultural Practices dan Good Handling Practices (GAP dan GHP) produk segar khususnya anggur.
I. GOOD AGRICULTURAL PRACTICES (GAP)
GAP/SOP adalah panduan umum dalam melaksanakan budidaya tanaman buah, sayur, biofarmaka, dan tanaman hias secara benar dan tepat, sehingga diperoleh produktivitas tinggi, mutu produk yang baik, keuntungan optimum, ramah lingkungan dan memperhatikan aspek keamanan, keselamatan dan kesejahteraan petani, serta usaha produksi yang berkelanjutan. Sedangkan tujuan dari penerapan GAP/SOP diantaranya; (1) Meningkatkan produksi dan produktivitas, (2) Meningkatkan mutu hasil termasuk keamanan konsumsi, (3) Meningkatkan efisiensi produksi dan daya saing, (4) Memperbaiki efisiensi penggunaan sumberdaya alam, (5) Mempertahankan kesuburan lahan, kelestarian lingkungan dan sistem produksi yang berkelanjutan, (6) Mendorong petani dan kelompok tani untuk memiliki sikap mental yang bertanggung jawab terhadap kesehatan dan keamanan diri dan lingkungan, (7) Meningkatkan peluang penerimaan oleh pasar internasional, dan (8) Memberi jaminan keamanan terhadap konsumen. Sedangkan sasaran yang akan dicapai adalah terwujudnya keamanan pangan, jaminan mutu, usaha agribisnis hortikultura berkelanjutan dan peningkatan daya saing (Anonim,2008).
Penerapan GAP melalui Standar Operasional Prosedur (SOP) yang spesifik lokasi, spesifik komoditas dan spesifik sasaran pasarnya, dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan petani agar memenuhi kebutuhan konsumen dan memiliki daya saing tinggi dibandingkan dengan produk padanannya dari luar negeri. Dasar hukum penerapan GAP di Indonesia adalah Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 61/Permentan/OT.160/11/2006, tanggal 28 November 2006 untuk komoditi buah, sedangkan untuk komoditas sayuran masih dalam proses penerbitan menjadi Permentan. Dengan demikian penerapan GAP oleh pelaku usaha mendapat dukungan legal dari pemerintah pusat maupun daerah (Anonim, 2008).
Penerapan strategi dasar HACCP pada Good Agricultural Practice (GAP) pada lahan pertanian meliputi panduan umum yang terdiri dari :
• program perawatan peralatan
• program sanitasi termasuk pada fasilitas pengepakan
• pembersihan akhir musim tanam
• tempat penyucian dan pengepakan
• pelatihan bagi para karyawan
• program penangan hama dan penyakit
• program perawatan gudang
• transportasi
• dan pengambilan sampel mikrobia
II. GOOD AGRICULTURAL PRACTICES (GAP) DAN GOOD HANDLING PRACTICES (GHP) PRODUK ANGGUR
Anggur merupakan tanaman buah berupa perdu yang merambat. Anggur berasal dari Armenia, tetapi budidaya anggur sudah dikembangkan sejak 4000 SM di Timur tengah. Sedangkan teknologi pengolahan anggur bau dikembangkan oleh orang Mesir pada 2500 SM (Deptan, 2004).
Anggur dapat tumbuh dengan baik pada kisaran range pH antara 5-6. Pemberian kalsium dioksida dilakukan jika pH tanah lebih dari 6. Jika pH mencapai 7, berarti tanah kekurangan mangaan. Dolomatic lime mensuplai magnesium sehingga dapat menurunkan nilai potassium jika potassium terlalu tinggi (Brown et.al, 1997). Akan tetapi di daerah utara Nevada tanaman anggur dapat tumbuh pada pH tanah diatas 7,5 dan minim material organic, di Perancis selatan tanah banyak mengandung kalsium. Hal ini menunjukan bahwa anggur dapat dibudidayakan dibanyak medan, yang perlu diperhatikan adalah pengelolaan tanah yang tepat untuk mendapatkan pH yang diinginkan, material organic yang cukup dan pengairan yang baik (Allen et.al, 2008).
Bahaya pada Produk Segar
Bahaya adalah sesuatu yang dapat menyebabkan kerugian terhadap konsumen. Ada 3 tipe bahaya pada produk buah dan sayur segar (Brady dan Morris, 2009):
• Bahaya biologi diakibatkan oleh aktifitas mikroorganisme seperti bakteri, virus dan parasit lain seperti jamur yang memproduksi racun. Mikroorganisme dapat mengkontaminasi produk setiap saat mulai dari lading sampai siap makan.
• Bahaya kimia muncul dari kontaminasi produk dengan bahan kimia yang merugikan atau yang berpotensi menyebabkan kerugian. Bahaya ini mungkin terjadi secara alami, namun juga bisa diakibatkan selama proses produksi pertanian dengan penggunaan tambahan bahan kimia selama penanganan dan sampai penyimpanan.
• Bahaya fisik adalah bahan yang tidak diinginkan pada produk, bisa berupa batu, ranting dan material lainya yang diperoleh selama pemanenan. Benda asing seperti bagian material pengemasan; staples, potongan logam dan sebagainya.
Istianto (2009) menambahkan Good Agricultural Practices (GAP) merupakan suatu program untuk menghasilkan produk pertanian, termasuk buah, yang aman bagi konsumen. Fokus dari program ini terutama untuk mengurangi resiko kontaminasi mikroba berbahaya dan pestisida. Secara garis besar GAP dirancang untuk :
• Meminimalkan mikroba berbahaya pada produk pangan,
• Meminimalkan atau mengeliminasi praktek-praktek yang merusak lingkungan,
• Melindungi kesehatan pekerja,
• Pendidikan konsumen,
• Mempromosikan keamanan pangan.
Prinsip utama dalam budidaya anggur dan produk yang lain adalah mencegah kontaminasi lebih efektif dibanding harus mengkoreksi atau memperbaiki produk setelah terkontaminasi. Dari gambaran tersebut GAP didefinisikan juga sebagai pedoman ilmu dasar untuk mengurangi atau menghilangkan kontaminasi mikroba pada produk segar di lahan pertanian sampai dalam bentuk kemasan di rumah. Aplikasi pedoman ini di lakukan untuk mengurangi bahaya lain dan meminimalisir bahaya keamanan pangan.
Pemilihan Lahan
Pemilihan lahan yang tepat merupakan tahap kritis dalam mendirikan perkebunan anggur yang produktif. Ini adalah tahap pertama jaminan keamanan produk. Penggunaan lahan sebelum dan saat digunakan untuk lahan produksi serta lingkungan `sekitar lahan berpotensi mengandung bahaya dan dapat mempengaruhi pertumbuhan anggur. Lahan pertanian yang sebelumnya sering digunakan untuk aktivitas penanaman lain seperti gandum mungkin telah terkontaminasi oleh penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme atau bahan kimia beracun. Lahan yang pernah digunakan sebagai peternakan mungkin mengandung penyakit yang diakibatkan oleh microorganism dari hewan.
Lahan yang digunakan untuk menanam anggur harus mempunyai suplai air yang bagus dan terpapar dibawah sinar matahari langsung dan setidaknya mengandung mineral-mineral tertentu sebagai nutrisi dalam pertumbuhan baik selama pembenihan maupun pembesarannya seperti pada table 1 berikut :
(sumber : Moulton & King, 2005).
GAP Air
Air merupakan komponen dasar dalam jaringan sel tumbuhan. Oleh karena itu air dapat mengontrol pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dibudidayakan. Kebanyakan air diperoleh dari absorpsi tanaman dari tanah yang secara tidak langsung juga mengandung nutrient yang dibutuhkan dalam pertumbuhan. Suplai air selama tahap pertumbuhan mempengaruhi perkembangan tanaman , kualitas buah dan hasil yang diperoleh (FFTC, 2003).
Air digunakan dalam berbagai aktivitas pertanian termasuk irigasi, pestisida dan aktifitas pemupukan, pendinginan dan pencegahan pembekuan. Mikroorganisme menggunakan air sebagai media untuk beraktivitas dan mengkontaminasi produk sayur maupun buah segar. Besarnya bahaya yang dihasilkan tergantung kualitas air, jenis dan jumlah mikroorganisme dalam air serta kemampuan untuk survive didalam produk. Mouton & King (2005) menambahkan bahwa tanaman anggur tidak mentolerir adanya irigasi yang rusak parah untuk waktu yang lama. Oleh karena itu pengecekan yang detail terhadap lahan yang akan dipakai untuk budidaya anggur mutlak diperlukan. Sedangkan Hamman et al. (1998) berpendapat bahwa hasil panen anggur dan kualitasnya tergantung pada iklim, tanah dan praktek manajemen berbudidaya seperti irigasi. Manajemen irigasi yang jelek membuat stress pada tanaman sehingga berpengaruh pada hasil dan kualitas buah.
Jika ketersediaan dan aliran irigasi yang digunakan pada kebun anggur terbatas, aktivitas pertanian lain dapat beresiko menimbulkan kontaminasi terhadap buah. Petani dapat mengidentifiksi sumber air pertanian dan memparkan kemungkinan terkena kontaminasi. Sumber air pertanian termasuk air permukaan seperti sungai, selokan, parit, dank kanal terbuka ; kolam, tambak, penampungan dan danau; air tanah/sumur, dan penggunaan perairan umum. Secara umum air tanah lebih rendah kemungkinan kontaminasinya dibanding air permukaan selama air permukaan terpapar dan mengalir, maka kemungkinan kontaminasi besar. Sumber kontaminasi potensial dari air permukaan termasuk limbah peternakan, pemupukan lahan, aktivitas industry dan wilayah padat penduduk. Meskipun demikian sebagian petani menggunakan sumber air ini karena petani sadar bahwa potensial masalah di hulu dan sangat mungkin kontaminasi dapat diminimalisir. Limbah manusia dan hewan merupakan sumber penting kontaminasi air pertanian. Keberadaan coliform bacteria merupakan indicator adanya pencemaran. Tingkat kontaminasi maksimal coliform untuk air minum adalah nol. Meskipun tidak ada definisi standar air untuk pertanian, namun GAP mensyaratkan penggunaan air yang dapat diminum untuk air pertanian.
Selain bahaya mikroba, air juga mengandung kontaminan dari bahan kimia. Bahaya kimia mungkin diperoleh dari air melewati tanah yang mengandung bahan kimia pada level tinggi. Penggunaan pestisida, herbisida dan pemupukan juga berpotensi terhadap bahaya kontaminasi kimia terhadap buah maupun sayuran yang ditanam. Air yang digunakan untuk pestisidan dan pemupukan merupakan sumber kontaminan produk. Hanya air yang kualitasnya bagus yang digunakan untuk penanaman ataupun pemrosesan (Brady & Morris, 2009)
Helman (2007) menambahkan bahwa kualitas air terutama berkaitan dengan salinitas terutama dengan jumlah garam terlarutnya. Keberadaan air sumur dapat diuji kualitas nya melalui pengujian yang menggambarkan apakah air tersebut cocok untuk produksi anggur atau tidak. Adanya Klorin dan boron pada air irigasi akan terakumulasi di daun, dan tingginya sodium pada air irigasi akan mengurangi permeabilitas tanah. Garam akan terakumulasi di tanah dan dapat mengurangi produksi anggur.
GAP Hewan
Semua hewan berpotensi menjadi sumber kontaminan untuk produk selama hewan membawa mikroba pada tubuhnya. Sebagai catatan, mereka selalu kontak dengan tanah, kotoran, dan air dimana mereka dapat tambahan kontaminan. Anggur dan produk lainya mungkin terkontaminasi oleh kotoran hewan ketika peternakan berdekatan dengan kebun anggur atau berada dilingkungan perkebunan. Kotoran hewan peliharaan seperti anjing dan kucing di kebun anggur atau tempat budidaya dapa meningkatkan kontaminasi terhadap produk. Demikian juga dengan banyaknya burung dan hewan liar lain merupakan sumber kontaminan pada lahan budidaya.
Serangga dan hewan pengerat biasanya banyak ditemukan di area produksi dan penanganan yang mungkin membawa mikroorganisme yang dapat mengkontaminasi produk. Hama juga merusak material pengemasan , material lain dan bahkan bangunan. Oleh karenanya perlu adanya program pengendalian terhadap hama salah satunya dengan menjalankan praktek yang baik dan bersih (Brady & Morris , 2009).
Serangga yang biasanya mengangu tanaman anggur adalah Grape mealybug yang merupakan vector dari virus penyebab kerusakan pada tanaman anggur, kemudian leafhoppers yang memakan dan masih banak serangga lain seperti black vine weevil, cottony maple scale, black rust mite serta cutworms yang merusak tanaan anggur (Parker et.al , 2009).
Gambar 1. Ternak merupakan salah satu sumber kontaminan
(sumber: Brady & Morris,2009)
Manajemen Perkebunan anggur
Pemangkasan
Pemangkasan merupakan tahapan yang sangat penting dalam manajemen budidaya anggur. Pemangkasan ini dilakukan untuk memilih batang yang berbuah, menjaga bentuk tanaman dan mengatur tunas yang tumbuh. Pemangkasan dapat dilakukan setiap saat selama masa dormansi, meskipun demikian waktu terbaik pemangkasan adalah sampai akhir musim dingin atau awal musim semi (Bordelon, 2001).
Goulart (2008) menambahkan, pemangkasan dilakukan pada musim dingin saat tanaman anggur sedang dorman, biasanya sekitar bulan Desember sampai Maret. Pemangkasan mempengaruhi jumlah tunas yang terbentuk dan hasil panen, karenanya proses ini sangat penting untuk ddilakukan pada praktek budidaya tanaman anggur.
Manajemen Penyakit
Menurut Bordelon (2001) pengendalian terhadap penyakit dibutuhkan untuk menjaga kesehatan daun dan melindungi buah. Kebanyakan penyakit pada anggur disebabkan oleh jamur karena kondisi yang lembab, sehingga seringkali diatasi dengan fungisida. Parker et al. (2001) menambahkan, selain jamur, bakteri, virus dan nematode juga merupakan penyebab penyakit yang umum ditemukan pada anggur.
Brown (1997) menambahkan bahwa fungisida tidak dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan penyakit anggur karena jamur, karena fungisida sifatnya hanya mencegah penyakit akibat infeksi. Sebelum menentukan fungisida yang akan dipakai untuk mengontol penyakit pada anggur, harus diidentifikasi terlebih dahulu jenis penyakitnya. Penyakit yang menyerang anggur diantaranay black rot yang disebabkan jamur Guignordia bidwelli, phomopsis batang dan spot pada daun karena jamur Phomopsis viticola, powder mildew karena jamur Uncinula necator, downy mildew karena jamur Plasmopora viticola dan masih bayak lagi. Pemberian fungisida sebagai langkah pengobatan harus benar-benar tepat sesuai jamur penyakit yang menyerang. Selain penyakit akibat jamur, serangga juga merupakan salah satu peyebab kerusakan pada tanaman anggur. Penyakit akibat serangga biasanya menyerang daun maupun akar tanaman.
Pengendalian rumput liar
Pada perkebunan anggur, pengendalian rumput liar sangatlah penting, karena rumput merupakan competitor tanaman anggur dalam memperoleh nutrisi dan air dari tanah. Tingginya tingkat kompetisi pada tahun pertama dan kedua penanaman berpengaruh besar pada pertumbuhan anggur yang dapat menyebabkan kegagalan dalam budidaya anggur. Untuk tanaman anggur yang sudah dewasa, pengendalian rumput liar ini sangat penting karena pada masa ini tanaman anggur sedang berkembang dengan cepat untuk membentuk kanopi dan berfotosintesis secara maksimal supaya berbunga dan berbuah dengan baik. Pengendalian rumput liar ini dapat dilakukan satu atau dua kali musim tanam sebelum ditanami anggur. Rumput liar yang mempunyai akar serabut seringkali susah dikendalikan dan membutuhkan perlakuan tambahan seperti pemakaian herbisida yang dapat memusnahkan umput liar (Byers, et. Al, 2003).
Pengendalian burung
Burung dapat menjadi penyebab serius kerusakan produk khususnya anggur yang kecil dan blackberry. Burung akan memakan anggur ketika kadar gula mencapai 11-12%. Control akan menjadi sangat sulit ketika burung telah mulai memakan anggur. Oleh karena itu sangatlah penting mengendalikan burung sebelum burung memakan anggur. Pengunaan jaring menjadi efektif untuk mengantisipasi datangnya burung-burung pemangsa ini (Brown, et al. , 1997).
Gambar 2. Jaring pelindung dari bahaya burung pemakan anggur
(sumber: Moulton & King 2001)
Kesehatan dan Keselamatan Pekerja adalah GAP
Pekerja kebun secara langsung berhubungan dengan produk khususnya pada anggur. Pada beberapa kasus, orang terakhir yang kontak dengan produk adalah konsumen. Setiap pekerja menyentuh produk dan dapat mentransfer lewat permukaan produk hingga sampai ke konsumen. Program pelatihan dapat memberi pengetahuan pekerja untuk mengikuti prosedur sanitasi guna melindungi dan menjamin produk.
Semua pekerja dapat dengan mantap dan tepat melaksanakan prosedur sanitasi hygiene baik petani, supervisor maupun pimpinan. Tenaga kerja harus diberikan fasilitas sanitasi yang memadai, dekat dengan ladang atau kebun anggur tapi harus ditempatkan dengan baik sehingga tidak menimbulkan resiko kontaminasi dengan air, tanah maupun buahnya. Fasilitas sanitasi harus dipelihara dengan persediaan sabun dan tisu. Tenaga kerja dianjurkan untuk melapor jika sakit kepada supervisor sebelum mulai kerja. Hal ini dapat dipahami bahwa pekerja yamg sakit seperti diare, demam akibat infeksi tidak diperbolehkan kontak langsung dengan produk segar maupun menangani peralatan (Brady & Morris, 2009).
.
Gambar 3. Pekerja kebun anggur (sumber: Brady & Morris,2009)
Good Handling Practices (GHPs) adalah kritis untuk menjamin keamanan anggur
Upaya untuk menjamin keamanan tidak pernah berhenti pada saat anggur baru berbuah maupun setelah dipanen. Faktanya, penelitian menunjukan bahwa proses pengemasan yang merupakan salah satu rantai dari ladang ke meja makan pada produk segar mempunyai resiko tertinggi untuk kontaminasi. GHPs merupakan prosedur sanitasi untuk distribusi buah dan sayuran dari ladang hingga ke meja makan. Penerapan GHPs dapat membantu mengurangi resiko kontaminasi terhadap produk segar selama penanganan, pengemasan, penyimpanan dan transportasi.
Pemanenan dan penanganan
Pemanenan yang optimal untuk anggur tergantung pada tanaman, kondisi alam pada saat musim tanam, dan untuk apa buah yang akan dipanen. Waktu pemanenan dapat bervariasi dari tahun ke tahun tergantung kondisi lingkungannya. Parameter pemanenan anggur diantaranya adalah warna, rasa, aroma, serta rasio kadar gula dan keasaman dimana rasionya 15:1 atau lebih. Anggur yang dijual segar biasanya dipanen dengan menggunakan tangan, diikat kemudian diletakan dalam wadah. Sedangkan anggur untuk diolah biasanya dipanen menggunakan mesin. Pemanenan bisa dilakukan satu atau dua kali seminggu dan dilakukan sebelum jam 11 siang. Bahkan untuk pemanenan menggunkan mesin bisa dilakukan malam hari (Byers, et al., 2003).
Kontaminasi terhadap produk segar termasuk anggur dapat dipengaruhi selama pemanenan. Sumber kontaminan pada tahap ini diantaranya kontak dengan pekerja, kontamianan dengan lingkungan seperti tanah, air dan udara serta tidak bersihya peralatan. Peralatan pemanenan seperti mesin, pisau, wadah, keranjang, ember, dapat dibersihkan dan disanitasi sebelum digunakan. Wadah dan bahan pengemasan dapat ditangani dengan hati-hati agar selalu bersih dan dan bebas kotoran dan kontaminan (Brady dan Morris, 2009).
Menurut Brenes (2002) pada proses pencucian produk segar, baik buah maupun sayuran ada 4 tahapan yang harus diperhatikan :
1. Menghilangkan tanah dari permukaan produk dengan dry cleaning
2. Mencuci dengan mengunakan air untuk menghilangkan kototran
3. Mencuci dengan menggunakan sanitizer/sanitizing agent (halogen, komponen ionic, oksigen aktif, teknologi baru)
4. Pencucian terakhir
Gambar 4. Pemanenan anggur dengan mesin (sumber: Comb, 2001)
Kesehatan pekerja dan Higiene
Menurut Brady dan Morris (2009), pekerja yang memetik, memroses maupun mengemas produk dapat mengkontaminasi ke produk melalui sentuhan tangan, baju, atau batuk, pilek, atau pendarahan. Pelatihan pekerja tentang penanganan produk seperti bagaimana cara mencuci tangan dan pentingnya sanitasi yang baik pada setiap aktivitas sangatlah penting untuk keamanan produk dan kualitas. Pekerja yang sakit sebaiknya tidak diperkenankan bersentuhan dengan produk maupun peralatan. Anggur merupakan produk yang unik karena hanya membutuhkan sedikit air untuk penanganan setelah pemanenan. Karena pemberian air setelah proses pemanenan dapat secara nyata menjadi sumber kontaminan bagi produk, sehingga sangat penting memperhatikan air yang digunakan dalam penanganan pasca panen buah maupun sayuran karena dapat memberi kontribusi pada terjadinya kontaminasi.
Air yang digunakan untuk penanganan pasca panen harus menggunakan air bebas mikroba penyebab penyakit. Oleh karena itu penggunaan air untuk semua proses menggunakan air yang dapat diminum. Karena air yang terkena kontaminan dapat mengkontaminasi produk, semua alat yang terkena air harus dibersihkan dengan sanitaizer untuk mencegah kontaminasi dari air. Air yang digunakan dalam penanganan produk harus diganti untuk menjaga kondisi kebersihan. Mikroorganisme pada buah dapat terakumulasi pada saat pencucian buah. Memelihara kualitas air untuk penanganan pasca panen biasa menggunakan tambahan sanitizer berupa klorine, baik berupa sodium atau calcium hipoklorite, dan klorine cair. Jika klorine dipakai sebagai sanitizer untuk sayur dan buah, perlu dipantau konsentrasi klorin bebas dalam air untuk mengetahui secara pasti limbah klorine dalam air (Brady dan Morris, 2009).
Pendinginan
Pengaturan temperatur yang baik merupakan langkah kritis GHPs dalam mempertahankan kualitaas produk. Peningkatan temperatur mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme yang mungkin ada dalam produk. Pengendalian temperatur pada anggur dimulai saat pemanenan. Secara umum pemanenan anggur direkomendasikan dilakukan malam hari atau pagi-pagi sekali pada saat temperatur udara rendah. Setelah dipanen produk harus selalu dalam kondisi dingin selama dipindahkan dari kebun (Brady dan Morris, 2009).
UNCTAD (2007) menambahkan, sebagai produk yang mudah rusak, buah maupun sayuran sangat sensitive terhadap temperature yang tinggi. Konsekuensinya pada temperature panas tertentu dapat mempengaruhi umur simpan dan kesegaran produk. Untuk mempertahankan kesegaran produk perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
• Meminimalisasi kontak produk dengan temperature tinggi dan sinar matahari, karenanya pemanenan dilakukan pagi atau malam hari;
• Setelah dipanen, produk diletakan ditempat terlindung dengan sirkulasi udara
Mencuci produk
Mencuci dan pemberian sanitizer terhadap buah maupun sayuran merupakan metode untuk mengurangi kemungkinan kontaminasi. Bagaimanapun, beberapa komoditi yang banyak mengandung air seperti strawberry, beri beri lainnya, dan anggur, apabila dicuci sebelum penyimpanan secara nyata mengurangi umur simpan. Untuk produk produk ini, udara adalah metode terbaik untuk membersihkan debu dan kotoran. Untuk komoditi ini, pencegahan kontaminasi adalah cara terbaik untuk mengontrol mikroba.
Buah dan sayuran yang mempunyai struktur yang dapat mentolerasi air sehingga harus dicuci untuk mengurangi mikroorganisme pada produk dan menurunkan resiko penyakit yang disebabkan oleh makanan yang berkaitan dengan produk tersebut. Mengurangi jumlah organism juga membantu mengurangi pembusukan, memperbaiki penampilan dan meningkatkan nilai nutrisi. Air yang digunakan untuk mencuci harus air yang bebas dari mikroba yang dapat menyebabkan penyakit. Pencucian untuk membersihkan permukaan yang kotor dapat dilakukan dengan air murni atau air yang mengandung detergent yang aman untuk produk makanan atau garam permanganate.
Peralatan yang digunakan untuk mencuci produk harus diseleksi berdasarkan sesuai karateristik produk. Produk yang lunak biasanya dicuci denga menggunakan air semprotandan produk bergerak sepanjang konveyor. Buah buahan dan sayuran yang lebih kuat dapat dicuci di alat pemutar. Umbi umbian biasanya dicuci dengan sikat pencuci yang mempunyai sikat silinder yang berputar (Brady dan Morris, 2009)..
Gambar 5. Berbagai jenis buah anggur (sumber: Moulton & King, 2005)
Setelah produk dibersihkan, biasanya diikuti dengan langkah sanitasi yang pada umumnya menggunakan bahan kimia. Sanitasi berarti perawatan dengan membersihkan produk untuk menghancurkan atau mengurangi jumlah mikroba. Tanpa mengurangi kualitas produk dan keselamatannya. Adalah sangat penting bahwa tahapan sanitasi di aplikasikan hanya pada produk yang sudah dicuci. Kotoran dapat mengganggu kemampuan bahan bahan sanitasi yang menurunkan jumlah mikroorganisme.
Brenes (2002) menambahkan, penghilangan pathogen pada produk sangat penting untuk mengurangi resiko sakit akibat makanan, mengurangi kebusukan, dan memperbaiki kenampakan dan nilai gizi. Pencucian dan sanitasi produk buah dan sayuran biasanya dilakukan untuk mengurangi kontaminan pada permukaan buah. Meskipun demikian penerapannya tergantung toleransi produk terhadap air. Umur simpan beberapa produk dapat berkurang setelah produk basah. Khususnya produk dengan kadar air tinggi seperti strawberi, dan anggur. Tahapan sanitasi secara umum meliputi pemberian agen kimia dan pencucian. Perlakuan sanitasi berarti proses membersihkan produk dengan menghancurkan atau mengurangi mikroorganisme yang dapat mengganggu kesehatan Pembersihan dan perlakuan produk dengan bahan sanitasi untuk mengurangi kontaminasi penting dilakukan , meskipun jika ada produk yang terkontaminasi oleh pathogen pada manusia tidak ada bahan sanitizer ataupun proses selain pemasakan yang dapat secara nyata menghilangkan pathogen. Inilah mengapa pencagahan kontaminasi pada awal sangat penting. Ada 4 tahap prosedur yang direkomendasikan untuk membersihkan buah dan sayuran yaitu;
• Buang tanah pada permukaan produk dengan pembersihan kering (disikat atau vakum)
• Gunakan air bersih untuk mencuci dan membuang kotoran
• Cuci dengan bahan sanitasi (agen kimia secara umum)
• Bilas
Mencuci produk dengan air klorin dapat mencegah pembusukan yang disebabkan oleh bakteri, kapang dan ragi pada permukaan buah. Kalsium hipoklorit (serbuk) dan sodium hipoklorit (cairan) adalah murah dan tersedia secara luas. Efektifitas perlakuan akan berkurang jika bahan organik dibiarkan bertambah di dalam air. Efectivitas klorin meningkat dengan berkurangnya pH dari 11 ke pH 8, tetapi pada pH lebih rendah klorin menjadi tidak stabil. Buah-buahan dan sayur-sayuran dapat dicuci dengan larutan hipoklorit (konsentrasi 25 ppm klorin tersedia selama 2 menit) kemudian dibilas dengan air bersih untuk membunuh bakteri pembusuk. Alternatif lainnya, komoditas-komoditas tersebut dapat dicelupkan dalam larutan hipoklorit (50-70 ppm klorin tersedia) kemudian dibilas dengan air kran bersih untuk mengendalikan bakteri, ragi dan kapang (Kitinoja dan Alder, 2003).
Pengepakan dan Penyimpanan
Fasilitas pengepakan dan penyimpanan bervariasi tergantung pada produk yang diproses dan ukuran kegiatannya. Karena anggur tidak dapat dibersihkan dengan menggunakan air, maka banyak petani yang lebih memilih untuk mengepak anggur diladang, hal ini juga mengeliminasi biaya ekstra akibat pemindahan anggur dari ladang ke rumah pengepakan. Pengepakan di ladang juga menjadi hal yang wajar bagi produk produk yang lain. Rumah pengepakan bisa berupa gudang kecil dekat ladang atau bangunan besar dengan banyak tempat pemprosesan dan penyimpanan. Dengan tidak menghiraukan besar kegiatan atau produk yang ditangani, GHPs sangat penting untuk menjaga fasilitas fisik dari menjadi sumber kontaminan dan untuk memastikan konsistensi kualitas produk (Brady dan Morris, 2009).
Untuk melindungi produk dari kontaminasi , digunakan wadah untuk menampung buah maupun sayuran yang dipanen agar selama transportasi dari kebun dan pengemasan atau penyimpanan produk tetap bersih. Fasilitas pengepakan merupakan good practices seperti kode warna atau label pada wadah digunakan selama transportasi produk sebelum dan sesudah pencucian dan harus dijaga denagn baik agar terhindar dari kontaminasi silang (Brenes, 2002).
Gambar 6. Proses pengemasan anggur di ROP Kandahar (sumber: Dale Lea, 2006)
Dimanapun pengepakan terjadi, baik di ladang ataupun di rumah pengepakan, seluruh peralatan yang digunakan untuk menangani produk yang baru dipanen harus di desain untuk mudah dibersihkan dan dijaga sebagaimana mestinya untuk menghindarkan dari kontaminasi. Apabila memungkinkan, seluruh peralatan dan petikemas/wadah yang mempunyai kontak langsung dengan produk dibuat dari bahan stainless steel atau plastik karena bahan tersebut mudah untuk dibersihkan dan di sanitasi, dan tidah mudah jatuh atau pecah. Seluruh peralatan harus ditempatkan sebagaimana sehingga dapat mudah untuk dibersihkan . bila tidak sedang digunakan, peralatan harus disimpan dengan baik agar tidak terkontaminasi. Bila produk harus dicuci, kode warna atau melabeli petikemas harus dilakukan untuk memisahkan produk yang sudah dicuci dan produk yang belum dicuci. Pemisahan produk yang sudah dan belum dicuci menjadi sangat penting untuk menghindari kontaminasai kembali produk produk yang bersih oleh produk yang belum dicuci.
Kotak pengemasan dan krat harus ditangani sedemikian rupa agar tidak pecah. Petikemas tidak boleh ditutup dengan paku atau staples karena hal tersebut dapat mengkontaminasi produk. Peralatan program pembersihan dan perawatan yang lengkap harus diadakan. Kerusakan pada peralatan harus segera dilaporkan segera mungkin sejak kerusakan tersebut terjadi. Sehingga dapat dilakukan tindakan yang diperlukan agar masalah kecil tidak menjadi besar (Brady dan Morris, 2009)..
Penyimpanan produk segar
Seluruh buah dan sayuran segar harus disimpan di tempat yang bersih menggunakan sistem yang teratur. Kode harus ditempatkan diatas kotak agar mudah mengidentifikasi dan memberikan informasi tentang pengepakan. Kode ini juga dapat membantu sebagai informasi yang menjamin produk selama peredaran dan penyimpanan. Sehingga jika ada permasalahan selama distribusi maupun pemasaran dapat segera di tangani.
Kemasan produk diletakan pada pallet sebagai alas untuk menghindarkan kontak langsung dengan lantai . Palet diberi jarak dari dinding dan antar palet sehingga ada aliran udara dan mempermudah dalam membersihkan dan pengecekan terhadap adanya serangga dan hewan pengerat. Bahan kimia, sampah, limbah atau bahan berbau tajam sebaiknya disimpan jauh dari produk buah dan sayuran segar. Dinding, lantai dan atap ruang penyimpanan harus dibersihkan secara rutin untuk menghindari kotor dan kontaminan lain. Tempat penyimpanan harus dapat dengan baik merekam pengaturan suhu dan kelembaban untuk mencegah pertumbuhan mikroba.
Menurut Fiola (1997) Umur simpan produk merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam produk anggur. Tempat penyimpanan produk anggur ini suhunya harus 320 F untuk menjaga kelembaban tetap tinggi sehingga dapat bertahan hingga dua minggu. Beberapa jenis anggur dapat bertahan dengan baik dibawah kondisi normal dan tetap terjaga kualitasnya hingga 3-4 minggu lamanya.
Transportasi
Penanganan buah dan sayuran selama transportasi merupakan tahapan kritis dalam keamanan buah dan sayuran. Buah dan sayuran pada umumnya di angkut menggunakan truk atau trailer yang berisi campuran berbagai produk yang memungkinkan adanya kontaminasi silang. Idealnya bak transporasi dibersihkan dari hama setelah digunakan untuk menghindari kontaminasi silang. Jika truk pengangkut sebelumnya digunakan mengangkut produk hewan seperti daging, telur, ikan atau bahan kimia maka truk wajib dibersihkan dan disucihamakan sebelum dipakai untuk mengangkut produk buah maupun sayuran segar(Brady & Morris, 2009).
Container untuk mengangkut buah harus dibersihkan dan disanitasi secara teratur sesuai prosedur yaitu dibersihkan menggunakan deterjen, dibilas, kemudian sanitasi dengan menggunakan sodium hipoklorit dengan tekanan tinggi. Wadah atau tempat buah yang telah dibersihkan diletakan dibawah matahari langsung karena dimungkinkan pengeringan cepat dan sinar UV dapat membantu membunuh pathogen .
Gambar 7. Distribusi angur dengan transportasi truk
(sumber: Brady & Morris, 2009)
III. PENUTUP
Brady dan Morris (2009) berpendapat bahwa petani dan pengusaha harus mempersiapkan diri untuk menyesuaikan praktek keamanan tambahan dalam setiap kegiatan dengan konsekuensi membutuhkan anggaran yang sangat besar namun nantinya diperoleh keuntungan yang besar pula. Biaya yang dibutuhkan antara lain untuk:
• Investasi untuk fasilitas air yang aman
• Pelatihan pekerja
• Meng upgrade dokumen untuk prosedur verifikasi
• Kemungkinan untuk dilaksanakannya audit untuk mem verifikasi pelaksanaan GAP selama produksi dan GHPs selama penanganan.
Keuntungan yang dapat diperoleh dari penerapan praktek keamanan pangan ini diantaranya:
• Harga yang tinggi untuk produk yang berkualitas
• Mengurangi resiko keamanan pangan
• Terhindar dari kerugian besar akibat penjualan, rusaknya reputasi, dan jerat hukum yang mungkin terjadi jika ditemukan produk terkontaminasi.
Anonim (2009) menambahkan bahwa untuk mempercepat penerapan GAP/SOP khususnya di Indonesia harus dilakukan hal-hal sebagai berikut : (1) Mendorong terwujudnya Supply Chain Management (SCM), (2) Merubah paradigma pola produksi menjadi market driven, (3) Mendorong peran supermarket, retailer, supplier, dan eksportir untuk mempersyaratkan mutu dan jaminan keamanan pangan pada produk, (4) Penyediaan tenaga pendamping penerapan GAP, (5) Melakukan sinkronisasi dengan program instansi terkait lainnya, (6) Perumusan program bersama instansi terkait lainnya dan melakukan promosi, (7) Target kuantitatif pencapaian kebun GAP tercantum dalam Renstra Departemen Pertanian, (8) Membentuk dan memberdayakan lembaga sertifikasi untuk melakukan sertifikasi kebun dan produk Prima dan (9) Mendorong sosialisasi mekanisme sistem sertifikasi dan perangkatnya.
Penyebab belum diterapkannya GAP berbagai negara adalah mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menerapkannya.. Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan tentu menjadi kendala besar untuk dapat diterapkan oleh para petani di Indonesia yang mayoritas masih berkutat dengan masalah kemiskinan dan lemah dalam SDM terutama dilihat dari tingkat pendidikan para petani di Indonesia. Penerapan GAP di Indonesia saat ini dioptimalkan untuk dilaksanakan oleh perusahaan agribisnis yang berskala besar dan berorientasi ekspor. Pemerintah sendiri telah membantu penerapan GAP tersebut dengan SOP khusus pada setiap komoditas pertanian yang hendak diusahakan, namun baru terbatas pada komoditas hortikultura. Pemerintah juga telah memberikan penghargaan kepada berbagai kebun buah yang telah menerapkan standar GAP melalui penghargaan kategori Prima 3, Prima 2 dan Prima 1 untuk merangsang penerapan GAP bagi kebun hortikultura buah (Anonim, 2009).
SUMBER PUSTAKA
Anonim. (2009). Peranan GAP dalam agribisnis di Indonesia. www.magri.undip.ac.id
Allen L, Grant Carmer dan Wendy Hanson. (2008). Home vineyard in northern Nevada.www.ag.unr.edu/Cramer/Nevada%20home%20article%20PDF%20.pdf
Brown G.R, D.E Wolfe, J. Strang, T. Jones, R. Bessin, J. Hartman. (1997). Growing grapes in Kentucky. www.ca.uky.edu/agc/pubs/id/id126/id126.pdf
Brenes, C. H. (2002). A training manual for trainers : Improving the safety and quzlity of fruits and vegetables section III good manufacturing practices for handling, packing, storage and transportation of fresh produce. http://www.jifsan.umd.edu/pdf/gaps_en/III_Good_Manufacturing_Pra.pdf
Byers, P.L, John D.A, Susanne F.H, Martin L.K, Laszlo G.K, James F Moore Jr, Marlyn B. O, Wenping Qiu, Jose L. S, Suzanne R. T, Howard G. T, Daniel R.W. (2003). Growing grapes in Missouri. Missouri State university. http://mtngrv.missouristate.edu/
Brady, P. L and J. R Morris. (2009). Good agricultural and handling praactices for grapes and other fresh produce. University of Arkansas Division of Agriculture Arkansas Agricultural Experiment Station Fayetteville. http://arkansasagnews.uark.edu/1356.htm
Bordelon, B.P (2001). Growing grapes in Indiana. http://www.agcom.purdue.edu.AgCom/Pubs/menu.htm
Changchui, H. (2005). FAO-THAILAND Joint Workshop on Good Agricultural Practices (GAP) for Fresh Fruit and Vegetables in Thailand . www.fao.org/world/regional/rap/speeches/2005/20050914.html
Cahyono, B. (2000). Food Safety dan Implementasi Quality System Industri Pangan di Era Pasar Bebas. Bappenas, Jakarta.
Combs S. (2001). Texas wine grape guide. Texas Department of Agriculture. www.nashwoodwinery.com/grapeguide.pdf
Cline. William O. (2005). Crop profile for grapes in North Carolina. www.ipmcenters.org/cropprofiles/docs/ncgrapes.html
Dale Lea, J. (2006). Final report Grape project: Grape revitalization for Afganishtan productivity and empowerment (GRAPE). www.rootsofpeace.org/.../ROP_Grape_Marketing_Final_Report_2005.pdf
Departemen Pertanian. (2004). Buletin Teknopro Hortikultura : Anggur.
FFTC. (2003). Soil and water conservation and management, vegetables: Water management for citrus orchad. and fruits. www.agnet.org/library/bc/52005/bc52005.pdf
Fiola, J.A. (1997). Table grapes- potensial for Maryland. www.westernmaryland.umd.edu/Pages/table grape fiola mod.pdf
Goulart B and Mark Chie. (2008). Backyard grape growing. http//:winegrape.ag.psu.edu
Hamman, R.A. Jr, Steven D Savage, Harold J. Larsen. (1998). The Colorado grape growers’ guide. Colorado State University. www.ext.colostate.edu/pubs/garden/550a.pdf
Helman E dan Jim Kamas. (2007). Texas cooperative extention : Vineyard site assessment ; Grape growing. www.winegrapes.tamu.edu/grow/grapegrowing.html
Istianto M. (2009). Tinjauan penerapan GAP pada budidaya tanaman buah. Balai Penelitian Tanaman Buah Tropik, Solok – Sumatra barat.
Kitinoja L dan Alder A. Kader (2003). Praktik-praktik penanganan pascapanen skala kecil: Manual untuk Produk Hortikultura (Edisi ke 4). Universtas Udayana Bali.
Matsuda, T. (2007). GAP as a Baseline, Traceability As a Pipeline to Build Consumer Confidence. www.agnet.org/library/bc/54001/bc54001.pdf
Moulton J. A dan J. King. (2005). Growing Wine Grapes in Maritime Western Washington. http//:cru.cahe.wsu.edu/CEPublications/eb2001/eb2001.pdf
Parker R, Douglas W, Gary G, Robert S, Catherine D, Ekaterini R. (2009). 2009 Pest management guide for grapes in Washington. Washington State University. http://cru.cahe.wsu.edu/CEPublications/eb0762/eb0762.pdf
UNCTAD. (2007). Safety and quality of fresh fruit and vegetables: a training manual for trainers. United Nation, New York.
Selasa, 01 Desember 2009
Pengalengan Ikan
Pengalengan
Kaleng diidefinisikan sebagai wadah berbentuk silinder yang memiliki bagian mulut terbuka,bahan dari kaleng adalah Tin Plate, Tin Plate adalah karbon steel sheet yang dilapisi timah murni yang berfungsi sebagai pelindung terhadap proses oksidasi sehingga terhindar dari karat.
Lapisan tersebut sangat tipis,sehingga goresan yang sangat lemah sekalpun dapat menghilangkannya. Tipisnya lapisan tersebut dapat dilihat dari table berikut ini:
Tabel 1. lapisan timah
Standard nomination gr/m²
25 2.79
50 5.59
75 8.40
100 11.20
Lapisan ini harus dijaga agar tidak terlepas karena gesekan maupun sentuhan selama proses penutupan baik dengan seaming roll, seaming chuck ataupun peralatan lain seperti turret,guide,dll
Kemasan kaleng adalah penting untuk keberhasilan dalam pengawetan pangan dengan pengalengan. Proses pengalengan tetap menjadi salah satu kunci yang dapat diandalkan untuk penyediaan bahan pangan yang sehat dan efektif. Kaleng secara umum tersusun atas beberapa lapisan, yaitu timah, campuran timah besi, baja dan enamel (Buckle et al., 1987).
Kemasan kaleng yang digunakan pada umumnya berupa bahan non metal seperti polibutadiena, epon, oleoresin, vinil, epoksi, dan fenolik dan pemilihannya disesuaikan dengan jenis pangan yang akan dikalengkan. Tujuh sifat yang harus dimiliki kemasan kaleng yaitu tidak beracun, tidak mempengaruhi cita rasa atau warna makanan, harus menjadi barier yang efektif antara makanan dengan permukaan dalam kaleng, harus mudah digunakan secara pabrikasi, tidak boleh terkelupas atau lecet selama pengalengan (sterilisasi pangan), dan ekonomis.
Menurut Muchtadi (1995), keuntungan utama penggunaan kaleng sebagai wadah bahan pangan adalah kaleng dapat menjaga bahan pangan di dalamnya, makanan di dalam wadah yang tertutup secara hermetis dapat dijaga terhadap kontaminasi oleh mikroba, serangga atau bahan asing lain yang mungkin dapat menyebabkan kebusukan atau penyimpangan penampakkan dan citarasa; kaleng dapat juga menjaga bahan pangan terhadap perubahan kadar air yang tidak diinginkan; kaleng dapat menjaga bahan pangan terhadap penyerapan oksigen, gas-gas lain atau bau-bauan dari partikel-partikel radioaktif yang terdapat di atmosfer; untuk beberapa bahan pangan berwarna yang peka terhadap reaksi fotokimia, kaleng dapat menjaga bahan tersebut dari cahaya.
Dari sudut perdagangan, keuntungan lainnya adalah kaleng dapat ditangani (handling), diisi, ditutup, dan dipak secara mekanis dengan kecepatan tinggi. kaleng dapat diperagakan secara menarik dan menguntungkan oleh pihak penjual; kaleng dapat disimpan dan digunakan dengan mudah oleh konsumen (Muchtadi,1995).
Menurut Winarno (1994), terdapat tiga jenis bahan yang digunakan dalam pembuatan kaleng yaitu Electrolyte Tin Plate (ETP), Tin Free Steel (TFS), dan Alumunium (Alum). ETP adalah suatu lembaran baja yang bagian permukaannya dilapisi timah putih secara elaktris. TFS adalah lapisan baja yang tidak dilapisi timah putih. Keunggulan TFS adalah lebih murah harganya karena tidak menggunakan timah putih dan lebih baik daya adhesinya terhadap bahan organik. Kelemahan TFS adalah lebih tinggi peluangnya untuk berkarat, sehingga jenis bahan ini harus diberi lapisan pada kedua belah permukaannya. Alumuniunm memiliki beberapa keunggulan diantaranya lebih ringan, lebih mudah dibentuk, termal konduktivitasnya baik, dan dapat didaur ulang. Kelemahan Alumunium adalah daya kekakuannya kurang baik, harga per satuannya lebih mahal, mudah berkarat sehingga harus diberi lapisan tambahan.
Menurut Suharwardji (2009), Ada tiga jenis bahan yang dipakai dalam proses pembuatan kaleng, yaitu :
1. Electrolyte tin plate (ETP)
2. Tin free steel (TFS) dan
3. Aluminium (Alum)
Elektrolite tin plate adalah suatu lembaran baja (base of steel) yang bagian permukaannya dilapisi timah putih (Tin) secara elektris. Sedangkan TFS adalah lapisan baja yang tidak dilapisi timah putih. Dari jenis lembaran TFS, yang paling banyak digunakan untuk pengalengan makanan adalah jenis Tin Free Steel Chrome Type (TFS-CT). Dalam pengertian teknis, TFS-CT merupakan lapisan baja yang dilapisi chromium secara elektris. Segera sesudah dilapisi chromium, terbentuklah lapisan chromium oksida pada seluruh permukaannya.
Jenis kedua tersebut memiliki beberapa keunggulan. Diantaranya adalah lebih murah harganya karena tidak menggunakan timah putih dan lebih baik daya adhesinya terhadap bahan organik. Sedangkan kelemahannya adalah lebih tinggi peluangnya untuk berkarat. Karena alasan tersebut, jenis bahan ini harus diberi lapisan pada kedua belah permukaannya.
Jenis ketiga aluminium (alum) memiliki beberapa keuntungan yaitu lebih ringan, mudah dibentuk, thermal konduktifitasnya bagus, dan dapat didaur-ulangkan. Tetapi kurang baik daya kekakuannya (rigidity) serta harga persatuannya relatif lebih mahal, mudah karatan dan karenanya harus diberi lapisan tambahan. Disamping itu, jenis kaleng tersebut tidak dapat disolder atau dilas tetapi kaleng tersebut dapat digunakan untuk jenis kaleng two-piece cans.
Dalam memiliki kaleng yang baik, maka bahan pelapis kaleng harus disesuaikan dengan bahan yang akan dikemas. Beberapa bahan pengemas kaleng dan bahan yang terkemas dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel. Bahan pelapis kaleng
Pelapis Bahan yang dikemas
Oleoresin Buah-buahan berwarna gelap, arbei, ceri, plum, sari buah, anggur, dan buah-buahan lainnya
Oleoresin + ZnO Jagung, kacang polong, kol, bunga kol, dan sayuran lain yang mengandung belerang
Enamel jenuh Sari buah jeruk dan konsentrat jeruk
Oleoresin dilapisi vinil Buah-buahan yang sangat korosif, sari buah yang berwarna merah, sari sayuran dan minuman yang tidak mengandung karbon
Vinil Bir, anggur, minuman, udang
Organosol Bir
Fenolik Sayuran
Fenolik + ZnO Produk yang mengandung sayur
Epoksi Fenolik Ikan, daging, produk sayuran dan buah-buahan
Epon Susu, telur, dan produk-produk susu
Epon + pasta alumunium Daging
Polibutadiena + vinil Bir dan minuman berkarbon
Keuntungan dan kekurangan bahan logam dan non logam
Logam Non logam
• Konduktor panas dan listrik yang baik
• Dapat ditempa atau dibengkokkan dalam keadaan padat
• Mempunyai kilap logam
• Tidak tembus pandang
• Densitas tinggi • Kondoktor yang buruk, isolator yang baik
• Rapuh tidak dapat ditempa
• Kilap non logam
• Beberapa jenis bersifat tembus pandang(trans luid)
• Densitas rendah
Spesifikasi kaleng di tentukan oleh dua kebutuhan yaitu:
a) Kebutuhan akan kekuatan yang dimiliki oleh wadah
b) Daya simpan yang dimiliki oleh produk dalam kaleng
Kebutuhan akan kekuatan kaleng perlu disesuaikan dengsn beberapa hal yaitu kecepatan jalur pengolahan, keadaan dan kondisi alat penutup kaleng, aliran uap air, kevakuman yang banyak mempengaruhi pendinginan dengan tekanan (pressure cooling), serta cara penanganan pasca proses (tinggi tumpukan, jenis karton). Sedangkan kebutuhan terdapat daya simpan isi kaleng ditentukan oleh daya korosif produk, lapisan timah putih atau tin free steel, sifat-sifat basic steel-nya, plate surface treament, dan jenis organic coating.
Spesifikasi kaleng yang digunakan pada proses pengalengan di UPT BPPTK LIPI Yogyakarta dapat dilihat pada tabel. berikut ini.
Tabel. Spesifikasi kaleng
Jenis Barang Kaleng bundar (can)
Warna Polos
Ukuran Ø 301 X 205
Design GL/AL; GL/AL (2 piece can), bottom end type press
Body Luar Gold lacquer, dalam aluminize laquer
Top Luar Gold lacquer, dalam aluminize laquer
Bottom Luar Gold lacquer, dalam aluminize laquer
For Meat, Fish, cream, vegetables
Capasity 180 - 220 ml
Kaleng diidentifikasikan dengan satuan ukuran diameter dan tinggi kaleng. Setiap dimensi diungkapkan dalam bentuk suatu perkalian dua nomor yang masing-masing terdiri dari tiga angka, angka pertama menunjukkan angka bulat dalam inci, sedangkan kedua angka berikutnya merupakan tambahan fraksi dari dimensi yang dinyatakan dalam suatu seperenam belas inci. Angka pertama yang dimiliki suatu ukuran kaleng menunjukkan diameter, sedang angka kedua menunjukkan tinggi kaleng. Sebagai contoh kaleng yang digunakan pada proses pengalengan mangut lele di UPT BPPTK LIPI Yogyakarta adalah kaleng dengan ukuran 301 x 205, berarti diameter kaleng 3 1/16 inci dan tingginya 2 5/16 inci. Dimensi yang dimaksud disini adalah panjang keseluruhan, untuk diameter yang diukur sampai bagian luar double seam, sedangkan tinggi diukur sampai bagian dari double seam dari setiap ujungnya. (1,0 inci = 25,40 mm).
Kaleng diidefinisikan sebagai wadah berbentuk silinder yang memiliki bagian mulut terbuka,bahan dari kaleng adalah Tin Plate, Tin Plate adalah karbon steel sheet yang dilapisi timah murni yang berfungsi sebagai pelindung terhadap proses oksidasi sehingga terhindar dari karat.
Lapisan tersebut sangat tipis,sehingga goresan yang sangat lemah sekalpun dapat menghilangkannya. Tipisnya lapisan tersebut dapat dilihat dari table berikut ini:
Tabel 1. lapisan timah
Standard nomination gr/m²
25 2.79
50 5.59
75 8.40
100 11.20
Lapisan ini harus dijaga agar tidak terlepas karena gesekan maupun sentuhan selama proses penutupan baik dengan seaming roll, seaming chuck ataupun peralatan lain seperti turret,guide,dll
Kemasan kaleng adalah penting untuk keberhasilan dalam pengawetan pangan dengan pengalengan. Proses pengalengan tetap menjadi salah satu kunci yang dapat diandalkan untuk penyediaan bahan pangan yang sehat dan efektif. Kaleng secara umum tersusun atas beberapa lapisan, yaitu timah, campuran timah besi, baja dan enamel (Buckle et al., 1987).
Kemasan kaleng yang digunakan pada umumnya berupa bahan non metal seperti polibutadiena, epon, oleoresin, vinil, epoksi, dan fenolik dan pemilihannya disesuaikan dengan jenis pangan yang akan dikalengkan. Tujuh sifat yang harus dimiliki kemasan kaleng yaitu tidak beracun, tidak mempengaruhi cita rasa atau warna makanan, harus menjadi barier yang efektif antara makanan dengan permukaan dalam kaleng, harus mudah digunakan secara pabrikasi, tidak boleh terkelupas atau lecet selama pengalengan (sterilisasi pangan), dan ekonomis.
Menurut Muchtadi (1995), keuntungan utama penggunaan kaleng sebagai wadah bahan pangan adalah kaleng dapat menjaga bahan pangan di dalamnya, makanan di dalam wadah yang tertutup secara hermetis dapat dijaga terhadap kontaminasi oleh mikroba, serangga atau bahan asing lain yang mungkin dapat menyebabkan kebusukan atau penyimpangan penampakkan dan citarasa; kaleng dapat juga menjaga bahan pangan terhadap perubahan kadar air yang tidak diinginkan; kaleng dapat menjaga bahan pangan terhadap penyerapan oksigen, gas-gas lain atau bau-bauan dari partikel-partikel radioaktif yang terdapat di atmosfer; untuk beberapa bahan pangan berwarna yang peka terhadap reaksi fotokimia, kaleng dapat menjaga bahan tersebut dari cahaya.
Dari sudut perdagangan, keuntungan lainnya adalah kaleng dapat ditangani (handling), diisi, ditutup, dan dipak secara mekanis dengan kecepatan tinggi. kaleng dapat diperagakan secara menarik dan menguntungkan oleh pihak penjual; kaleng dapat disimpan dan digunakan dengan mudah oleh konsumen (Muchtadi,1995).
Menurut Winarno (1994), terdapat tiga jenis bahan yang digunakan dalam pembuatan kaleng yaitu Electrolyte Tin Plate (ETP), Tin Free Steel (TFS), dan Alumunium (Alum). ETP adalah suatu lembaran baja yang bagian permukaannya dilapisi timah putih secara elaktris. TFS adalah lapisan baja yang tidak dilapisi timah putih. Keunggulan TFS adalah lebih murah harganya karena tidak menggunakan timah putih dan lebih baik daya adhesinya terhadap bahan organik. Kelemahan TFS adalah lebih tinggi peluangnya untuk berkarat, sehingga jenis bahan ini harus diberi lapisan pada kedua belah permukaannya. Alumuniunm memiliki beberapa keunggulan diantaranya lebih ringan, lebih mudah dibentuk, termal konduktivitasnya baik, dan dapat didaur ulang. Kelemahan Alumunium adalah daya kekakuannya kurang baik, harga per satuannya lebih mahal, mudah berkarat sehingga harus diberi lapisan tambahan.
Menurut Suharwardji (2009), Ada tiga jenis bahan yang dipakai dalam proses pembuatan kaleng, yaitu :
1. Electrolyte tin plate (ETP)
2. Tin free steel (TFS) dan
3. Aluminium (Alum)
Elektrolite tin plate adalah suatu lembaran baja (base of steel) yang bagian permukaannya dilapisi timah putih (Tin) secara elektris. Sedangkan TFS adalah lapisan baja yang tidak dilapisi timah putih. Dari jenis lembaran TFS, yang paling banyak digunakan untuk pengalengan makanan adalah jenis Tin Free Steel Chrome Type (TFS-CT). Dalam pengertian teknis, TFS-CT merupakan lapisan baja yang dilapisi chromium secara elektris. Segera sesudah dilapisi chromium, terbentuklah lapisan chromium oksida pada seluruh permukaannya.
Jenis kedua tersebut memiliki beberapa keunggulan. Diantaranya adalah lebih murah harganya karena tidak menggunakan timah putih dan lebih baik daya adhesinya terhadap bahan organik. Sedangkan kelemahannya adalah lebih tinggi peluangnya untuk berkarat. Karena alasan tersebut, jenis bahan ini harus diberi lapisan pada kedua belah permukaannya.
Jenis ketiga aluminium (alum) memiliki beberapa keuntungan yaitu lebih ringan, mudah dibentuk, thermal konduktifitasnya bagus, dan dapat didaur-ulangkan. Tetapi kurang baik daya kekakuannya (rigidity) serta harga persatuannya relatif lebih mahal, mudah karatan dan karenanya harus diberi lapisan tambahan. Disamping itu, jenis kaleng tersebut tidak dapat disolder atau dilas tetapi kaleng tersebut dapat digunakan untuk jenis kaleng two-piece cans.
Dalam memiliki kaleng yang baik, maka bahan pelapis kaleng harus disesuaikan dengan bahan yang akan dikemas. Beberapa bahan pengemas kaleng dan bahan yang terkemas dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel. Bahan pelapis kaleng
Pelapis Bahan yang dikemas
Oleoresin Buah-buahan berwarna gelap, arbei, ceri, plum, sari buah, anggur, dan buah-buahan lainnya
Oleoresin + ZnO Jagung, kacang polong, kol, bunga kol, dan sayuran lain yang mengandung belerang
Enamel jenuh Sari buah jeruk dan konsentrat jeruk
Oleoresin dilapisi vinil Buah-buahan yang sangat korosif, sari buah yang berwarna merah, sari sayuran dan minuman yang tidak mengandung karbon
Vinil Bir, anggur, minuman, udang
Organosol Bir
Fenolik Sayuran
Fenolik + ZnO Produk yang mengandung sayur
Epoksi Fenolik Ikan, daging, produk sayuran dan buah-buahan
Epon Susu, telur, dan produk-produk susu
Epon + pasta alumunium Daging
Polibutadiena + vinil Bir dan minuman berkarbon
Keuntungan dan kekurangan bahan logam dan non logam
Logam Non logam
• Konduktor panas dan listrik yang baik
• Dapat ditempa atau dibengkokkan dalam keadaan padat
• Mempunyai kilap logam
• Tidak tembus pandang
• Densitas tinggi • Kondoktor yang buruk, isolator yang baik
• Rapuh tidak dapat ditempa
• Kilap non logam
• Beberapa jenis bersifat tembus pandang(trans luid)
• Densitas rendah
Spesifikasi kaleng di tentukan oleh dua kebutuhan yaitu:
a) Kebutuhan akan kekuatan yang dimiliki oleh wadah
b) Daya simpan yang dimiliki oleh produk dalam kaleng
Kebutuhan akan kekuatan kaleng perlu disesuaikan dengsn beberapa hal yaitu kecepatan jalur pengolahan, keadaan dan kondisi alat penutup kaleng, aliran uap air, kevakuman yang banyak mempengaruhi pendinginan dengan tekanan (pressure cooling), serta cara penanganan pasca proses (tinggi tumpukan, jenis karton). Sedangkan kebutuhan terdapat daya simpan isi kaleng ditentukan oleh daya korosif produk, lapisan timah putih atau tin free steel, sifat-sifat basic steel-nya, plate surface treament, dan jenis organic coating.
Spesifikasi kaleng yang digunakan pada proses pengalengan di UPT BPPTK LIPI Yogyakarta dapat dilihat pada tabel. berikut ini.
Tabel. Spesifikasi kaleng
Jenis Barang Kaleng bundar (can)
Warna Polos
Ukuran Ø 301 X 205
Design GL/AL; GL/AL (2 piece can), bottom end type press
Body Luar Gold lacquer, dalam aluminize laquer
Top Luar Gold lacquer, dalam aluminize laquer
Bottom Luar Gold lacquer, dalam aluminize laquer
For Meat, Fish, cream, vegetables
Capasity 180 - 220 ml
Kaleng diidentifikasikan dengan satuan ukuran diameter dan tinggi kaleng. Setiap dimensi diungkapkan dalam bentuk suatu perkalian dua nomor yang masing-masing terdiri dari tiga angka, angka pertama menunjukkan angka bulat dalam inci, sedangkan kedua angka berikutnya merupakan tambahan fraksi dari dimensi yang dinyatakan dalam suatu seperenam belas inci. Angka pertama yang dimiliki suatu ukuran kaleng menunjukkan diameter, sedang angka kedua menunjukkan tinggi kaleng. Sebagai contoh kaleng yang digunakan pada proses pengalengan mangut lele di UPT BPPTK LIPI Yogyakarta adalah kaleng dengan ukuran 301 x 205, berarti diameter kaleng 3 1/16 inci dan tingginya 2 5/16 inci. Dimensi yang dimaksud disini adalah panjang keseluruhan, untuk diameter yang diukur sampai bagian luar double seam, sedangkan tinggi diukur sampai bagian dari double seam dari setiap ujungnya. (1,0 inci = 25,40 mm).
Langganan:
Postingan (Atom)